Adanya pernyataan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok terkait Surah Al-Maidah ayat 51, yang dinilai sebagai penistaan agama Islam oleh beberapa kelompok pemuda maupun Ormas Islam, telah memicu emosi masyarakat luas untuk menuntut ketegasan hukum memenjarakan Ahok.
Hal ini ditunjukkan melalui adanya aksi bela Islam II pada 4 November 2016 lalu. Aksi ini dikoordinatori oleh para tokoh agama, tokoh masyarakat maupun kelompok pemuda dalam mengemukakan penolakan serta penjarakan Ahok.
Pernyataan yang dikemukakan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memanglah sensitif karena dapat dibelokkan atau secara tidak langsung memberikan peluang bagi kelompok oposisi atau oknum yang berkepentingan membawa isu ini menjadi masalah nasional.
Saat ini berbagai kelompok Islam seperti FPI, MMI, HTI, HMI, dan beberapa kelompok Islam lainnya semakin gencar mengemukakan aksi massa bela Islam III kepada seluruh masyarakat, baik melalui media sosial, konsolidasi secara langsung maupun melalui berbagai media massa yang bersifat provokatif.
Dalam ajakannya, mereka mengimbau masyarakat terutama muslim untuk berpartisipasi dalam aksi ini, menuntut keadilan hukum apabila terdapat orang yang kontra akan ajakan ini maka, mereka menilai bahwa kelompok atau orang tersebut tidak berjuang atasnama agama atau Islam.
Gencarnya upaya provokatif yang dikemukakan oleh kelompok-kelompok ini telah menyebabkan masalah terkait terus berkembang, bahkan menganggu stabilitas dinamika sosial-politik nasional, mengingat dalam aksi sebelumnya telah berujung pada tindakan anarkhis, bahkan membawa isu penurunan Presiden Jokowi, yang dinilai tidaklah logis.
Mengingat sebelumnya, tuntutan mereka pada ABI II agar dilakukan tindakan hukum kepada Ahok secara terbuka dan dalam perkembangannya aspirasi tersebut dikabulkan oleh Jokowi. Perlu dipahami bahwa proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dilakukan secara transparan serta tidak ada campur tangan pemerintah di dalamnya.
Keberagamandan Kelompok Mayoritas
Melihat gencarnya imbauan ABI III dan isu yang akan diangkat, dinilai tidak murni untuk kepentingan Aqidah dan ini sangat tidak prioritas, mengingat dampak yang diberikan serta ancaman nasionalisme berada di depan mata.
Pahamkah kita bahwa kita adalah Negara yang sangat plural, bahkan kita memiliki beratus bahasa dan adat, betapa kayanya Indonesia dan sungguh hebat negara kita dapat bersatu atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Mengingat masyarakat Indonesia sebagian besar memeluk agama Islam, maka muslim di Negara ini adalah kelompok mayoritas, yang seharusnya lebih bijak maupun lebih memiliki empati antara sesama pemeluk agama lain, terutama antara warga Negara Indonesia (WNI).
Apakah yang kita fikirkan saat ini?. Menuntut hukum demi kepentingan agama ataukah kepentingan politik, mengingat saat ini adalah momentum politik, dengan kata lain berbagai kepentingan dapat terlibat dalam aksi ini.
Perlu kita kaji dan kita teliti apakah benar aksi ini hanya masalah penistaan agama atau ada tujuan lain dalam aksi ini, mengingat adanya isu penurunan Presiden dan isu penjarakan Ahok, yang proses hukumnya saja belum ditetapkan. Apakah kita masyarakat Indonesia berfikir dengan jernih?.
Banyak para ulama yang mengimbau kepada masyarakat untuk berpastisipasi dalam aksi bela Islam III sungguh disayangkan karena seharusnya para tokoh ini menjadi peredam amarah masyarakat, mengingat banyaknya provokasi dari pihak-pihak yang justru dinilai tidak netral. Kondisi yang demikian tentunya sangat tidak kita harapkan, mengingat hal ini akan menimbulkan perpecahan di antara masyarakat Indonesia.
Keberagaman Indonesia secara tidak langsung merupakan tantangan sekaligus berkah bagi negeri ini, sampai saat ini kita masyarakat Indonesia masih bersatu teguh memperjuangkan nama Indonesia dengan Pancasila sebagai landasan utama bangsa ini. Dengan komitmen tersebut, seharusnya kita mampu mengimplementasikannya, melalui tidak mengkotak-kotakkan masyarakat berdasarkan ras dan agama.
Namun hal ini berbeda dengan naksi demo 25 November 2016, sejumlah masyarakat sepakat memperjuangkan Islam melalui aksi massa dengan cara memenjarakan Ahok tanpa mempertimbangkan hasil peradilan.
Hal ini sungguh tidak realistis, kita mengakui hukum Indonesia tetapi tidak mempercayainya dan atas nama Islam mereka menghukum Ahok, diiringi aksi penolakan Ahok karena tidak beragama Islam dan masalah penistaan agama yang belum terbukti secara hukum.
