Ancaman terorisme di Indonesia sebagai dampak atau ekses dari adanya tekanan global dan tekanan dalam negeri.
Tekanan global diwarnai adanya konflik ide politik global yang dipicu oleh strategi militer Amerika Serikat untuk memperkuat ekonomi politik mereka ke depan melalui isu "Rebalancing Asia Pasific" serta dinamika internal dalam bentuk radikalisme Agama di Indonesia termasuk adanya eskalasi aksi terorisme akibat eksistensi dukungan WNI yang menjadi simpatisan ISIS, keberadaan kelompok militan atau jaringan pelaku atau mantan pelaku teror, masih kuatnya dukungan dana jihad yang ditransfer berbagai kalangan yang sejauh ini diidentifikasi berasal dari Turki, Australia dan beberapa negara di Timur Tengah termasuk adanya arus imigran gelap yang masuk ke wilayah NKRI.
Berdasarkan catatan Global Affairs Foreign Terrorist Fighter, Indonesia termasuk negara yang menjadi pensuplai anggota ISIS yang sampai Januari 2016 tercatat sebanyak 300 orang. Sementara itu negara paling banyak warganya yang bergabung dalam ISIS antara lain Tunisia (6.000 orang), Saudi Arabia (2.275 orang), Yordania (2.000 orang), Rusia (1.700 orang), Perancis (1.550 orang), Turki (1.400 orang), dan Maroko (1.200 orang). Berdasarkan data yang dimiliki pemerintah RI dari berbagi sumber tercatat sebanyak 500 orang.
Sedikit informasi tentang ISIS
Islamic State in Iraq & Syam (ISIS) atau Islamic State (IS), serta sejumlah nama lainnya seperti ISIL, dan Daulah Islamiyah (Daesh). ISIS/IS merupakan kelompok Sunni militan yang telah bersumpah akan membasmi Syiah dari bumi Syam (Irak, Suriah, Jordanis, Turki, Lebanon). Isu konflik Sunni-Syiah juga berpotensi dimanfaatkan di Indoensia, karena keberadaan kelompok Syiah di sejumlah wilayah,khususnya Pulau Jawa mulai disandingkan dengan isu Pemerintahan Thogut dan perlindungan terhadap perkembangan aliran Syiah di Indonesia.
ISIS/IS menyebarkan ideologi terorisme, dengan doktrin radikal, memerintahkan para jihadis militan dari berbagai dunia, agar tidak ragu menghancurkan, membunuh, merampas dan mengeksploitasi "kemenangan berdarah" mereka.
Strategi agitasi propaganda (Agi Pro) IS/ISIS bahkan mempertontonkan akasi penganiayaan, dan eksekusi sadis, mempublikasikannya, kemudian dipublikasikan secara viral ke seluruh duni, melalui berbagai jaringan media massa dan berkilah tindakan sadis bertujuan "menggetarkan" hati musuh dan dapat dibenarkan secara Syariat.
Kebrutalan IS/ISIS ditentang para Mujahidin/Jihadis, terutama dari kelompok Jabha Nusrah dan Mujahidin lainnya yang membantu kelompok oposisi Suriah, dan tetap berpegang teguh pada wasiat tentang "amaliyah jihad" Syekh Osama bin Laden.
Ekspansi bersenjata IS/ISIS untuk menghancurkan rezim Syiah di Suriah, nyatanya juga berekspansi secara global, dan menggunakan pembenaran "memperjuangkan" Syariat dan Kekhalifahan Islam di berbagai wilayah strategis, termasuk Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Penanggulangan Terorisme
Presiden Jokowi pada tanggal 14 September 2014, telah mengeluarkan instruksi terkait upaya mencegah penyebaran faham ISIS, di antara instruksi tersebut antara lain: melipatgandakan pencegahan bergabungnya WNI dengan IS/ISIS di Irak/Suriah, meningkatkan monitoring WNI yang kembali dan akan pulang ke Indonesia, memperketat monitor terhadap orang asing di Indonesia, memperbaiki sistem pengamanan di wilayah basis tradisionil para teroris, melakukan langkah "soft power" yang melibatkan para tokoh masyarakat dan pemuka agama, menerapkan tindakan tegas bagi mereka yang terlibat kegiatan terorisme.
