Kasus tawuran, penyerangan, pengeroyokan, serta penganiayaan hingga korban tewas yang dilakukan oknum pelajar di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, seakan tidak pernah berhenti. Padahal, forum koordinasi pimpinan daerah (forkopimda) bersama guru dan orang tua murid sudah menggelar deklarasi antitawuran antarpelajar.
Namun, nyatanya tidak berselang lama usai mengucap sumpah damai, tawuran--baik yang dilakukan pelajar yang masih duduk di bangku SMP maupun SMA sederajat--kembali pecah. Bahkan, tidak sedikit timbul korban mulai dari luka ringan, berat, hingga meninggal dunia.
Usut punya usut, sesuai dengan keterangan dari sejumlah pihak yang berkompeten, mulai dari unsur pemerintahan, kepolisian, psikolog, hingga lembaga kemanusiaan lainnya, aksi sadis yang dilakukan para oknum pelajar ini merupakan hasil dari peninggalan dendam alumni.
Secara turun-temurun, dendam tersebut diwariskan ke adik-adik kelasnya. Bahkan, pernah terungkap calon siswa baru diminta hingga dipaksa untuk melakukan tawuran, penyerangan, hingga penganiayaan oleh kakak kelas maupun alumni.
Kondisi seperti ini tentu akan sulit bagi siapa pun untuk mendamaikan oknum pelajar yang berkonflik. Parahnya lagi, siswa yang baru masuk atau para junior dipersenjatai oleh seniornya, baik itu senjata tajam maupun benda lainnya, untuk menyakiti pelajar lain yang dianggap sebagai musuhnya.
Ironisnya, mereka yang terlibat kekerasan antarpelajar dianggap oleh rekan sejawatnya sebagai sosok pemberani atau kesatria sehingga akhirnya menular ke pelajar lainnya. Mereka merasa bangga konvoi atau bergerombol menggunakan sepeda motor sembari mengacung-acungkan senjata tajam, bahkan menyabetkan senjata secara acak kepada siapa pun yang berpapasan dengan mereka.
Aksi mereka tentu kerap membuat takut dan geram warga sehingga tidak sedikit warga melakukan aksi main hakim sendiri kepada oknum pelajar yang polahnya membahayakan dan bisa melukai orang lain.
Mereka berani melakukan aksi tersebut hanya untuk mendapatkan sanjungan dari para senior atau alumni agar bisa dicap sebagai seorang yang bernyali, agar bisa masuk dalam lingkaran para senior yang mereka nilai keren atau gaul. Padahal, apa yang telah dilakukannya itu sebagai calon sampah masyarakat yang sudah pasti dibenci dan keberadaannya dianggap hina.
Selain itu, untuk mengasah nyali oknum pelajar agar mereka menjadi nekat dan sadis kepada orang lain yang dianggap musuhnya, para seniornya itu melakukan ospek dengan cara melakukan menduelkan adik kelasnya serta mendoktrin agar tega menyakiti pelajar yang menjadi musuh bebuyutannya.
Pola seperti ini ternyata terus dilakukan secara turun-temurun sehingga aksi tawuran pelajar sulit untuk dihilangkan karena sudah mendarah daging. Bahkan di saat pandemi COVID-19 ketika pelajar diharuskan belajar di rumah, nyatanya tawuran antarpelajar masih kerap terjadi di berbagai titik di Sukabumi.
Ini terungkap setelah pihak kepolisian meminta keterangan oknum pelajar yang terlibat kriminal, yang mana senjata tajam yang mereka gunakan merupakan warisan dari kakak kelas atau alumni sekolahnya. Aksi sadis yang dilakukan oknum pelajar tanpa belas kasih itu melukai pelajar lainnya yang dianggap musuh akibat doktrin sesat untuk melakukan balas dendam.
Warisan buruk ini pun akan turun-temurun diberikan kepada adik-adik kelasnya yang baru masuk sekolah dengan alasan untuk menuntaskan balas dendam para seniornya.
Aksi sadis yang dilakukan oknum pelajar ini pun ternyata meniru tayangan-tayangan video kekerasan, seperti tawuran, pengeroyokan, hingga penyerangan yang tersebar di media sosial.
Dampak dari itu semua, tidak sedikit pelajar yang seharusnya menempuh pendidikan di bangku sekolah terpaksa harus melanjutkannya di balik jeruji besi akibat ulahnya itu. Tidak hanya itu, banyak juga pelajar yang mengalami cacat seumur hidup akibat terlibat tawuran atau menjadi korban penyerangan/penganiayaan.
Sejumlah orang tua juga harus memupus cita-citanya karena anaknya meninggal dunia akibat ikut bentrokan saat tawuran ataupun menjadi korban keganasan segelintir oknum pelajar.
Siapa bertanggung jawab?
