Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan pemerintah tidak menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat terkait pelanggaran HAM berat masa lampau, demikian rekomendasi dari Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat dalam rapat yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa.
"Di dalam rekomendasi penyelesaian non-yudisial itu, tidak ada permintaan maaf dari pemerintah kepada masyarakat karena peristiwa itu; tetapi pemerintah menyatakan mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan pemerintah menyesali terjadinya peristiwa itu," kata Mahfud.
Presiden Jokowi sudah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) yang Berat. Dalam Inpres itu, Presiden menugaskan 19 kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (K/L) melaksanakan rekomendasi PPHAM, yakni memulihkan hak korban atas peristiwa pelanggaran HAM berat berat secara adil dan bijaksana serta mencegah agar pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi.
"Jadi, tidak ada permintaan maaf dan tidak ada perubahan status hukum terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu. Misalnya, TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tetap berlaku sebagai ketetapan yang tidak diubah, kemudian mengenai peristiwa yang sudah diputuskan oleh pengadilan juga tetap berlaku," kata Mahfud.
Tim Pemantau PPHAM fokus pada korban pelanggaran HAM berat masa lalu terhadap 12 peristiwa, yakni peristiwa tahun 1965-1966, penembakan misterius tahun 1982-1985, peristiwa Talangsari di Lampung tahun 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh tahun 1989, peristiwa penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998, dan kerusuhan Mei tahun 1998.
Selain itu peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II tahun 1998-1999, pembunuhan dukun santet tahun 1998-1999, peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999, peristiwa Wasior di Papua tahun 2001-2002, peristiwa Wamena di Papua tahun 2003, serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023
"Di dalam rekomendasi penyelesaian non-yudisial itu, tidak ada permintaan maaf dari pemerintah kepada masyarakat karena peristiwa itu; tetapi pemerintah menyatakan mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan pemerintah menyesali terjadinya peristiwa itu," kata Mahfud.
Presiden Jokowi sudah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) yang Berat. Dalam Inpres itu, Presiden menugaskan 19 kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (K/L) melaksanakan rekomendasi PPHAM, yakni memulihkan hak korban atas peristiwa pelanggaran HAM berat berat secara adil dan bijaksana serta mencegah agar pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi.
"Jadi, tidak ada permintaan maaf dan tidak ada perubahan status hukum terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu. Misalnya, TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tetap berlaku sebagai ketetapan yang tidak diubah, kemudian mengenai peristiwa yang sudah diputuskan oleh pengadilan juga tetap berlaku," kata Mahfud.
Tim Pemantau PPHAM fokus pada korban pelanggaran HAM berat masa lalu terhadap 12 peristiwa, yakni peristiwa tahun 1965-1966, penembakan misterius tahun 1982-1985, peristiwa Talangsari di Lampung tahun 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh tahun 1989, peristiwa penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998, dan kerusuhan Mei tahun 1998.
Selain itu peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II tahun 1998-1999, pembunuhan dukun santet tahun 1998-1999, peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999, peristiwa Wasior di Papua tahun 2001-2002, peristiwa Wamena di Papua tahun 2003, serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023