Sejauh ini publik di Indonesia melalui hasil pembacaan mereka dari berbagai sumber berita terkesan ada opini publik belum adanya sinergi yang solid dantara lembaga pemangku kepentingan yang selama ini bertugas menangani penanggulangan ancaman terorisme.
Hal ini dengan indikasi terjadinya "rebutan kewenangan" dalam pemberantasan terorisme antara TNI dan Polri, terkesan bahwa Polri menginginkan pemberantasan terorisme adalah domain mereka dengan anggapan terorisme adalah masalah keamanan dalam negeri, sedangkan TNI menilai ancaman terorisme sudah merupakan ancaman terhadap negara sehingga pelibatan mereka dalam pemberantasan terorisme harus diperluas.
Disisi yang lain, revisi Undang-undang Anti Terorisme juga sangat lambat dibahas di DPR, termasuk terjadinya pro kontra penambahan kewenangan menangkap oleh BIN dalam revisi undang-undang tersebut.
Terjadinya diskursus yang tidak sehat terkait penanggulangan terorisme ini dapat menjadi momentum bagi kelompok radikal untuk tetap eksis dan disisi yang lain menimbulkan pertanyaan dari kalangan publik soal kemampuan negara melindungi hak insani di Indonesia.
Bagaimanapun juga, kebijakan pencegahan terorisme memerlukan sinergi antar lembaga yang diarahkan pada keselarasan langkahtindak dan kegiatan untuk menngkal ideologi radikal yang ditujukan kepada seluruh elemen masyarakat melalui strategi kontra radikalisasi yang merupakan upaya melakukan penangkalan faham dan gerakan terorisme kepada masyarakat dalam rangka peningkatan kewaspadaan serta daya tahan masyarakat dari pengaruh faham radikal teroris.
Media massa dan terorisme
Upaya penanggulangan terorisme tidak dapat dilepaskan dari pelibatan media massa sebagai salah satu elemen terpenting karena bagaimanapun juga media massa sebagai "pihak ketiga" yang diperebutkan oleh kaum teroris di satu sisi untuk mengajak masyarakat mengikuti faham radikal mereka dan pemerintah, di sisi yang lain dengan upayanya menangkal penyebaran faham teroris.
Strategisnya posisi media massa dalam penanggulangan terorisme dikemukakan oleh Paul Wilkinson dalam bukunya "Terrorisme and Counter Terrorism in the Comporary World", The Scarecrow Press, Inc, Lanham Maryland-Toronto-Plymouth, United Kingdom (2009) mengatakan, pengaruh media massa pada dasarnya memiliki peran penting dalam menentukan pengetahuan dan persepsi publik untuk mengubah yang salah menjadi benar. Di samping itu, jurnalis harus terus menyadari bahwa dirinya sedang mengemban misi menyampaikan informasi yang bertujuan mengedukasi public.
Selanjutnya, Paul Wilkinson mengatakan, bagi kalangan teroris, keberadaan media massa dianggap sangat penting dalam rangka propaganda, sehingga aksi yang dilakukan teroris dapat direkam dan disuarakan oleh media massa.
Oleh karena itu, penggalangan terhadap media massa baik cetak, elektronik dan on line perlu diintensifkan, termasuk pendekatan terhadap kelompok blogger dan netizen di dunia media sosial, karena di samping pengguna media sosial yang terus berkembang pesat di Indonesia, sehingga mereka menjadi titik rentan kelompok yang disasar oleh kelompok radikal dalam mengkampanyekan ideologi yang salah melalui jalur media massa.