Aksi kekerasan yang marak terjadi di kalangan pelajar seperti yang belum lama ini terjadi di mana seorang pelajar SD di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, harus meregang nyawa karena menjadi korban salah sasaran gerombolan oknum pelajar yang secara sadis membacokan celuritnya ke leher korban. Belum lagi ditambah sejumlah pelajar yang mengalami luka ringan hingga berat akibat aksi sadis itu. Lantas siapa yang harus bertanggung jawab?
Kasus ini harus menjadi tanggung jawab semua pihak dan jangan sampai ada yang saling menyalahkan. Akan tetapi yang paling berperan adalah orang tua karena tanggung jawab mereka dipertaruhkan demi masa depan anak-anak tersayang.
Jangan sampai masa depan anak sirna akibat salah pergaulan dan pencarian jati diri dengan cara yang negatif. Harus diakui pada usia SMP hingga SMA, setiap anak mulai mencari jati dirinya, baik itu untuk menarik perhatian lawan jenis maupun orang lain.
Pada usia tersebut, peran orang tua sangat penting dalam mengarahkan anak-anaknya kepada hal yang positif, baik itu diarahkan pada kesenangan pada dunia ilmu pengetahuan, musik, olah raga, kreativitas, teknologi, dan kegiatan positif lainnya.
Kemudian pengawasan orang tua pun harus ditingkatkan, seperti memantau dengan siapa anaknya bergaul, di mana tempat bermain atau berkumpulnya, serta aktivitas seperti apa yang dilakukan anak-anaknya.
Tidak hanya itu, di tengah pesatnya teknologi komunikasi, orang tua pun wajib mengawasi aktivitas dan tontonan anak pada telepon genggam atau telepon pintar. Alangkah baiknya orang tua membatasi waktu penggunaan gawai dan hanya diizinkan untuk kepentingan pendidikan. Kalaupun untuk bermain, jangan sampai anak menjadi kecanduan.
Kemudian melarang anak membawa kendaraan bermotor sendiri. Selain belum cukup umur dan tidak memiliki SIM, penggunaan sepeda motor juga mengancam keselamatan anak dan orang lain karena emosinya belum stabil sehingga mudah terprovokasi. Dan, yang paling berbahaya terjerumus atau bergabung dengan geng motor, yang menyebabkan pergaulan anak akan dipengaruhi hal negatif.
Seperti diketahui, geng motor--yang mayoritas anggotanya merupakan pelajar--, kerap berulah, seperti melakukan perusakan, pengancaman, penyerangan, hingga penganiayaan yang bisa menyebabkan jatuhnya korban luka maupun meninggal dunia.
Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Sukabumi Iptu Bayu Sunarti mengatakan memberikan kasih sayang kepada anak bukan berarti setiap keinginannya harus selalu dituruti. Jika ini terus-menerus dituruti, anak bisa menjadi manja bahkan bisa menjadi sosok pemberontak dan berani melawan serta tidak menghargai orang tua.
Maka dari itu, berilah anak sesuai dengan usaha dan kebutuhannya. Rasa kasih sayang orang tua yang berlebihan malah bisa menjerumuskan anak yang berperangai sadis, keras, dan nekat.
Pengawasan terhadap anak di usia sekolah, khususnya SMP dan SMA, merupakan tanggung jawab sepenuhnya orang tua karena guru tidak bisa terus-menerus mengawasi anak didiknya yang jumlahnya puluhan hingga ribuan.
Komunikasi yang baik juga bisa mencegah anak terjerumus kepada hal negatif. Sebab, komunikasi yang buruk, anak akan lebih memilih teman ngobrol yang dianggap sehati. Bahkan, tidak sedikit pelaku aksi tawuran antarpelajar serta anak yang menjadi pelaku kekerasan mereka mudah terdoktrin hal negatif oleh oknum senior maupun alumni karena mereka merasa tidak punya tempat untuk mencurahkan perasaannya.
Bayu pun mengingatkan para orang tua, selain menjalin komunikasi yang baik sejak dini, anak harus didekatkan dengan agama, yang merupakan tameng atau pelindung anak dari hal negatif yang berbau maksiat, kejahatan, hingga penyalahgunaan narkoba.
Hingga Maret 2023, Unit PPA Polres Sukabumi sudah menangkap 19 anak yang berkonflik dengan hukum (ABH). Merrekaterlibat kasus kekerasan seksual, penyerangan, dan penganiayaan hingga menyebabkan korbannya terluka maupun tewas.
Namun demikian, tidak seluruh ABH dilakukan penahanan. Mereka yang ditahan karena melakukan aksi yang membuat korbannya mengalami luka parah/berat sehingga menjadi cacat seumur hidup dan menganiaya hingga korbannya meninggal dunia.
