Satu gambar bermakna ribuan kata, merupakan ungkapan tepat dalam mendeskripsikan foto Kim Phuc, seorang anak perempuan Vietnam berusia 9 tahun yang berteriak dengan rasa ngeri karena bagian punggungnya mengalami luka bakar akibat serangan bom napalm.
Foto yang diambil Nick Ut, pewarta foto dari kantor berita Associated Press (AP) pada 8 Juni 1972 itu, atau dalam masa Perang Vietnam, benar-benar menggambarkan kengerian yang dapat ditimbulkan akibat pengeboman udara.
Kim Phuc, yang sekarang menjadi warga negara Kanada dan mendirikan yayasan untuk membantu anak-anak korban perang, menyatakan bahwa rasa sakit secara fisik akibat serangan bom napalm masih membekas.
Namun, dalam artikel yang ditulisnya sendiri di The Wall Street Journal dan diterbitkan pada 2017, Kim Phuc menyatakan bahwa hal yang lebih buruk adalah rasa sakit emosional dan spiritual yang dideritanya.
Napalm, yang memiliki dampak mematikan seperti senjata pelontar api, merupakan salah satu jenis amunisi klaster atau bom tandan, yaitu jenis amunisi yang dilepaskan dari udara ke permukaan di bawahnya.
Baca juga: Parlemen Eropa desak NATO undang Ukraina
Bom tandan biasanya menebarkan sejumlah bom-bom kecil di area yang sangat luas sehingga dapat menewaskan atau melukai banyak warga sipil yang tidak waspada selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun kemudian.
Dalam sejarahnya, bom tandan yang pertama kali digunakan secara signifikan adalah Sprengbombe Dickwandig berbobot 2 kilogram buatan Jerman yang digunakan Luftwaffe (Angkatan Udara Jerman) pada masa Perang Dunia Kedua.
Tidak hanya oleh Nazi Jerman, pengeboman melalui udara pada Perang Dunia Kedua juga dilakukan oleh pesawat negara-negara Sekutu seperti pengeboman terhadap Dresden di Jerman (yang menewaskan lebih dari 25.000 warga di kota tersebut), serta pengeboman Tokyo yang dilakukan beberapa kali, khususnya pada 1944-1945, yang menghabisi nyawa lebih dari 100.000 warga sipil.
Sayangnya, jumlah korban yang besar itu tidak membuat penggunaan bom tandan dihentikan, bahkan tetap terus digunakan sepanjang abad ke-20 dan terus berlanjut hingga abad ke-21 ini, termasuk dalam konflik Rusia dan Ukraina sekarang ini.
Padahal, pada Perang Lebanon 2006, di mana Israel banyak menggunakan bom tandan, menjadi momentum bagi berbagai negara untuk melarang penggunaan amunisi bom tandan.
Pergerakan dari banyak negara itu akhirnya melahirkan Convention on Cluster Munitions atau Konvensi Munisi Tandan yang melarang penggunaan bom tandan. Konvensi yang diadopsi pada 30 Mei 2008 di Dublin dan mulai ditandatangani pada 3 Desember 2008 itu hingga 2023 telah diratifikasi oleh 111 negara.
Baca juga: Prabowo usul Rusia dan Ukraina gencatan senjata
Kedua belah pihak
Namun, pada konflik Rusia-Ukraina terbaru yang berawal dari invasi pasukan Rusia ke wilayah Ukraina pada Februari 2022, ditemukan masih ada penggunaan bom tandan oleh kedua belah pihak.
Organisasi hak asasi manusia Human Rights Watch (HRW) dalam laporannya yang diterbitkan pada Kamis (6/7), menyatakan baik pasukan Rusia maupun Ukraina menggunakan amunisi tandan yang menewaskan warga sipil Ukraina.