SARA sebagai Ancaman
Dinamika sosial saat ini mengarahkan isu penistaan agama berkembang menjadi isu politik dan SARA, mengingat adanya aksi penolakan WNI keturunan Tioghoa maupun aksi penurunan Presiden Jokowi.
Hal ini menunjukkan bahwa aksi ini tidak murni untuk kepentingan agama tetapi lebih bersifat pada kepentingan politik, sehingga perlu menjadi kajian kita sebagai masyarakat Indonesia, mengingat gencarnya imbauan maupun konsolidasi tokoh-tokoh ini untuk melakukan aksi bela Islam III.
Penolakan, kecaman maupun upaya provokasi yang terus dilakukan sampai saat ini dinilai sangat tidak sehat, mengingat upaya ini hanya mengupayakan sesuatu tanpa melihat dampak yang akan terjadi, mengingat di beberpa daerah telah terjadi penolakan anti Cina (WNI keturunan Tionghoa), diiringi penulisan di beberapa fasilitas umum.
Hal ini tentunya menimbulkan kecemasan maupun ketidaknyamanan masyarakat kita sendiri atau WNI, mengingat mereka bukanlah orang lain, mereka warga Negara Indonesia yang sah. Hal ini harus dipertimbangkan bagi seluruh masyarakat apakah benar aksi ini murni terkait masalah agama?, ini perlu dipertanyakan pada diri kita terutama mereka yang terlibat dalam provokasi aksi bela Islam III nanti.
Masalah yang berkembang saat ini tentunya membutuhkan atensi seluruh pihak, diiringi sikap maupun komitmen kuat, dengan tujuan menetralisir serta memperbaiki kondisi, terutama bagi kelompok cendikiawan, para aktivis maupun elite politik dalam mempertimbangkan dampak keseluruhan yang akan terjadi akibat masalah "politik berkedok agama".
Seharusnya kita menyerahkan penyelesaian masalah ini sepenuhnya kepada aparat Kepolisian, dengan tidak mengutamakan emosi untuk mengadili seseorang secara sepihak tanpa dasar hukum yang jelas, aspirasi boleh diutarakan tetapi harus dengan dasar yang jelas bukan serta merta emosi ataupun kehendak keegoisan.
Mari kita bangun dan realisasikan rasa persatuan, kesatuan kita sebagai masyarakat Indonesia yang berdaulat. Kita kawal proses hukumnya dengan baik serta transparan, dan kita terima secara ikhlas hasil peradilan dengan lapang dada. Kita harus mampu menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia telah dewasa dan mampu menyikapi dinamika sosial-politik secara bijak.
*) Written by the Political and Security Observer.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016
Hal ini ditunjukkan melalui adanya aksi bela Islam II pada 4 November 2016 lalu. Aksi ini dikoordinatori oleh para tokoh agama, tokoh masyarakat maupun kelompok pemuda dalam mengemukakan penolakan serta penjarakan Ahok.
Pernyataan yang dikemukakan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memanglah sensitif karena dapat dibelokkan atau secara tidak langsung memberikan peluang bagi kelompok oposisi atau oknum yang berkepentingan membawa isu ini menjadi masalah nasional.
Saat ini berbagai kelompok Islam seperti FPI, MMI, HTI, HMI, dan beberapa kelompok Islam lainnya semakin gencar mengemukakan aksi massa bela Islam III kepada seluruh masyarakat, baik melalui media sosial, konsolidasi secara langsung maupun melalui berbagai media massa yang bersifat provokatif.
Dalam ajakannya, mereka mengimbau masyarakat terutama muslim untuk berpartisipasi dalam aksi ini, menuntut keadilan hukum apabila terdapat orang yang kontra akan ajakan ini maka, mereka menilai bahwa kelompok atau orang tersebut tidak berjuang atasnama agama atau Islam.
Gencarnya upaya provokatif yang dikemukakan oleh kelompok-kelompok ini telah menyebabkan masalah terkait terus berkembang, bahkan menganggu stabilitas dinamika sosial-politik nasional, mengingat dalam aksi sebelumnya telah berujung pada tindakan anarkhis, bahkan membawa isu penurunan Presiden Jokowi, yang dinilai tidaklah logis.
Mengingat sebelumnya, tuntutan mereka pada ABI II agar dilakukan tindakan hukum kepada Ahok secara terbuka dan dalam perkembangannya aspirasi tersebut dikabulkan oleh Jokowi. Perlu dipahami bahwa proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dilakukan secara transparan serta tidak ada campur tangan pemerintah di dalamnya.
Keberagamandan Kelompok Mayoritas
Melihat gencarnya imbauan ABI III dan isu yang akan diangkat, dinilai tidak murni untuk kepentingan Aqidah dan ini sangat tidak prioritas, mengingat dampak yang diberikan serta ancaman nasionalisme berada di depan mata.
