Bogor (Antara Megapolitan) - Kemenangan Donald J.Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat, 8 November 2016 disambut gegap gempita oleh para pendukung setianya.

Hasil pemilihan presiden AS itu pun diterima dunia. Sebagai bagian dari tata krama yang lazim dalam hubungan antarbangsa, para pemimpin dunia kemudian menyampaikan ucapan selamat kepada konglomerat kelahiran New York, 14 Juni 1946, itu.

Atas nama Pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia, Presiden Joko Widodo pun mengucapkan selamat kepada Presiden terpilih Donald J.Trump dan kepada rakyat AS atas terselenggaranya Pemilihan Presiden di negara mereka.

Bagi Pemerintah RI, hasil pemilihan itu mencerminkan kehendak mayoritas rakyat AS dan Indonesia siap melanjutkan kerja sama kedua negara yang saling menguntungkan.

Seperti terungkap dalam pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri RI, Presiden Joko Widodo juga mengajak Trump terus melanjutkan kerja sama dalam membangun perdamaian dan menciptakan kesejahteraan dunia.

Jika Indonesia dan negara-negara di dunia menerima saja apapun hasil Pemilihan Presiden AS itu, tidak demikian halnya dengan banyak pendukung Hillary Clinton.

Pendukung calon presiden dari Partai Demokrat yang sebelumnya diprediksi oleh banyak organisasi jajak pendapat di AS dan luar AS akan menang mudah dari Trump, kemenangan miliarder yang dilaporkan Majalah Forbes memiliki kekayaan bersih sebesar 3,7 miliar dolar AS ini adalah mimpi buruk dan petaka bagi masa depan Amerika.

Persepsi negatif sebagian publik AS terhadap Trump itu terbentuk karena pernyataan-pernyataannya di masa kampanye yang tak mencerminkan nilai-nilai positif demokrasi dan ekonomi liberal yang selama ini menjadi jualan negara adidaya ini kepada dunia.

Di antara pernyataan-pernyataan kontroversialnya itu, Trump, misalnya, pernah melontarkan seruan untuk melarang Muslim memasuki AS.

Dia pun berjanji memaksa Meksiko membayar tembok pembatas. Tidak hanya antimigran, dia juga akan menerapkan kebijakan proteksionis dan merundingkan kembali kesepakatan perdagangan internasional.

Karena itulah, kemenangannya itu justru direspons sebagian rakyatnya yang mengkhawatirkan masa depan negaranya di bawah kepemimpinan Trump.

Ketidaksukaan itu dilampiaskan mereka yang tidak setuju pada Trump melalui gelombang unjuk rasa yang pecah di sejumlah kota.

Awan gelap yang dikhawatirkan menyelimuti Amerika dan dunia sebagai akibat dari kemenangan Trump atas Hillary Clinton dalam electoral vote yang telah mengantarnya menjadi Presiden ke-45 AS itu harus diantisipasi Indonesia karena bisa saja pernyataan-pernyataannya yang kontroversial di masa kampanye tersebut merupakan cermin dari arah kebijakan pemerintahannya yang antimigran, anti-Muslim, Islamofobia, dan proteksionis.

Langkah antisipatif Indonesia itu penting tidak hanya bagi hubungan kedua negara tetapi juga bagi masa depan hubungan ASEAN + AS, serta perdamaian dan stabilitas kawasan dan dunia di tengah rivalitas antarbangsa, terutama AS-China.

Benih-benih petaka bagi dunia, termasuk Indonesia, itu sudah terlihat sejak kabar kemenangan Trump menjadi konsumsi berita dunia. Realitas itu antara lain dapat dilihat dari indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia pada 9 November yang ditutup turun 1,03 persen menjadi 5.414,32.

Penurunan IHSG ini tidak terlepas dari pernyataan Trump pada masa kampanye yang berpotensi menyemai ketidakstabilan dan konflik.

Dalam konteks inilah, langkah-langkah antisipatif perlu diambil Indonesia karena, seperti selama ini, bagaimana pun kebijakan domestik dan politik luar negeri AS di bawah kepemimpinan Donald J.Trump ini bisa berdampak pada banyak negara, termasuk Indonesia.

Sejak hubungan diplomatik resmi dibuka pada 28 Desember 1949, Indonesia dan AS telah menjalin banyak kerja sama saling menguntungkan di berbagai bidang.

Peluang kerja sama bilateral tersebut semakin terbuka luas setelah pemerintah kedua negara menandatangani perjanjian Kemitraan Komprehensif Indonesia-AS pada 2010.

Di bidang perdagangan, Kementerian PPN/Bappenas mencatat AS sebagai negara tujuan ekspor non-migas terbesar Indonesia sepanjang Januari-Juni 2016 dengan total nilai 7.876,8 juta dolar AS.

Dengan neraca perdagangan Indonesia pada Semester I-2016 yang mengalami surplus 3.594,3 juta dolar AS, hanya AS yang mencatatkan pertumbuhan positif, yakni sebesar 0,5 persen (YoY) dibandingkan Jepang, China, Singapura dan India -- empat negara tujuan ekspor nonmigas utama Indonesia yang lain.

Dampak positif dari kemitraan strategis yang ditandatangani pemerintah kedua negara pada 2010 itu nyata adanya dan tidak hanya terbatas pada bidang-bidang prioritas seperti demokrasi dan masyarakat madani, iklim dan lingkungan hidup, pendidikan, perdagangan dan investasi, isu keamanan, serta energi.

Diharapkan suksesi dari pemerintahan Partai Demokrat di bawah kepemimpian Presiden Barack Obama ke pemerintahan Partai Republik di bawah Donald Trump justru membawa harapan baru bagi hubungan bilateral Indonesia-AS yang semakin kuat. Bukan sebaliknya!

Karena itu, bersama bangsa-bangsa yang cinta damai, Indonesia yang menyandang predikat sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan negara demokratis terbesar ketiga setelah India dan AS berharap Presiden terpilih Donald Trump memimpin negaranya dengan kebijakan-kebijakan yang mencerminkan nilai-nilai positif Amerika.

Kita tidak ingin kemenangannya itu justru menjadi petaka bagi Indonesia dan dunia!.

Pewarta: Rahmad Nasution

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016