Untuk itu, HRW mendesak Rusia dan Ukraina untuk berhenti menggunakan senjata tersebut, dan mendesak Amerika Serikat (AS) untuk tidak memasok persenjataan jenis itu. AS, Rusia, dan Ukraina, termasuk negara yang menolak untuk meratifikasi konvensi yang melarang penggunaan bom tandan.
Ukraina sendiri sedang menunggu pengiriman amunisi klaster atau bom tandan dari Amerika Serikat.
Menurut penasihat politik kepresidenan Ukraina Mykhailo kepada Reuters pada Jumat (7/7), pasokan bom tandan dari AS merupakan amunisi tambahan bagi Ukraina yang berkontribusi sangat penting untuk melawan pendudukan Rusia.
Podolyak berpendapat bahwa amunisi tandan akan mampu menimbulkan dampak psikologis yang sangat luar biasa terhadap kelompok pasukan pendudukan Rusia yang saat ini menurut dia sudah menurun semangatnya.
Baca juga: Rusia siap damai dengan Ukraina
Ukraina membutuhkan lebih banyak amunisi dan sangat berterima kasih kepada negara mitra yang "memahami kenyataan keras dari perang," kata Podolyak.
Pemerintah AS sendiri pada Jumat (7/7) juga secara resmi telah mengumumkan akan mengirimkan amunisi klaster atau bom tandan ke Ukraina, sebagai bagian dari paket keamanan senilai 800 juta dolar AS (sekitar Rp12,12 triliun).
Jake Sullivan, penasihat keamanan nasional Presiden Joe Biden, kepada wartawan menyatakan bahwa pihaknya menyadari bahwa amunisi tandan menimbulkan risiko bahaya bagi warga sipil, termasuk dari bom yang tidak meledak.
Untuk itu, ujar dia, pihaknya sebenarnya telah lama menunda keputusan untuk mengirimkan amunisi bom tandan ke Ukraina.
Namun, AS menyadari bahwa ada risiko yang sangat besar bila pasukan dan tank Rusia mencaplok lebih banyak wilayah Ukraina sehingga menaklukkan daerah di mana banyak warga sipil Ukraina, bila Ukraina tidak memiliki cukup artileri, kata Sullivan.
Sulivan menyatakan bahwa Ukraina telah memberikan jaminan tertulis bahwa mereka akan menggunakan bom tandan itu dengan sangat berhati-hati untuk meminimalkan risiko terhadap warga sipil.
Negara sekutu menolak
Sontak saja, langkah yang dilakukan AS itu diikuti oleh pernyataan dari berbagai negara sekutu lain yang menyatakan bahwa mereka tidak akan mengirimkan bom tandan untuk Ukraina.
Menteri Pertahanan Spanyol Margarita Robles pada Sabtu (8/6) mengatakan bahwa bom tandan tidak boleh dikirim untuk membantu Ukraina.
"Spanyol, berdasarkan komitmen tegas kami dengan Ukraina, juga memiliki komitmen tegas bahwa senjata dan bom tertentu tidak dapat dikirim dalam keadaan apa pun," kata Margarita Robles kepada wartawan dalam sebuah kampanye di Madrid menjelang pemilu nasional pada 23 Juli.
Robles mengatakan keputusan untuk mengirimkan bom tandan adalah keputusan yang diambil Pemerintah AS, bukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), di mana Spanyol menjadi anggotanya.
Begitu juga dengan sejumlah negara sekutu lainnya, misalnya Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock yang menyatakan Jerman menolak mengirim amunisi tandan kepada Ukraina, dan pemerintah Kanada yang menegaskan komitmennya untuk melarang penggunaan amunisi tandan.
"Kami tidak mendukung penggunaan amunisi tandan dan kami berkomitmen untuk menghentikan dampak amunisi tandan terhadap warga sipil, khususnya anak-anak," kata pemerintahan Kanada dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan pada Sabtu (8/6).
Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak menyatakan bahwa meski pihaknya terus mendukung Ukraina melawan invasi ilegal yang dilakukan Rusia, tetapi pihaknya merupakan bagian dari konvensi yang melarang penggunaan amunisi tandan.
