Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) di Samarinda, Kalimantan Timur, menyatakan restorasi lahan gambut memiliki potensi mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) hingga mencapai 172 juta ton CO2 per tahun.
"Hasil penelitian yang dilakukan oleh YKAN dan mitra, restorasi gambut berpotensi mengurangi emisi GRK hingga 172 juta ton karbondioksida (CO2) per tahun,” kata Manajer Senior Karbon Kehutanan dan Perubahan Iklim YKAN Nisa Novita di Samarinda, Jumat.
Dalam momentum peringatan Hari Lahan Basah Sedunia pada 2 Februari 2024, ia mengajak semua pihak membangkitkan semangat kolaborasi bersama guna menjaga dan mengupayakan restorasi lahan basah, termasuk lahan gambut, guna kelestarian Indonesia.
Baca juga: DLH Lampung akan terus menurunkan emisi gas rumah kaca di 2024
Pihaknya pun menyediakan sejumlah pilihan area restorasi berdasarkan tiga variabel utama yakni luas jaringan kanal, area bekas kebakaran, dan lahan yang berstatus kritis.
Peneliti restorasi lahan gambut itu menilai isu terbesar yang perlu diperhatikan dalam penilaian dan evaluasi risiko restorasi lahan masih menyangkut permasalahan teknis, manajemen, dan sosial.
“Temuan ini menunjukkan pelaku restorasi gambut perlu serius menyoroti masalah teknis seperti kejadian kebakaran, termasuk ketinggian muka air pada musim kemarau dan hujan,” katanya.
Sedangkan pada konteks manajemen, lanjutnya, para pelaku restorasi harus berkolaborasi menyelaraskan program mereka yang saling berhubungan, termasuk ketiadaan program restorasi gambut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Baca juga: KLHK luncurkan logo sertifikasi penurunan emisi Indonesia
"Hal ini harus menjadi perhatian supaya restorasi berjalan berkesinambungan. Restorasi gambut perlu dikerjakan bersama lintas sektor dan lintas wilayah,”ujar Nisa.
Menurutnya, kesuksesan restorasi gambut dapat mempercepat tercapainya target komitmen iklim Indonesia yang termuat dalam dokumen kontribusi yang ditetapkan secara nasional (Nationally Determined Contribution/NDC), khususnya pada sektor hutan dan penggunaan lahan lainnya.
Ia mengatakan lahan basah memiliki peranan penting sebagai ginjal bumi dan mampu memurnikan air, melindungi pantai, hingga menyimpan karbon, sehingga nilai jasa lingkungan ini bisa menyejahterakan manusia.
Baca juga: Peningkatan emisi gas rumah kaca dapat berdampak perubahan iklim yang memicu krisis air
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki tipe ekosistem lahan basah lengkap, seperti lahan gambut, mangrove, riparian, rawa, hingga sawah.
"Dengan kepemilikan luasan sebesar 13,4 juta hektare, Indonesia menjadi pemilik lahan gambut tropis terluas di dunia. Namun saat ini belum ada data yang terverifikasi berapa luasan yang sudah terdegradasi dan perlu segera direstorasi,” kata Nisa Novita.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024
"Hasil penelitian yang dilakukan oleh YKAN dan mitra, restorasi gambut berpotensi mengurangi emisi GRK hingga 172 juta ton karbondioksida (CO2) per tahun,” kata Manajer Senior Karbon Kehutanan dan Perubahan Iklim YKAN Nisa Novita di Samarinda, Jumat.
Dalam momentum peringatan Hari Lahan Basah Sedunia pada 2 Februari 2024, ia mengajak semua pihak membangkitkan semangat kolaborasi bersama guna menjaga dan mengupayakan restorasi lahan basah, termasuk lahan gambut, guna kelestarian Indonesia.
Baca juga: DLH Lampung akan terus menurunkan emisi gas rumah kaca di 2024
Pihaknya pun menyediakan sejumlah pilihan area restorasi berdasarkan tiga variabel utama yakni luas jaringan kanal, area bekas kebakaran, dan lahan yang berstatus kritis.
Peneliti restorasi lahan gambut itu menilai isu terbesar yang perlu diperhatikan dalam penilaian dan evaluasi risiko restorasi lahan masih menyangkut permasalahan teknis, manajemen, dan sosial.
“Temuan ini menunjukkan pelaku restorasi gambut perlu serius menyoroti masalah teknis seperti kejadian kebakaran, termasuk ketinggian muka air pada musim kemarau dan hujan,” katanya.
Sedangkan pada konteks manajemen, lanjutnya, para pelaku restorasi harus berkolaborasi menyelaraskan program mereka yang saling berhubungan, termasuk ketiadaan program restorasi gambut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Baca juga: KLHK luncurkan logo sertifikasi penurunan emisi Indonesia
"Hal ini harus menjadi perhatian supaya restorasi berjalan berkesinambungan. Restorasi gambut perlu dikerjakan bersama lintas sektor dan lintas wilayah,”ujar Nisa.
Menurutnya, kesuksesan restorasi gambut dapat mempercepat tercapainya target komitmen iklim Indonesia yang termuat dalam dokumen kontribusi yang ditetapkan secara nasional (Nationally Determined Contribution/NDC), khususnya pada sektor hutan dan penggunaan lahan lainnya.
Ia mengatakan lahan basah memiliki peranan penting sebagai ginjal bumi dan mampu memurnikan air, melindungi pantai, hingga menyimpan karbon, sehingga nilai jasa lingkungan ini bisa menyejahterakan manusia.
Baca juga: Peningkatan emisi gas rumah kaca dapat berdampak perubahan iklim yang memicu krisis air
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki tipe ekosistem lahan basah lengkap, seperti lahan gambut, mangrove, riparian, rawa, hingga sawah.
"Dengan kepemilikan luasan sebesar 13,4 juta hektare, Indonesia menjadi pemilik lahan gambut tropis terluas di dunia. Namun saat ini belum ada data yang terverifikasi berapa luasan yang sudah terdegradasi dan perlu segera direstorasi,” kata Nisa Novita.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024