*) Penulis adalah Pemerhati masalah teror di Galesong Institute, Jakarta. Tinggal di Depok, Jawa Barat.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016
Tekanan global diwarnai adanya konflik ide politik global yang dipicu oleh strategi militer Amerika Serikat untuk memperkuat ekonomi politik mereka ke depan melalui isu "Rebalancing Asia Pasific" serta dinamika internal dalam bentuk radikalisme Agama di Indonesia termasuk adanya eskalasi aksi terorisme akibat eksistensi dukungan WNI yang menjadi simpatisan ISIS, keberadaan kelompok militan atau jaringan pelaku atau mantan pelaku teror, masih kuatnya dukungan dana jihad yang ditransfer berbagai kalangan yang sejauh ini diidentifikasi berasal dari Turki, Australia dan beberapa negara di Timur Tengah termasuk adanya arus imigran gelap yang masuk ke wilayah NKRI.
Berdasarkan catatan Global Affairs Foreign Terrorist Fighter, Indonesia termasuk negara yang menjadi pensuplai anggota ISIS yang sampai Januari 2016 tercatat sebanyak 300 orang. Sementara itu negara paling banyak warganya yang bergabung dalam ISIS antara lain Tunisia (6.000 orang), Saudi Arabia (2.275 orang), Yordania (2.000 orang), Rusia (1.700 orang), Perancis (1.550 orang), Turki (1.400 orang), dan Maroko (1.200 orang). Berdasarkan data yang dimiliki pemerintah RI dari berbagi sumber tercatat sebanyak 500 orang.
Sedikit informasi tentang ISIS
Islamic State in Iraq & Syam (ISIS) atau Islamic State (IS), serta sejumlah nama lainnya seperti ISIL, dan Daulah Islamiyah (Daesh). ISIS/IS merupakan kelompok Sunni militan yang telah bersumpah akan membasmi Syiah dari bumi Syam (Irak, Suriah, Jordanis, Turki, Lebanon). Isu konflik Sunni-Syiah juga berpotensi dimanfaatkan di Indoensia, karena keberadaan kelompok Syiah di sejumlah wilayah,khususnya Pulau Jawa mulai disandingkan dengan isu Pemerintahan Thogut dan perlindungan terhadap perkembangan aliran Syiah di Indonesia.
ISIS/IS menyebarkan ideologi terorisme, dengan doktrin radikal, memerintahkan para jihadis militan dari berbagai dunia, agar tidak ragu menghancurkan, membunuh, merampas dan mengeksploitasi "kemenangan berdarah" mereka.
Strategi agitasi propaganda (Agi Pro) IS/ISIS bahkan mempertontonkan akasi penganiayaan, dan eksekusi sadis, mempublikasikannya, kemudian dipublikasikan secara viral ke seluruh duni, melalui berbagai jaringan media massa dan berkilah tindakan sadis bertujuan "menggetarkan" hati musuh dan dapat dibenarkan secara Syariat.
Kebrutalan IS/ISIS ditentang para Mujahidin/Jihadis, terutama dari kelompok Jabha Nusrah dan Mujahidin lainnya yang membantu kelompok oposisi Suriah, dan tetap berpegang teguh pada wasiat tentang "amaliyah jihad" Syekh Osama bin Laden.
Ekspansi bersenjata IS/ISIS untuk menghancurkan rezim Syiah di Suriah, nyatanya juga berekspansi secara global, dan menggunakan pembenaran "memperjuangkan" Syariat dan Kekhalifahan Islam di berbagai wilayah strategis, termasuk Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Penanggulangan Terorisme
Presiden Jokowi pada tanggal 14 September 2014, telah mengeluarkan instruksi terkait upaya mencegah penyebaran faham ISIS, di antara instruksi tersebut antara lain: melipatgandakan pencegahan bergabungnya WNI dengan IS/ISIS di Irak/Suriah, meningkatkan monitoring WNI yang kembali dan akan pulang ke Indonesia, memperketat monitor terhadap orang asing di Indonesia, memperbaiki sistem pengamanan di wilayah basis tradisionil para teroris, melakukan langkah "soft power" yang melibatkan para tokoh masyarakat dan pemuka agama, menerapkan tindakan tegas bagi mereka yang terlibat kegiatan terorisme.