Presiden AS Joe Biden sendiri, ketika ditanya wartawan mengapa AS memasok amunisi tandan saat ini, mengatakan kepada wartawan bahwa hal itu karena upaya untuk bertahan melawan Rusia telah "kehabisan amunisi".
Kantor berita Reuters melaporkan bahwa serangan balasan Ukraina melawan pasukan Rusia berjalan lebih lambat dari yang diharapkan tetapi masih terlalu dini untuk mengambil kesimpulan mengenai peluang Kiev dalam meraih kemenangan, berdasarkan informasi dari pejabat senior Pentagon.
Colin Kahl, penasihat kebijakan utama Pentagon (sebutan bagi Departemen Pertahanan AS), seperti dikutip Reuters, berpendapat bahwa Rusia ternyata berhasil dalam memperkuat pertahanan dalam menghadapi serangan balasan Ukraina.
Namun, dia menyatakan keyakinannya bahwa Kiev sedang melakukan yang terbaik dalam pertarungan yang sulit ini. Pasukan Ukraina disebut sedang menjajaki garis pertahanan Rusia untuk mencari titik lemahnya.
Kahl juga menyatakan bahwa pasokan amunisi tandan dimaksudkan untuk memastikan bahwa Ukraina memiliki artileri yang cukup untuk menjaga serangan balasan yang sedang dilancarkan saat ini, yang dinilai berjalan sedikit lebih lambat dari yang diharapkan.
Pasokan amunisi bom tandan dari AS ke Ukraina memang akan sangat memperkuat persenjataan yang saat ini dimiliki Ukraina dalam menghadapi Rusia.
Namun, bila tidak berhati-hati dalam penggunaannya, dampak dari bom tandan akan berpotensi menambah kesengsaraan bagi para warga sipil yang terjebak di antara dua pihak yang sedang bertikai, bak ungkapan "gajah bertarung lawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah".
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Bom tandan berpotensi tambah kesengsaraan dalam konflik Rusia-Ukraina
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023
Foto yang diambil Nick Ut, pewarta foto dari kantor berita Associated Press (AP) pada 8 Juni 1972 itu, atau dalam masa Perang Vietnam, benar-benar menggambarkan kengerian yang dapat ditimbulkan akibat pengeboman udara.
Kim Phuc, yang sekarang menjadi warga negara Kanada dan mendirikan yayasan untuk membantu anak-anak korban perang, menyatakan bahwa rasa sakit secara fisik akibat serangan bom napalm masih membekas.
Namun, dalam artikel yang ditulisnya sendiri di The Wall Street Journal dan diterbitkan pada 2017, Kim Phuc menyatakan bahwa hal yang lebih buruk adalah rasa sakit emosional dan spiritual yang dideritanya.
Napalm, yang memiliki dampak mematikan seperti senjata pelontar api, merupakan salah satu jenis amunisi klaster atau bom tandan, yaitu jenis amunisi yang dilepaskan dari udara ke permukaan di bawahnya.
Baca juga: Parlemen Eropa desak NATO undang Ukraina
Bom tandan biasanya menebarkan sejumlah bom-bom kecil di area yang sangat luas sehingga dapat menewaskan atau melukai banyak warga sipil yang tidak waspada selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun kemudian.
Dalam sejarahnya, bom tandan yang pertama kali digunakan secara signifikan adalah Sprengbombe Dickwandig berbobot 2 kilogram buatan Jerman yang digunakan Luftwaffe (Angkatan Udara Jerman) pada masa Perang Dunia Kedua.
Tidak hanya oleh Nazi Jerman, pengeboman melalui udara pada Perang Dunia Kedua juga dilakukan oleh pesawat negara-negara Sekutu seperti pengeboman terhadap Dresden di Jerman (yang menewaskan lebih dari 25.000 warga di kota tersebut), serta pengeboman Tokyo yang dilakukan beberapa kali, khususnya pada 1944-1945, yang menghabisi nyawa lebih dari 100.000 warga sipil.
