Warga Perumahan Kertamukti Sakti Residen (KSR) dan Taman Kertamukti Residence (TKR) di Desa Kertamukti, Kecamatan Cibitung, Kabupaten Bekasi menolak rencana pembangunan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) di wilayah itu.
Perwakilan warga setempat Abdurahim Ibnu Hakim mengatakan alasan penolakan TPST adalah lokasi pembangunan yang berjarak relatif dekat permukiman mereka yakni kurang dari 500 meter.
"Padahal jika mengacu Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2013, jarak TPST ke permukiman seharusnya minimal 500 meter," katanya di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis.
Ia mengungkapkan berdasarkan hasil penghitungan jarak yang mengacu aplikasi digital Google Maps, titik pembangunan TPST tersebut hanya berjarak 159 meter dari Perumahan TKR bahkan kurang dari 100 meter dari Perumahan KSR.
"Kami mohon kepada para pemangku kebijakan untuk memindahkan rencana pembangunan TPST ini karena jaraknya terlalu dekat dengan pemukiman kami," katanya.
Baca juga: Yayasan WINGS Peduli ajak masyarakat perangi sampah plastik bertajuk "pilah dari sekarang"
Sebagai bentuk penolakan, warga telah memasang spanduk berukuran 4x2 meter sebanyak dua buah di sekitar wilayah yang nanti akan dijadikan TPST sejak satu bulan lalu. Pihaknya juga mengumpulkan tanda tangan sebagai bukti warga sepakat menolak pembangunan tersebut.
"Saya warga perumahan Kertamukti blok E 6 menolak adanya rencana TPST di sini, harusnya cari tempat yang luas jauh dari pemukiman warga, pokoknya di sini tidak layak," kata warga lain Endang Kusnawati.
Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi merespon penolakan dengan menjadwalkan sosialisasi dan edukasi terkait manajemen pengelolaan TPST dengan sistem 3R kepada warga di sekitar lokasi TPST. Dengan demikian, kesehatan, kenyamanan, dan kebersihan lingkungan warga terjamin.
"Kita akan melakukan upaya musyawarah dengan warga yang menolak agar ada win-win solution," kata Juru Bicara Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi Jhon.
Baca juga: Pemkab Bekasi siapkan tiga tempat pengolahan sampah terpadu
Diketahui, persoalan sampah menjadi salah satu fokus Pemerintah Kabupaten Bekasi. Selain marak TPS liar, kondisi ini disebabkan karena TPA Burangkeng telah lama mengalami kelebihan kapasitas.
Penjabat Bupati Bekasi Dani Ramdan mengatakan untuk menangani persoalan sampah diperlukan strategi, salah satunya desentralisasi pengelolaan sampah di Kabupaten Bekasi.
"Mind set pengelolaan harus diubah, dari semula hanya buang di TPA Burangkeng, diganti dengan pengelolaan tingkat paling bawah, mulai dari RT/RW, desa/kelurahan dan kecamatan," ucapnya.
Di tingkat paling bawah, Dani mengharapkan agar setiap RT dan RW memiliki bank sampah yang dikelola secara mandiri untuk memilah sampah-sampah bernilai ekonomis, seperti kardus dan botol plastik.
"Kalau bank sampah itu kan kelembagaan mandiri dalam rangka memanfaatkan kembali sampah rumah tangga agar bernilai ekonomis, sehingga implikasinya ada pendapatan tambahan. Di sisi lain mengurangi volume sampah yang diangkut ke TPA karena sudah ada penyaringan di tingkat RT/RW sehingga hanya residu saja yang dibuang ke TPA," katanya.
Baca juga: Leonardo DiCaprio menyoroti kondisi TPST Bantargebang
Pihaknya menargetkan setiap desa memiliki Tempat Pengolahan Sampah 3R (Reuse, Reduce, Recycle) sebagai fasilitas menampung sampah plastik yang dikumpulkan masyarakat.
Begitu pula di tingkat kecamatan yang nanti akan dibuat Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST). Para camat dan kepala desa diminta untuk mengedukasi masyarakat agar rencana desentralisasi sampah tersebut bisa terwujud.
"Makanya saya dorong para camat, karena masalahnya ada dua. Pertama kesiapan lahan dan kesediaan masyarakat. Karena image masyarakat pasti, kalau ada TPS3R atau TPST, jadi bau dan lainnya. Ini yang harus kami beritahukan lagi. Padahal kalau dikelola dengan baik, tidak akan ada bau," katanya.
Dani juga menyebutkan ada sejumlah kriteria sebuah lahan dinilai laik untuk dibangun TPS3R dan TPST. TPS3R membutuhkan lahan 2.000-3.500 meter persegi sedangkan TPST butuh lahan seluas 1-2 hektare.