Sejauh ini publik di Indonesia melalui hasil pembacaan mereka dari berbagai sumber berita terkesan ada opini publik belum adanya sinergi yang solid dantara lembaga pemangku kepentingan yang selama ini bertugas menangani penanggulangan ancaman terorisme.
Hal ini dengan indikasi terjadinya "rebutan kewenangan" dalam pemberantasan terorisme antara TNI dan Polri, terkesan bahwa Polri menginginkan pemberantasan terorisme adalah domain mereka dengan anggapan terorisme adalah masalah keamanan dalam negeri, sedangkan TNI menilai ancaman terorisme sudah merupakan ancaman terhadap negara sehingga pelibatan mereka dalam pemberantasan terorisme harus diperluas.
Disisi yang lain, revisi Undang-undang Anti Terorisme juga sangat lambat dibahas di DPR, termasuk terjadinya pro kontra penambahan kewenangan menangkap oleh BIN dalam revisi undang-undang tersebut.
Terjadinya diskursus yang tidak sehat terkait penanggulangan terorisme ini dapat menjadi momentum bagi kelompok radikal untuk tetap eksis dan disisi yang lain menimbulkan pertanyaan dari kalangan publik soal kemampuan negara melindungi hak insani di Indonesia.
Bagaimanapun juga, kebijakan pencegahan terorisme memerlukan sinergi antar lembaga yang diarahkan pada keselarasan langkahtindak dan kegiatan untuk menngkal ideologi radikal yang ditujukan kepada seluruh elemen masyarakat melalui strategi kontra radikalisasi yang merupakan upaya melakukan penangkalan faham dan gerakan terorisme kepada masyarakat dalam rangka peningkatan kewaspadaan serta daya tahan masyarakat dari pengaruh faham radikal teroris.
Media massa dan terorisme
Upaya penanggulangan terorisme tidak dapat dilepaskan dari pelibatan media massa sebagai salah satu elemen terpenting karena bagaimanapun juga media massa sebagai "pihak ketiga" yang diperebutkan oleh kaum teroris di satu sisi untuk mengajak masyarakat mengikuti faham radikal mereka dan pemerintah, di sisi yang lain dengan upayanya menangkal penyebaran faham teroris.
Strategisnya posisi media massa dalam penanggulangan terorisme dikemukakan oleh Paul Wilkinson dalam bukunya "Terrorisme and Counter Terrorism in the Comporary World", The Scarecrow Press, Inc, Lanham Maryland-Toronto-Plymouth, United Kingdom (2009) mengatakan, pengaruh media massa pada dasarnya memiliki peran penting dalam menentukan pengetahuan dan persepsi publik untuk mengubah yang salah menjadi benar. Di samping itu, jurnalis harus terus menyadari bahwa dirinya sedang mengemban misi menyampaikan informasi yang bertujuan mengedukasi public.
Selanjutnya, Paul Wilkinson mengatakan, bagi kalangan teroris, keberadaan media massa dianggap sangat penting dalam rangka propaganda, sehingga aksi yang dilakukan teroris dapat direkam dan disuarakan oleh media massa.
Oleh karena itu, penggalangan terhadap media massa baik cetak, elektronik dan on line perlu diintensifkan, termasuk pendekatan terhadap kelompok blogger dan netizen di dunia media sosial, karena di samping pengguna media sosial yang terus berkembang pesat di Indonesia, sehingga mereka menjadi titik rentan kelompok yang disasar oleh kelompok radikal dalam mengkampanyekan ideologi yang salah melalui jalur media massa.
*) Penulis adalah Pemerhati masalah teror di Galesong Institute, Jakarta. Tinggal di Depok, Jawa Barat.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016