Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan (Ditjen Kebudayaan), bersama Irama Nusantara menggelar pameran arsip musik bertajuk “Dari Ngak-Ngik-Ngok ke Dheg Dheg Plas.
Pameran ini digelar di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta. Pameran berlangsung selama satu bulan penuh hingga Minggu, 15 Oktober 2023.
Direktur Perfilman, Musik dan Media, Ahmad Mahendra dalam keterangannya, Senin mengungkapkan bahwa selain menyuguhi koleksi-koleksi antik nan klasik, pameran arsip “Dari Ngak-Ngik-Ngok ke Dheg Dheg Plas” adalah sarana untuk mengedukasi masyarakat tentang sejarah perkembangan Musik Populer di Indonesia.
"Harapannya, program ini dapat menggambarkan bagaimana industri musik Indonesia dirintis lewat karya-karya fenomenal yang memiliki nilai-nilai sosial, teknologi, budaya," kata Mahendra.
Baca juga: Kemendikbudristek utamakan perencanaan berbasis data untuk tingkatkan kualitas pendidikan
Pameran arsip “Dari Ngak-Ngik-Ngok ke Dheg Dheg Plas” menjadi bagian dari program Rangkaian Irama yang menandai perjalanan satu dekade Irama Nusantara. Selain pameran arsip, terdapat tiga program lain dalam gelaran Rangkaian Irama, yaitu konferensi para pengarsip terkait budaya populer Indonesia, forum diskusi, dan festival musik.
Pameran menampilkan perjalanan musik populer Indonesia mulai pra-1960 hingga 1969.
Materi pameran ini merupakan pengembangan dari buku “Dari Ngak-Ngik-Ngok ke Dheg Dheg Plas” yang pernah dirilis Irama Nusantara bersama Bintang Press dan Norrm pada 2021.
Keseluruhan materi pameran disajikan secara kontemporer melalui mural, audio visual, dan tentu saja koleksi-koleksi asli berbentuk fisik.
Pameran terbagi ke dalam tiga zona, yaitu zona yang menampilkan awal perkembangan industri musik populer Indonesia (pra-1960), zona kedua yang menampilkan perkembangan industri musik populer di bawah kekuasaan Orde Lama (1960-1965), dan zona akhir yang berisi perkembangan industri populer Indonesia di bawah kekuasaan Orde Baru (1966-1969).
Baca juga: Kemendikbudristek lakukan perbaikan kualitas pendidikan lewat Asesmen Nasional
Melalui pameran ini, pengunjung disuguhi ragam koleksi yang bukan hanya langka, tetapi juga bersejarah.
Antara lain foto-foto musisi zaman Hindia Belanda, rilisan musik salah satu label pertama di Nusantara, Tio Tek Hong (tahun 1905), informasi tentang lagu “Indonesia Raya” pertama kali direkam, sampai dokumentasi pembakaran piringan hitam The Beatles di Jakarta tahun 1965 akibat pelarangan “musik Barat” oleh Orde Lama.
Rekaman pidato “Manifesto Politik Republik Indonesia” oleh Bung Karno tahun 1959 yang akhirnya melahirkan istilah “Ngak-Ngik-Ngok” itu juga dapat dilihat dalam pameran ini.
Baca juga: Kemendikbudristek adakan workshop tata kelola festival
Irama Nusantara menghimpun ragam arsip-arsip itu bukan hanya dari koleksi pribadi, melainkan juga dari lembaga atau komunitas lain, seperti Arsip Jazz Indonesia, ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia), Remaco, Perpustakaan Negara, hingga lembaga Malaysia, FINAS (Perbadanan Kemajuan Filem Nasional).
"Musik populer Indonesia pada periode tahun 1960-an dipengaruhi oleh banyak konteks politik, ekonomi, sosial, teknologi, dan budaya yang kala itu dinamikanya berjalan sangat cepat dan drastis," katanya.
Kurator pameran “Dari Ngak-Ngik-Ngok ke Dheg Dheg Plas" Ignatius Aditya Adhiyatmaka mengatakan hasilnya dapat kita lihat melalui berbagai kemunculan berbagai bentuk musik yang sangat memengaruhi paradigma serta kesejarahan musik populer Indonesia, bahkan pada kurun waktu setelahnya hingga sekarang.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023
Pameran ini digelar di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta. Pameran berlangsung selama satu bulan penuh hingga Minggu, 15 Oktober 2023.