Pahamkah kita bahwa kita adalah Negara yang sangat plural, bahkan kita memiliki beratus bahasa dan adat, betapa kayanya Indonesia dan sungguh hebat negara kita dapat bersatu atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Mengingat masyarakat Indonesia sebagian besar memeluk agama Islam, maka muslim di Negara ini adalah kelompok mayoritas, yang seharusnya lebih bijak maupun lebih memiliki empati antara sesama pemeluk agama lain, terutama antara warga Negara Indonesia (WNI).
Apakah yang kita fikirkan saat ini?. Menuntut hukum demi kepentingan agama ataukah kepentingan politik, mengingat saat ini adalah momentum politik, dengan kata lain berbagai kepentingan dapat terlibat dalam aksi ini.
Perlu kita kaji dan kita teliti apakah benar aksi ini hanya masalah penistaan agama atau ada tujuan lain dalam aksi ini, mengingat adanya isu penurunan Presiden dan isu penjarakan Ahok, yang proses hukumnya saja belum ditetapkan. Apakah kita masyarakat Indonesia berfikir dengan jernih?.
Banyak para ulama yang mengimbau kepada masyarakat untuk berpastisipasi dalam aksi bela Islam III sungguh disayangkan karena seharusnya para tokoh ini menjadi peredam amarah masyarakat, mengingat banyaknya provokasi dari pihak-pihak yang justru dinilai tidak netral. Kondisi yang demikian tentunya sangat tidak kita harapkan, mengingat hal ini akan menimbulkan perpecahan di antara masyarakat Indonesia.
Keberagaman Indonesia secara tidak langsung merupakan tantangan sekaligus berkah bagi negeri ini, sampai saat ini kita masyarakat Indonesia masih bersatu teguh memperjuangkan nama Indonesia dengan Pancasila sebagai landasan utama bangsa ini. Dengan komitmen tersebut, seharusnya kita mampu mengimplementasikannya, melalui tidak mengkotak-kotakkan masyarakat berdasarkan ras dan agama.
Namun hal ini berbeda dengan naksi demo 25 November 2016, sejumlah masyarakat sepakat memperjuangkan Islam melalui aksi massa dengan cara memenjarakan Ahok tanpa mempertimbangkan hasil peradilan.
Hal ini sungguh tidak realistis, kita mengakui hukum Indonesia tetapi tidak mempercayainya dan atas nama Islam mereka menghukum Ahok, diiringi aksi penolakan Ahok karena tidak beragama Islam dan masalah penistaan agama yang belum terbukti secara hukum.
SARA sebagai Ancaman
Dinamika sosial saat ini mengarahkan isu penistaan agama berkembang menjadi isu politik dan SARA, mengingat adanya aksi penolakan WNI keturunan Tioghoa maupun aksi penurunan Presiden Jokowi.
Hal ini menunjukkan bahwa aksi ini tidak murni untuk kepentingan agama tetapi lebih bersifat pada kepentingan politik, sehingga perlu menjadi kajian kita sebagai masyarakat Indonesia, mengingat gencarnya imbauan maupun konsolidasi tokoh-tokoh ini untuk melakukan aksi bela Islam III.
Penolakan, kecaman maupun upaya provokasi yang terus dilakukan sampai saat ini dinilai sangat tidak sehat, mengingat upaya ini hanya mengupayakan sesuatu tanpa melihat dampak yang akan terjadi, mengingat di beberpa daerah telah terjadi penolakan anti Cina (WNI keturunan Tionghoa), diiringi penulisan di beberapa fasilitas umum.
Hal ini tentunya menimbulkan kecemasan maupun ketidaknyamanan masyarakat kita sendiri atau WNI, mengingat mereka bukanlah orang lain, mereka warga Negara Indonesia yang sah. Hal ini harus dipertimbangkan bagi seluruh masyarakat apakah benar aksi ini murni terkait masalah agama?, ini perlu dipertanyakan pada diri kita terutama mereka yang terlibat dalam provokasi aksi bela Islam III nanti.
Masalah yang berkembang saat ini tentunya membutuhkan atensi seluruh pihak, diiringi sikap maupun komitmen kuat, dengan tujuan menetralisir serta memperbaiki kondisi, terutama bagi kelompok cendikiawan, para aktivis maupun elite politik dalam mempertimbangkan dampak keseluruhan yang akan terjadi akibat masalah "politik berkedok agama".
Seharusnya kita menyerahkan penyelesaian masalah ini sepenuhnya kepada aparat Kepolisian, dengan tidak mengutamakan emosi untuk mengadili seseorang secara sepihak tanpa dasar hukum yang jelas, aspirasi boleh diutarakan tetapi harus dengan dasar yang jelas bukan serta merta emosi ataupun kehendak keegoisan.
Mari kita bangun dan realisasikan rasa persatuan, kesatuan kita sebagai masyarakat Indonesia yang berdaulat. Kita kawal proses hukumnya dengan baik serta transparan, dan kita terima secara ikhlas hasil peradilan dengan lapang dada. Kita harus mampu menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia telah dewasa dan mampu menyikapi dinamika sosial-politik secara bijak.
*) Written by the Political and Security Observer.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016