Purwakarta (Antara Megapolitan) - Bhinneka Tunggal Ika, semboyan Indonesia ini menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa yang memiliki lebih dari 1.000 suku, 726 bahasa daerah, dan enam agama resmi, serta keyakinan lainnya.

Moto atau semboyan yang berasal dari bahasa Jawa Kuno tersebut bermakna berbeda-beda tetapi tetap satu. Itu sebenarnya telah diajarkan sejak tingkat sekolah dasar.

Pelajaran tentang hormat-menghormati, toleransi, serta pesan harmoni lainnya yang terkandung dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika tampaknya kurang dipraktikan dengan baik dan benar.

Peristiwa kekerasan yang dipicu perbedaan hingga masalah intoleransi itu masih terjadi di berbagai daerah selama beberapa tahun terakhir.

Hasil penelitian Setara Institute, terdapat 2.498 tindakan pelanggaran toleransi di Indonesia sejak 2007 sampai 2015, sebanyak 1.867 peristiwa intoleransi, 346 kasus gangguan terhadap tempat ibadah, dan sebanyak 365 kebijakan diskriminatif.

Ada hal yang perlu menjadi perhatian dari hasil penelitian itu. Peneliti Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Halili Hasan yang juga peneliti Setara Institute menyebutkan sebanyak 10 daerah di Indonesia hingga kini menyandang predikat daerah paling intoleran.

Dalam sebuah acara Festival Hak Asasi Manusia 2016 di Bojonegoro awal Desember lalu, Halili menyebutkan dari 10 daerah itu, tujuh di antaranya berada di Provinsi Jawa Barat, yakni Bogor, Bekasi, Depok, Bandung, Sukabumi, Banjar, dan Tasikmalaya.

Intoleransi yang dimaksud berkaitan dengan pendirian tempat ibadah, beasiswa pendidikan, hingga layanan pendidikan agama yang seharusnya diperuntukan penganut seluruh agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing peserta didik.

"Kalau kita melihat Purwakarta yang juga menjadi bagian dari wilayah Jawa Barat, ini sudah relatif sangat berimbang, seluruh kebutuhan pendidikan agama diakomodasi oleh pemerintahan daerah," kata Halili.

Di Purwakarta, semboyan Bhinneka Tunggal Ika benar-benar dijunjung tinggi, tidak hanya di kalangan masyarakat umum, tetapi juga di kalangan pelajar.

Seluruh pelajar dari berbagai agama di Purwakarta mendapatkan ruang khusus untuk melaksanakan ritual peribadatannya masing-masing sebelum memasuki jam pelajaran di sekolah.

Di SMP Negeri 1 Purwakarta yang menjadi "pilot project" sekolah toleran di Purwakarta terdapat tempat-tempat ibadah bagi pelajar Muslim dan non-Muslim

Bagi pelajar Muslim, mereka bisa beribadah di masjid sekolah, termasuk melaksanakan Salat Duha sesuai dengan program yang digulirkan Pemkab Purwakarta agar para pelajar Muslim membiasakan Salat Duha setiap pagi.

Saat pelajar Muslim melaksanakan Salat Duha di masjid sekolah, pelajar non-Muslim juga dianjurkan beribadah sesuai dengan agama yang dianut. Pemkab Purwakarta melalui pihak sekolah menyediakan beberapa ruang yang sengaja dialihfungsikan sebagai tempat ibadah untuk pelajar non-Muslim.

Tidak hanya di SMP Negeri 1, tetapi juga di SMP Yos Sudarso Purwakarta yang merupakan sekolah Katolik, juga terdapat ruangan yang disulap menjadi musala. Itu dikhususkan sebagai tempat ibadah pelajar Muslim.

Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengatakan bahwa tempat ibadah berbagai agama di lingkungan sekolah bagi pelajar itu menjadi salah satu bagian dari implementasi konsep pendidikan berkarakter Purwakarta sejak 2008.

Ia menilai keberagaman agama para pelajar di Purwakarta harus diakomodasi dalam dunia pendidikan dan menjadi kewajiban pemerintah menyiapkan peranti ibadah untuk mereka. Tujuannya agar para pelajar sejak dini sudah terbiasa dengan keberagaman. Jika sudah dewasa, mereka tidak asing dengan toleransi.

Selain ruang khusus beribadah bagi semua agama, Pemkab Purwakarta juga menyiapkan guru rohani berikut guru pembimbing yang mengajarkan pelajaran agama sesuai dengan kurikulum.

Guru rohani itu memberikan pendalaman terhadap kitab agama sesuai dengan agama yang dianut para pelajar.

Dedi Mulyadi ingin menjamin para pelajar non-Muslim di daerahnya mendapatkan hak untuk mendapatkan pendidikan agama seiring dengan pengembangan kurikulum kultural yang digagas pemerintah daerah setempat.