Sayangnya, jumlah korban yang besar itu tidak membuat penggunaan bom tandan dihentikan, bahkan tetap terus digunakan sepanjang abad ke-20 dan terus berlanjut hingga abad ke-21 ini, termasuk dalam konflik Rusia dan Ukraina sekarang ini.
Padahal, pada Perang Lebanon 2006, di mana Israel banyak menggunakan bom tandan, menjadi momentum bagi berbagai negara untuk melarang penggunaan amunisi bom tandan.
Pergerakan dari banyak negara itu akhirnya melahirkan Convention on Cluster Munitions atau Konvensi Munisi Tandan yang melarang penggunaan bom tandan. Konvensi yang diadopsi pada 30 Mei 2008 di Dublin dan mulai ditandatangani pada 3 Desember 2008 itu hingga 2023 telah diratifikasi oleh 111 negara.
Baca juga: Prabowo usul Rusia dan Ukraina gencatan senjata
Kedua belah pihak
Namun, pada konflik Rusia-Ukraina terbaru yang berawal dari invasi pasukan Rusia ke wilayah Ukraina pada Februari 2022, ditemukan masih ada penggunaan bom tandan oleh kedua belah pihak.
Organisasi hak asasi manusia Human Rights Watch (HRW) dalam laporannya yang diterbitkan pada Kamis (6/7), menyatakan baik pasukan Rusia maupun Ukraina menggunakan amunisi tandan yang menewaskan warga sipil Ukraina.
Untuk itu, HRW mendesak Rusia dan Ukraina untuk berhenti menggunakan senjata tersebut, dan mendesak Amerika Serikat (AS) untuk tidak memasok persenjataan jenis itu. AS, Rusia, dan Ukraina, termasuk negara yang menolak untuk meratifikasi konvensi yang melarang penggunaan bom tandan.
Ukraina sendiri sedang menunggu pengiriman amunisi klaster atau bom tandan dari Amerika Serikat.
Menurut penasihat politik kepresidenan Ukraina Mykhailo kepada Reuters pada Jumat (7/7), pasokan bom tandan dari AS merupakan amunisi tambahan bagi Ukraina yang berkontribusi sangat penting untuk melawan pendudukan Rusia.
Podolyak berpendapat bahwa amunisi tandan akan mampu menimbulkan dampak psikologis yang sangat luar biasa terhadap kelompok pasukan pendudukan Rusia yang saat ini menurut dia sudah menurun semangatnya.
Baca juga: Rusia siap damai dengan Ukraina
Ukraina membutuhkan lebih banyak amunisi dan sangat berterima kasih kepada negara mitra yang "memahami kenyataan keras dari perang," kata Podolyak.
Pemerintah AS sendiri pada Jumat (7/7) juga secara resmi telah mengumumkan akan mengirimkan amunisi klaster atau bom tandan ke Ukraina, sebagai bagian dari paket keamanan senilai 800 juta dolar AS (sekitar Rp12,12 triliun).
Jake Sullivan, penasihat keamanan nasional Presiden Joe Biden, kepada wartawan menyatakan bahwa pihaknya menyadari bahwa amunisi tandan menimbulkan risiko bahaya bagi warga sipil, termasuk dari bom yang tidak meledak.
Untuk itu, ujar dia, pihaknya sebenarnya telah lama menunda keputusan untuk mengirimkan amunisi bom tandan ke Ukraina.
Namun, AS menyadari bahwa ada risiko yang sangat besar bila pasukan dan tank Rusia mencaplok lebih banyak wilayah Ukraina sehingga menaklukkan daerah di mana banyak warga sipil Ukraina, bila Ukraina tidak memiliki cukup artileri, kata Sullivan.
