Bogor (Antara Megapolitan) - Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Prof Sri Hartoyo menyatakan pencabutan subsidi pupuk sudah tidak mempunyai pengaruhi nyata terhadap produksi dan pendapatan petani padi.

"Karena, sampai saat ini HPP masih lebih rendah dari harga yang terjadi di tingkat petani pada saat panen," katanya di Bogor, Sabtu.

Sebaiknya lanjut dia usaha untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani dilakukan dengan cara subsidi harga pupuk secara bertahap mulai dikurangi dan dialihkan untuk meningkatkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah.

Ia menjelaskan, padi atau beras masih menjadi komoditas pertanian yang penting di Indonesia. Selain sebagai pangan pokok sebagai besar penduduk, juga sumber pendapatan utama petani.

Selama 10 tahun terakhir, lanjutnya, konsumsi beras per kapita masyarakat Indonesia cenderung menurun, tetapi karena jumlah penduduk yang terus meningkat, maka diperkirakan konsumsi total beras dari tahun ke tahun masih terus meningkat.

"Sejalan dengan peningkatkan konsumsi dan mengurangi impor beras, pemerintah terus menerus melakukan peningkatan produksi padi melalui berbagai program seperti kebijakan harga beras dan harga pupuk," katanya.

Dengan program dan kebijakan tersebut, lanjut Hartoyo, sejak Pelita I sampai IV, produksi padi terus meningkat, sebagai akibat dari peningkatan petani yang menggunakan varietas padi unggul dan peningkatan dosis padi. Namun, setelah 1985, ternyata subsidi harga pupuk yang dilakukan pemerintah, menyebabkan dosis pupuk yang digunakan petani menjadi lebih, dan produktivitas padi tidak responsif lagi terhadap perubahan dosis pupuk.

"Padahal untuk melaksanakan kebijakan subsidi harga pupuk diperlukan anggaran pemerintah yang besar dari tahun ketahun dan terus meningkat," katanya.

Situasi tersebut, lanjut Hartoyo menimbulkan pertanyaan, apakah subsidi pupuk masih perlu diteruskan? Pada penelitian 1994 menunjukkan bahwa kenaikan harga pupuk urea dan TSP masing-masing sebesar 10 persen hanya menyebabkan produksi padi turun sebesar 0,17 persen dan pendapatan petani turun 0,39 persen. Tetapi jika harga gabah dinaikkan sebesar 10 persen, maka produksi padi aka meningkat sebesar 26 persen.

"Di samping itu diketahui juga bahwa elastisitas produksi padi terhadap pupuk urea dan TSP relatif kecil dan cenderung tidak nyata," katanya.

Dalam orasi yang disampaikan pada acara Orasi Ilmiah Guru Besar IPB hari ini, Hartoyo menjelaskan, jika simulasi kenaikan harga pupuk tersebut dikombinasikan dengan kenaikan harga gabah, kenaikan panjang jalan dan kenaikan dana riset masing-masing 10 persen, akan menyebabkan produksi padi meningkat sebesar 7,13 persen.

"Hasil penelitian juga menunjukkan peningkatkan kualitas jalan, yang diukur dengan turunya biaya transportasi 10 persen akan meningkatkan produksi sebesar 6,31 persen," katanya.

Tidak hanya itu, lanjutnya, kenaikan kualitas irigasi yang diukur dengan kenaikan intensitas tanah sebesar 10 persen akan meningkatkan produksi padi sebesar 3,49 persen.

Ia menambahkan, peningkatan produksi dan pendapatan petani padi juga dapat dilakukan dengan mengalihkan sebagian anggaran subsidi harga pupuk untuk meningkatkan kualitas irigasi dan kualitas jalan.

Sementara itu, produktivitas padi Indonesia pada saat ini masih lebih rendah dari produktivitas negara lain, Indonesia belum masuk 10 besar produktivitas tertinggi dunia.

Untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani padi, lanjutnya, juga dapat dilakukan dengan mengalihkan sebagian anggaran subsidi harga pupuk untuk meningkatkan anggaran riset.

"Terutama riset untuk menemukan varietas baru yang mempunyai produktivitas tinggi, tahan hama penyakit dan sesuai dengan kondisi lingkungan Indonesia," katanya.

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016