"Kemudian, akses harus mudah, truk, baktor harus bisa masuk ke dalam. Ketiga memang sebaiknya tidak dekat dengan pemukiman warga. Tapi kalau pun lokasinya tersedia dekat, berarti disiplin teknologi dan pengelolaan harus tinggi supaya tidak bau dan tercecer," kata dia.(KR-PRA).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023
Perwakilan warga setempat Abdurahim Ibnu Hakim mengatakan alasan penolakan TPST adalah lokasi pembangunan yang berjarak relatif dekat permukiman mereka yakni kurang dari 500 meter.
"Padahal jika mengacu Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2013, jarak TPST ke permukiman seharusnya minimal 500 meter," katanya di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis.
Ia mengungkapkan berdasarkan hasil penghitungan jarak yang mengacu aplikasi digital Google Maps, titik pembangunan TPST tersebut hanya berjarak 159 meter dari Perumahan TKR bahkan kurang dari 100 meter dari Perumahan KSR.
"Kami mohon kepada para pemangku kebijakan untuk memindahkan rencana pembangunan TPST ini karena jaraknya terlalu dekat dengan pemukiman kami," katanya.
Baca juga: Yayasan WINGS Peduli ajak masyarakat perangi sampah plastik bertajuk "pilah dari sekarang"
Sebagai bentuk penolakan, warga telah memasang spanduk berukuran 4x2 meter sebanyak dua buah di sekitar wilayah yang nanti akan dijadikan TPST sejak satu bulan lalu. Pihaknya juga mengumpulkan tanda tangan sebagai bukti warga sepakat menolak pembangunan tersebut.
"Saya warga perumahan Kertamukti blok E 6 menolak adanya rencana TPST di sini, harusnya cari tempat yang luas jauh dari pemukiman warga, pokoknya di sini tidak layak," kata warga lain Endang Kusnawati.
Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi merespon penolakan dengan menjadwalkan sosialisasi dan edukasi terkait manajemen pengelolaan TPST dengan sistem 3R kepada warga di sekitar lokasi TPST. Dengan demikian, kesehatan, kenyamanan, dan kebersihan lingkungan warga terjamin.
"Kita akan melakukan upaya musyawarah dengan warga yang menolak agar ada win-win solution," kata Juru Bicara Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi Jhon.
Baca juga: Pemkab Bekasi siapkan tiga tempat pengolahan sampah terpadu
Diketahui, persoalan sampah menjadi salah satu fokus Pemerintah Kabupaten Bekasi. Selain marak TPS liar, kondisi ini disebabkan karena TPA Burangkeng telah lama mengalami kelebihan kapasitas.
Penjabat Bupati Bekasi Dani Ramdan mengatakan untuk menangani persoalan sampah diperlukan strategi, salah satunya desentralisasi pengelolaan sampah di Kabupaten Bekasi.
"Mind set pengelolaan harus diubah, dari semula hanya buang di TPA Burangkeng, diganti dengan pengelolaan tingkat paling bawah, mulai dari RT/RW, desa/kelurahan dan kecamatan," ucapnya.
Di tingkat paling bawah, Dani mengharapkan agar setiap RT dan RW memiliki bank sampah yang dikelola secara mandiri untuk memilah sampah-sampah bernilai ekonomis, seperti kardus dan botol plastik.
"Kalau bank sampah itu kan kelembagaan mandiri dalam rangka memanfaatkan kembali sampah rumah tangga agar bernilai ekonomis, sehingga implikasinya ada pendapatan tambahan. Di sisi lain mengurangi volume sampah yang diangkut ke TPA karena sudah ada penyaringan di tingkat RT/RW sehingga hanya residu saja yang dibuang ke TPA," katanya.
Baca juga: Leonardo DiCaprio menyoroti kondisi TPST Bantargebang
Pihaknya menargetkan setiap desa memiliki Tempat Pengolahan Sampah 3R (Reuse, Reduce, Recycle) sebagai fasilitas menampung sampah plastik yang dikumpulkan masyarakat.
Begitu pula di tingkat kecamatan yang nanti akan dibuat Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST). Para camat dan kepala desa diminta untuk mengedukasi masyarakat agar rencana desentralisasi sampah tersebut bisa terwujud.
"Makanya saya dorong para camat, karena masalahnya ada dua. Pertama kesiapan lahan dan kesediaan masyarakat. Karena image masyarakat pasti, kalau ada TPS3R atau TPST, jadi bau dan lainnya. Ini yang harus kami beritahukan lagi. Padahal kalau dikelola dengan baik, tidak akan ada bau," katanya.
Dani juga menyebutkan ada sejumlah kriteria sebuah lahan dinilai laik untuk dibangun TPS3R dan TPST. TPS3R membutuhkan lahan 2.000-3.500 meter persegi sedangkan TPST butuh lahan seluas 1-2 hektare.
"Kemudian, akses harus mudah, truk, baktor harus bisa masuk ke dalam. Ketiga memang sebaiknya tidak dekat dengan pemukiman warga. Tapi kalau pun lokasinya tersedia dekat, berarti disiplin teknologi dan pengelolaan harus tinggi supaya tidak bau dan tercecer," kata dia.(KR-PRA).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023