Pada pekan pertama Desember 2016, Pemkab Purwakarta melakukan perekrutan 393 guru agama dari berbagai agama.

Data Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Purwakarta mencatat ratusan guru agama yang direkrut itu di antaranya 365 tenaga pengajar untuk pelajar Muslim, serta 22 pengajar untuk pelajar Katolik, dan Kristen Protestan. Ada pula tiga tenaga pengajar untuk pelajar Buddha dan tiga lainnya untuk mengajari ilmu agama bagi pelajar beragama Hindu.

Hal lain yang menyimbolkan toleransi di kalangan pelajar ialah dengan adanya kegiatan "Botram Pelajar Lintas Agama" pada pekan pertama November 2016. Botram adalah tradisi makan bersama dengan tetangga dalam masyarakat Sunda.

Dalam kegiatan itu, ratusan pelajar sekolah dasar hingga sekolah menengah atas dan sederajat di Purwakarta yang beragama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu itu tampak harmonis.

Sebelum botram dimulai, mereka menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, lalu berdoa bersama sesuai agama masing-masing. Selanjutnya, mereka makan bersama dengan menu tradisional khas Purwakarta, satai maranggi. Pelajar berbeda agama dan beda sekolah itu saling menyuapi.

"Sikap toleran di antara pelajar Purwakarta sudah terpupuk dengan baik," kata Ketua Satuan Tugas Toleransi Kabupaten Purwakarta Jhon Dhin.

Jhon, penggagas botram, mengaku sangat terharu sekaligus gembira menyaksikan keakraban yang terbangun dalam acara itu. Mereka akrab, bercengkerama, bersenda gurau, dan saling menyuapi, sudah seperti keluarga sendiri.

Hal yang ingin dibangun dalam helatan santai itu adalah agar pendidikan toleransi berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat tertanam sejak dini.

Dari acara botram, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi berharap memunculkan gagasan baru yang disebut pelajar Sukarelawan Toleransi yang bertugas memelihara keanekaragaman agama dan budaya di sekolah masing-masing.

"Makan bersama, bahkan saling menyuapi sehingga keberagaman dan keberagamaan bisa tercipta dari lingkungan sekolah. Itu pelajaran toleransi," ujar Dedi.


Jamin Kebebasan Berkeyakinan

Pemerintah Kabupaten Purwakarta ternyata menjamin kebebasan warganya dalam berkeyakinan secara serius, bukan hanya omong kosong. Itu dipertegas dengan dikeluarkannya Surat Edaran Bupati Nomor 450/2621/Kesra tentang Jaminan Melaksanakan Ibadah Berdasarkan Keyakinan.

Surat yang telah diberlakukan sejak 10 November 2015 menjadi bentuk perlindungan terhadap seluruh masyarakat untuk bebas memiliki keyakinan sesuai dengan hati nuraninya.

"Artinya, siapa pun tidak boleh menganggu keyakinan seseorang. Dia dari agama apa, aliran apa, dibebaskan untuk tetap melakukan ritual keagamaan dan keyakinannya masing-masing," kata Bupati.

Pemkab Purwakarta berani menjamin, dengan catatan, tidak boleh menganggu ketertiban umum. Surat edaran tersebut dikeluarkannya untuk mencegah sikap dan sifat intoleransi di Purwakarta.

Dedi mengingatkan kebebasan beribadah pada dasarnya sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, sebagai penyelenggara pemerintahan, Bupati telah berkoordinasi dengan TNI dan Polri untuk menjaga ketenteraman dan kebebasan beribadah tersebut.

"Semua kita jamin melalui pemerintah daerah, TNI, dan polisi. Jadi, setiap kegiatan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya, kami jamin kebebasannya asalkan di tempat semestinya serta tidak mengganggu ketertiban umum," katanya.

Upaya Pemkab Purwakarta menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan terhadap warganya itu tampaknya berjalan mulus. Sejak beberapa tahun terakhir hingga kini, Purwakarta makin dikenal sebagai daerah yang paling toleransi, baik di Jawa Barat maupun di Indonesia.

Sebelumnya, Dedi Mulyadi pernah mendapatkan penghargaan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) karena telah berdedikasi dalam perlindungan dan pemenuhan atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Kini, Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memasukkan Purwakarta sebagai daerah yang menjadi calon penerima penghargaan daerah paling toleran di Indonesia.

Akan tetapi, tentunya bukan penghargaan yang paling utama, melainkan yang terpenting ialah tidak ada lagi peristiwa intoleran karena sejak kecil saat sekolah dasar, semboyan Indonesia Bhinneka Tunggal Ika sudah diajarkan oleh para guru.

Masyarakat dan negara harus benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan melawan setiap bentuk intoleransi. Jangan ada lagi kekerasan atas nama agama, dan jangan sampai ada lagi pembubaran warga negara yang sedang menjalankan ibadah.

Pewarta: M Ali Khumaini

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016