Sulivan menyatakan bahwa Ukraina telah memberikan jaminan tertulis bahwa mereka akan menggunakan bom tandan itu dengan sangat berhati-hati untuk meminimalkan risiko terhadap warga sipil.
Negara sekutu menolak
Sontak saja, langkah yang dilakukan AS itu diikuti oleh pernyataan dari berbagai negara sekutu lain yang menyatakan bahwa mereka tidak akan mengirimkan bom tandan untuk Ukraina.
Menteri Pertahanan Spanyol Margarita Robles pada Sabtu (8/6) mengatakan bahwa bom tandan tidak boleh dikirim untuk membantu Ukraina.
"Spanyol, berdasarkan komitmen tegas kami dengan Ukraina, juga memiliki komitmen tegas bahwa senjata dan bom tertentu tidak dapat dikirim dalam keadaan apa pun," kata Margarita Robles kepada wartawan dalam sebuah kampanye di Madrid menjelang pemilu nasional pada 23 Juli.
Robles mengatakan keputusan untuk mengirimkan bom tandan adalah keputusan yang diambil Pemerintah AS, bukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), di mana Spanyol menjadi anggotanya.
Begitu juga dengan sejumlah negara sekutu lainnya, misalnya Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock yang menyatakan Jerman menolak mengirim amunisi tandan kepada Ukraina, dan pemerintah Kanada yang menegaskan komitmennya untuk melarang penggunaan amunisi tandan.
"Kami tidak mendukung penggunaan amunisi tandan dan kami berkomitmen untuk menghentikan dampak amunisi tandan terhadap warga sipil, khususnya anak-anak," kata pemerintahan Kanada dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan pada Sabtu (8/6).
Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak menyatakan bahwa meski pihaknya terus mendukung Ukraina melawan invasi ilegal yang dilakukan Rusia, tetapi pihaknya merupakan bagian dari konvensi yang melarang penggunaan amunisi tandan.
Presiden AS Joe Biden sendiri, ketika ditanya wartawan mengapa AS memasok amunisi tandan saat ini, mengatakan kepada wartawan bahwa hal itu karena upaya untuk bertahan melawan Rusia telah "kehabisan amunisi".
Kantor berita Reuters melaporkan bahwa serangan balasan Ukraina melawan pasukan Rusia berjalan lebih lambat dari yang diharapkan tetapi masih terlalu dini untuk mengambil kesimpulan mengenai peluang Kiev dalam meraih kemenangan, berdasarkan informasi dari pejabat senior Pentagon.
Colin Kahl, penasihat kebijakan utama Pentagon (sebutan bagi Departemen Pertahanan AS), seperti dikutip Reuters, berpendapat bahwa Rusia ternyata berhasil dalam memperkuat pertahanan dalam menghadapi serangan balasan Ukraina.
Namun, dia menyatakan keyakinannya bahwa Kiev sedang melakukan yang terbaik dalam pertarungan yang sulit ini. Pasukan Ukraina disebut sedang menjajaki garis pertahanan Rusia untuk mencari titik lemahnya.
Kahl juga menyatakan bahwa pasokan amunisi tandan dimaksudkan untuk memastikan bahwa Ukraina memiliki artileri yang cukup untuk menjaga serangan balasan yang sedang dilancarkan saat ini, yang dinilai berjalan sedikit lebih lambat dari yang diharapkan.
Pasokan amunisi bom tandan dari AS ke Ukraina memang akan sangat memperkuat persenjataan yang saat ini dimiliki Ukraina dalam menghadapi Rusia.
Namun, bila tidak berhati-hati dalam penggunaannya, dampak dari bom tandan akan berpotensi menambah kesengsaraan bagi para warga sipil yang terjebak di antara dua pihak yang sedang bertikai, bak ungkapan "gajah bertarung lawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah".
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Bom tandan berpotensi tambah kesengsaraan dalam konflik Rusia-Ukraina
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023