Direktur Perfilman, Musik dan Media, Ahmad Mahendra dalam keterangannya, Senin mengungkapkan bahwa selain menyuguhi koleksi-koleksi antik nan klasik, pameran arsip “Dari Ngak-Ngik-Ngok ke Dheg Dheg Plas” adalah sarana untuk mengedukasi masyarakat tentang sejarah perkembangan Musik Populer di Indonesia.
"Harapannya, program ini dapat menggambarkan bagaimana industri musik Indonesia dirintis lewat karya-karya fenomenal yang memiliki nilai-nilai sosial, teknologi, budaya," kata Mahendra.
Baca juga: Kemendikbudristek utamakan perencanaan berbasis data untuk tingkatkan kualitas pendidikan
Pameran arsip “Dari Ngak-Ngik-Ngok ke Dheg Dheg Plas” menjadi bagian dari program Rangkaian Irama yang menandai perjalanan satu dekade Irama Nusantara. Selain pameran arsip, terdapat tiga program lain dalam gelaran Rangkaian Irama, yaitu konferensi para pengarsip terkait budaya populer Indonesia, forum diskusi, dan festival musik.
Pameran menampilkan perjalanan musik populer Indonesia mulai pra-1960 hingga 1969.
Materi pameran ini merupakan pengembangan dari buku “Dari Ngak-Ngik-Ngok ke Dheg Dheg Plas” yang pernah dirilis Irama Nusantara bersama Bintang Press dan Norrm pada 2021.
Keseluruhan materi pameran disajikan secara kontemporer melalui mural, audio visual, dan tentu saja koleksi-koleksi asli berbentuk fisik.
Pameran terbagi ke dalam tiga zona, yaitu zona yang menampilkan awal perkembangan industri musik populer Indonesia (pra-1960), zona kedua yang menampilkan perkembangan industri musik populer di bawah kekuasaan Orde Lama (1960-1965), dan zona akhir yang berisi perkembangan industri populer Indonesia di bawah kekuasaan Orde Baru (1966-1969).
Baca juga: Kemendikbudristek lakukan perbaikan kualitas pendidikan lewat Asesmen Nasional
Melalui pameran ini, pengunjung disuguhi ragam koleksi yang bukan hanya langka, tetapi juga bersejarah.
Antara lain foto-foto musisi zaman Hindia Belanda, rilisan musik salah satu label pertama di Nusantara, Tio Tek Hong (tahun 1905), informasi tentang lagu “Indonesia Raya” pertama kali direkam, sampai dokumentasi pembakaran piringan hitam The Beatles di Jakarta tahun 1965 akibat pelarangan “musik Barat” oleh Orde Lama.
Rekaman pidato “Manifesto Politik Republik Indonesia” oleh Bung Karno tahun 1959 yang akhirnya melahirkan istilah “Ngak-Ngik-Ngok” itu juga dapat dilihat dalam pameran ini.
Baca juga: Kemendikbudristek adakan workshop tata kelola festival
Irama Nusantara menghimpun ragam arsip-arsip itu bukan hanya dari koleksi pribadi, melainkan juga dari lembaga atau komunitas lain, seperti Arsip Jazz Indonesia, ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia), Remaco, Perpustakaan Negara, hingga lembaga Malaysia, FINAS (Perbadanan Kemajuan Filem Nasional).
"Musik populer Indonesia pada periode tahun 1960-an dipengaruhi oleh banyak konteks politik, ekonomi, sosial, teknologi, dan budaya yang kala itu dinamikanya berjalan sangat cepat dan drastis," katanya.
Kurator pameran “Dari Ngak-Ngik-Ngok ke Dheg Dheg Plas" Ignatius Aditya Adhiyatmaka mengatakan hasilnya dapat kita lihat melalui berbagai kemunculan berbagai bentuk musik yang sangat memengaruhi paradigma serta kesejarahan musik populer Indonesia, bahkan pada kurun waktu setelahnya hingga sekarang.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023