Jakarta (Antara Megapolitan) - Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari hasil pembakaran batu bara di Jepang memiliki sejarah panjang dan berprospek baik.

Alih-alih tunduk pada tekanan kelompok pegiat lingkungan hidup, seperti Greenpeace, kehadiran PLTU berbahan bakar batu bara di Negeri Sakura itu justru menunjukkan tren meningkat.

Betapa tidak, seperti dilaporkan Global Construction Review, Kementerian Lingkungan Hidup Jepang telah menyetujui pembangunan sejumlah PLTU berbahan bakar batu bara pada Februari 2016. Bahkan, dalam 12 tahun mendatang, setidaknya ada 43 proyek pembangunan PLTU baru di negara berpenduduk sekitar 126,5 juta jiwa itu.

Jika pembangunan 43 PLTU baru tersebut rampung sesuai dengan rencana, Jepang yang kini sudah memiliki 90 PLTU dengan total kapasitas 40,5 gigawatt akan mempunyai 133 PLTU berbahan bakar batu bara pada tahun 2026.

Kehadiran 43 PLTU baru tersebut diperkirakan mampu memasok listrik hingga 20,5 gigawatt guna membantu pemenuhan kebutuhan listrik hingga 2030 yang diprediksi Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang naik hingga 22 persen menjadi 1.177 miliar kilowatt jam (kWh).

Untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar PLTU-PLTU tersebut, Jepang mengimpor sedikitnya 114 juta ton batu bara per tahun (David Rogers, 2016). Volume impor batu bara Jepang yang kini mencapai sedikitnya 114 juta ton itu meningkat hampir dua kali lipat dari kebutuhan pada tahun 2000 yang tercatat sekitar 60 juta ton (Reuters, 2016).

Di antara pengekspor batu bara ke Negeri Sakura itu adalah PT Adaro Energy Tbk., kelompok perusahaan energi Indonesia penghasil "envirocoal" atau batu bara jenis subbituminus dengan nilai kalori sedang dan kandungan sulfur, abu, dan NOx yang sangat rendah.

Keberadaan PLTU berbahan bakar batu bara yang prospektif di Jepang itu sendiri tak terlepas dari dukungan strategi ketahanan energi pemerintah negara itu pascagempa 11 Maret 2011 yang menyebabkan terjadinya insiden Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi.

Tidak seperti PLTN Fukushima Daiichi yang mengalami insiden setelah dihantam tsunami dan gempa berkekuatan 8,9 skala Richter pada tahun 2011, konstruksi bangunan PLTU tetap aman. Pengakuan tentang tingkat keamanan PLTU di Jepang itu disampaikan seorang teknisi senior PLTU Isogo kepada delegasi wartawan Indonesia yang mengunjungi PLTU tersebut pada tanggal 11 November lalu.

"Konstruksi PLTU ini tahan gempa dan saat gempa besar terjadi pada tahun 2011, PLTU Isogo tetap aman. Bahkan, tidak ada kaca gedung yang pecah," katanya melalui penerjemah bernama Eiji Fukuda.

Selain tingkat keamanan yang tinggi dan telah teruji di tengah gempa dahsyat 5 tahun silam itu, PLTU yang beroperasi di kawasan Teluk Tokyo, Yokohama, sejak Mei 1967 juga tergolong efisien dan ramah lingkungan berkat penggunaan teknologi "ultra-super critical pressure".

Energi listrik yang dihasilkan PLTU Isogo dari pembakaran batu bara yang kemudian menghasilkan uap untuk menggerakkan turbinnya itu memiliki tingkat efisiensi mencapai 45 persen dengan intensitas emisi gas karbon dioksida per kWh mencapai 83, tekanan uap utama (25 MPa), dan suhu uap utama (600 derajat Celcius).

Dari hasil penelusuran delegasi wartawan Indonesia bersama Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk. Garibaldi Tohir dan Presiden Direktur PT Adaro Power Mohammad Effendi di sejumlah lantai dalam gedung untuk melihat secara langsung fasilitas dan lingkungan kerja di PLTU berkapasitas 1,2 juta kW itu, kesan bersih begitu kuat.

