Anggota Dewan Pers Atmaji Sapto Anggoro mengajak semua pihak, pers dan insan jurnalis untuk menghindari kecenderungan meneruskan hoaks termasuk dalam situasi pemilu seperti saat ini.
"Salah satu cara mencegah, pastikan, tanya dulu apakah itu benar informasi atau tidak. Kalau tidak (ada yang bisa memastikan kebenarannya) jangan di share ya, kalau belum tahu pasti tidak meng-share, nah itu sudah mencegah," kata Anggota Dewan Pers Atmaji Sapto Anggoro di Bengkulu, Rabu.
Dia mengatakan kebiasaan atau kecenderungan meneruskan hoaks terjadi karena keterkaitan beberapa hal, yakni sifat yang suka berbagi informasi, malas membaca isi informasi, hanya melihat judul informasi, senang atau bangga menjadi yang pertama.
Baca juga: Dewan Pers berharap hasil Kongres XXV PWI dapat jawab tantangan yang dihadapi para jurnalis
"Mencari sensasi, tidak paham, bahwa isu itu hoaks dan mengikuti tren," kata dia lagi.
Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) ,kata Sapto telah mengadakan riset dan memperoleh data, bahwa selama 2022 ditemukan 1.698 informasi hoaks di media sosial.
"Saluran penyebaran informasi hoaks adalah, nomor satu (lewat) Facebook 36,9 persen, (kemudian) Twitter 24,5 persen, WhatsApp 13,6 persen, TikTok 9 persen, lain-lain 16 persen," ucapnya.
Kemudian untuk meneliti hoaks atau tidaknya sebuah informasi, kata dia perlu mewaspadai judul yang berbau provokatif.
Baca juga: Dewan Pers minta wartawan stop jadikan medsos sebagai sumber berita memasuki tahun politik
"Perhatikan alamat situs, jika dari lembaga atau media resmi, informasinya lebih bisa dipertanggungjawabkan. Jika tidak ada alamat situs dari lembaga atau media resmi atau hanya alamat link pribadi, maka kebenarannya lebih tidak bisa menjadi pegangan," ucapnya.
Kemudian, kata dia masyarakat memeriksa isi informasi, mengecek sumber informasi, siapa narasumbernya, kapan dan di mana informasi atau peristiwa itu terjadi.
"Apakah narasinya relevan dengan gambar atau video. Jika isinya berupa cuplikan foto atau video, maka harus diteliti lebih jauh lagi," kata dia.
Baca juga: Dewan Pers upayakan kesamaan pandangan pada pemberitaan pemilu
Masyarakat bisa mengecek keaslian foto atau video, bisa melalui mesin pencari google atau bertanya ke ahlinya. Mengecek di dalam jaringan (daring) berdasarkan judul atau isi informasi tersebut.
"Minta informasi ke grup antihoaks atau pakar telematika," ujar Sapto.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023
"Salah satu cara mencegah, pastikan, tanya dulu apakah itu benar informasi atau tidak. Kalau tidak (ada yang bisa memastikan kebenarannya) jangan di share ya, kalau belum tahu pasti tidak meng-share, nah itu sudah mencegah," kata Anggota Dewan Pers Atmaji Sapto Anggoro di Bengkulu, Rabu.
Dia mengatakan kebiasaan atau kecenderungan meneruskan hoaks terjadi karena keterkaitan beberapa hal, yakni sifat yang suka berbagi informasi, malas membaca isi informasi, hanya melihat judul informasi, senang atau bangga menjadi yang pertama.
Baca juga: Dewan Pers berharap hasil Kongres XXV PWI dapat jawab tantangan yang dihadapi para jurnalis
"Mencari sensasi, tidak paham, bahwa isu itu hoaks dan mengikuti tren," kata dia lagi.
Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) ,kata Sapto telah mengadakan riset dan memperoleh data, bahwa selama 2022 ditemukan 1.698 informasi hoaks di media sosial.
"Saluran penyebaran informasi hoaks adalah, nomor satu (lewat) Facebook 36,9 persen, (kemudian) Twitter 24,5 persen, WhatsApp 13,6 persen, TikTok 9 persen, lain-lain 16 persen," ucapnya.
Kemudian untuk meneliti hoaks atau tidaknya sebuah informasi, kata dia perlu mewaspadai judul yang berbau provokatif.
Baca juga: Dewan Pers minta wartawan stop jadikan medsos sebagai sumber berita memasuki tahun politik
"Perhatikan alamat situs, jika dari lembaga atau media resmi, informasinya lebih bisa dipertanggungjawabkan. Jika tidak ada alamat situs dari lembaga atau media resmi atau hanya alamat link pribadi, maka kebenarannya lebih tidak bisa menjadi pegangan," ucapnya.
Kemudian, kata dia masyarakat memeriksa isi informasi, mengecek sumber informasi, siapa narasumbernya, kapan dan di mana informasi atau peristiwa itu terjadi.
"Apakah narasinya relevan dengan gambar atau video. Jika isinya berupa cuplikan foto atau video, maka harus diteliti lebih jauh lagi," kata dia.
Baca juga: Dewan Pers upayakan kesamaan pandangan pada pemberitaan pemilu
Masyarakat bisa mengecek keaslian foto atau video, bisa melalui mesin pencari google atau bertanya ke ahlinya. Mengecek di dalam jaringan (daring) berdasarkan judul atau isi informasi tersebut.
"Minta informasi ke grup antihoaks atau pakar telematika," ujar Sapto.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023