Anggota Majelis Nasional Sekretariat Kolaborasi Indonesia (SKI) Syaiful Bahari mengingatkan agar kebijakan pertanian dikembalikan ke relnya, untuk memperkuat Indonesia sebagai negara agraris.

"Tidak tercapainya swasembada beras karena fokus kebijakan," kata Syaiful, melalui sambungan telepon yang diterima di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Rabu.

Menurut dia, swasembada beras tidak tercapai karena fokus kebijakannya lebih banyak ke lahan basah pertanian. Sedangkan mayoritas lahan pertanian Indonesia merupakan lahan kering.

“Kita ambil contoh India, tahun 1970-an mereka membangun jaringan irigasi besar-besaran, waduk dan lainnya hingga level tersier. Dan hasilnya dinikmati sekarang,” kata Syaiful.

Baca juga: BRIN: Alih fungsi lahan pertanian menjadi tambak di wilayah pesisir merupakan keniscayaan

India melakukan revolusi hijau pada pertengahan 1960-an dan Indonesia melakukannya pada tahun 1971.

Revolusi hijau adalah intensifikasi benih unggul, pupuk dan mekanisasi untuk meningkatkan produksi.

“Zaman Soeharto berhasil tuh mendongkrak produksi panen,” ujarnya pula.

Syaiful menyampaikan, di antara penyebab riset pertanian Indonesia tidak mengarah ke pengembangan lahan kering, karena berkiblat ke kebijakan lembaga keuangan internasional yang fokusnya ke lahan basah. Akibatnya varietas yang ditemukan hanyalah khusus untuk lahan tersebut.

Baca juga: Hilirisasi sektor pertanian dan upaya peningkatan kesejahteraan petani

"Bayangkan jika kita penguatan risetnya di lahan kering. Pasti petani dan rakyat kita tidak akan ada kendala atas persediaan dan harga beras,” kata dia lagi.

Di berbagai daerah di Indonesia yang merupakan basis pertanian, banyak petani yang mengeluhkan persoalan pupuk dan kenaikan harga beras yang justru tidak mereka rasakan dampak positifnya.

Wasekjen SKI Solihin Nurodin menyebutkan, di Tasikmalaya, Jawa Barat, saat penyelenggaraan Musyawarah Reboan yang merupakan forum interaksi warga dengan para pendukung Anies Baswedan di Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, terungkap banyak petani yang mengeluhkan tidak optimalnya kartu tani.

Baca juga: Pemkot Depok sedang siapkan pusat pertanian perkotaan

Hal itu lantaran kartu tersebut tidak otomatis membuat pupuk bersubsidi mudah didapatkan. Kesulitan mendapatkan pupuk, mahalnya harga pupuk dan masalah status sawah menjadi kendala utama.

“Misalnya, untuk memanfaatkan pupuk bersubsidi, maka petani wajib menggunakan kartu tani. Namun meski memilikinya, jika ia tidak mempunyai sawah, maka petani tersebut tidak bisa mendapatkan pupuk bersubsidi,” katanya lagi.

Pewarta: M.Ali Khumaini

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023