Kondisi sejumlah lantai gedung, termasuk di ruang fasilitas turbin dan operasi, bersih dan mengkilap seperti umumnya lingkungan rumah sakit. Bahkan, kadar debu seperti ditunjukkan salah satu layar di ruang operasi hanya tercatat 1 mg/m3n (unit 1) dan 1,0 mg/m3n (unit 2).

Halaman luar kompleks PLTU yang berlokasi tidak jauh dari pusat Kota Yokohama ini pun jauh dari kesan kumal dan kotor berkat lingkungan yang bersih, asri, tertata rapi, dan hijau dari kehadiran pepohonan dan tanaman yang tumbuh subur.

Berkat penggunaan teknologi "ultra-super critical pressure", energi listrik yang diproduksi PLTU Isogo pun ramah terhadap lingkungan dengan tingkat emisi SOx sebesar 0,01 dan NOx sebesar 0,05 atau terendah di dunia.

Menurut Direktur PLTU Isogo Juzo Kotani, pemakaian teknologi "ultra-super critical pressure" ini juga menghasilkan tingkat efisiensi energi sebesar 45 persen dengan intensitas emisi gas karbon dioksida per kWh mencapai 83, tekanan uap utama (25 MPa), dan suhu uap utama (600 derajat Celsius).

Teknologi "ultra-super critical pressure" Jepang yang telah lama digunakan PLTU Isogo ini dipastikan Kepala Divisi Usaha Kelistrikan Internasional J-Power Yoshiki Onoi akan dipakai Indonesia di PLTU Batang, Jawa Tengah.

Yoshiki Onoi pun menegaskan komitmen pihaknya pada pembangunan PLTU Batang berkapasitas 2.000 megawatt yang ditargetkan mulai beroperasi pertengahan 2020. "Filosofi kami adalah memberikan energi dan pelayanan yang berkelanjutan, dan kami berkomitmen memberikan sumbangan pada pembangunan Indonesia," katanya.

Seorang teknisi senior J-Power yang mendampingi delegasi wartawan selama kunjungan ke PLTU Isogo mengatakan bahwa Pemerintah Kota Yokohama mewajibkan pihaknya untuk memenuhi standar emisi yang sama dengan pembangkit listrik tenaga gas.

"Jadi, kami membangun PLTU Isogo ini sesuai dengan standar Yokohama dengan tingkat kadar sulfur dan debu yang sangat khusus. Untuk PLTU Batang, standarnya tidak sama dengan standar kami yang memang khusus. Akan tetapi, tekanan dan turbin sama dengan yang ada di sini," katanya lagi.

Terkait dengan megaproyek PLTU Batang ini, Direktur Umum Departemen Pengembangan Usaha Internasional J-Power Takashi Jahana memandangnya sebagai proyek besar sehingga perusahaannya memberi dukungan yang sebaik mungkin, termasuk menempatkan 10 orang teknisinya di sana.

Ketika PLTU Batang yang pembangunannya dilakukan PT Bhimasena Power Indonesia (BPI), perusahaan joint venture yang didirikan J-Power, Itochu Corporation, dan PT Adaro Power (anak perusahaan PT Adaro Energy Tbk.) ini sudah beroperasi, staf J-Power juga akan mendampingi staf-staf Indonesia." Alih teknologi adalah misi kami," kata Jahana.

Proses konstruksi PLTU Batang yang diharapkan dapat membantu pemenuhan kebutuhan listrik di Pulau Jawa dan Bali ini telah berlangsung sejak Juni 2016, namun dalam perjalanannya ada sejumlah warga yang keberatan dengan pembangunan proyek senilai empat miliar dolar AS itu atas alasan masalah lingkungan.

Tanpa menafikan realitas faktual yang menyertai perjalanan pembangunan megaproyek ini, Jepang telah membuktikan bahwa penggunaan teknologi canggih dan tata kelola PLTU yang baik telah membantu negara itu memenuhi kebutuhan energi listriknya tanpa mengorbankan lingkungan hidup.

"Jika Anda mengadopsi teknologi ini, Anda dapat menghasilkan energi listrik yang bersahabat dengan lingkungan," kata Direktur PLTU Isogo Juzo Kotani. Keyakinan itu pula yang dimiliki Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk. Garibaldi Tohir setelah mengetahui keberhasilan PLTU Isogo.

"Teknologi Jepang adalah salah satu yang terbaik di dunia," kata Garibaldi Tohir.

Pewarta: Rahmad Nasution

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016