"Kuncinya agar anak tidak mudah terjerumus adalah menanamkan agama sejak dini, perbaiki komunikasi, dan jadikan anak sebagai sahabat sehingga anak mau berterus terang kepada orang tuanya, mulai dari apa saja yang telah dilakukan, siapa apa rekan bergaulnnya, dan lainnya," ujar Bayu.
Komitmen bersama
Upaya Polres Sukabumi untuk mencegah terjadinya kembali kasus kekerasan yang dilakukan oleh pelajar, yakni dengan membuat komitmen bersama yang diikuti para pemangku kepentingan seperti Dinas Perlindungan, Perempuan dan Anak atau DP3A, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2T2A), Balai Permasyarakatan, Dinsos, Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi, serta perwakilan kepala sekolah.
Komitmen dibentuk mulai dari merancang, diskusi, serta mencari apa langkah yang akan dilanjutkan ke depan terkait dengan anak berkonflik dengan hukum (ABH), apakah anak itu sebagai korban ataupun anak sebagai pelaku.
Koordinasi tersebut untuk mencari solusi yang tepat untuk dilakukan bersama yang sebelumnya mungkin sudah dilaksanakan tapi dampaknya belum optimal. Komitmen ini lebih kepada kolaborasi sehingga tugas dan wewenang dari masing masing pemangku kepentingan bisa lebih optimal dan berguna dalam mencari solusi terhadap ABH.
"Komitmen ini tidak hanya dalam hal setelah kejadian, tetapi juga pendekatan dan pencegahan. Harapannya, Kabupaten Sukabumi menyandang status kota layak anak harus benar-benar terbukti," kata Kapolres Sukabumi AKBP Maruly Pardede.
Ada empat komitmen yang dibuat agar kasus kekerasan pada anak tidak terulang kembali. Pertama, berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak, tanpa membedakan suku, agama, dan ras.
Kedua, memberikan dan bertanggung jawab, mendukung sarana serta prasarana dalam menyelenggarakan perlindungan anak. Ketiga menjamin perlindungan pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.
Terakhir, menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.
Semua ikhtiar tersebut ditempuh guna memutus dendam warisan senior atau alumni sekolah mereka.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023
Namun, nyatanya tidak berselang lama usai mengucap sumpah damai, tawuran--baik yang dilakukan pelajar yang masih duduk di bangku SMP maupun SMA sederajat--kembali pecah. Bahkan, tidak sedikit timbul korban mulai dari luka ringan, berat, hingga meninggal dunia.
Usut punya usut, sesuai dengan keterangan dari sejumlah pihak yang berkompeten, mulai dari unsur pemerintahan, kepolisian, psikolog, hingga lembaga kemanusiaan lainnya, aksi sadis yang dilakukan para oknum pelajar ini merupakan hasil dari peninggalan dendam alumni.
Secara turun-temurun, dendam tersebut diwariskan ke adik-adik kelasnya. Bahkan, pernah terungkap calon siswa baru diminta hingga dipaksa untuk melakukan tawuran, penyerangan, hingga penganiayaan oleh kakak kelas maupun alumni.
Kondisi seperti ini tentu akan sulit bagi siapa pun untuk mendamaikan oknum pelajar yang berkonflik. Parahnya lagi, siswa yang baru masuk atau para junior dipersenjatai oleh seniornya, baik itu senjata tajam maupun benda lainnya, untuk menyakiti pelajar lain yang dianggap sebagai musuhnya.
Ironisnya, mereka yang terlibat kekerasan antarpelajar dianggap oleh rekan sejawatnya sebagai sosok pemberani atau kesatria sehingga akhirnya menular ke pelajar lainnya. Mereka merasa bangga konvoi atau bergerombol menggunakan sepeda motor sembari mengacung-acungkan senjata tajam, bahkan menyabetkan senjata secara acak kepada siapa pun yang berpapasan dengan mereka.
Aksi mereka tentu kerap membuat takut dan geram warga sehingga tidak sedikit warga melakukan aksi main hakim sendiri kepada oknum pelajar yang polahnya membahayakan dan bisa melukai orang lain.
Mereka berani melakukan aksi tersebut hanya untuk mendapatkan sanjungan dari para senior atau alumni agar bisa dicap sebagai seorang yang bernyali, agar bisa masuk dalam lingkaran para senior yang mereka nilai keren atau gaul. Padahal, apa yang telah dilakukannya itu sebagai calon sampah masyarakat yang sudah pasti dibenci dan keberadaannya dianggap hina.
Selain itu, untuk mengasah nyali oknum pelajar agar mereka menjadi nekat dan sadis kepada orang lain yang dianggap musuhnya, para seniornya itu melakukan ospek dengan cara melakukan menduelkan adik kelasnya serta mendoktrin agar tega menyakiti pelajar yang menjadi musuh bebuyutannya.
Pola seperti ini ternyata terus dilakukan secara turun-temurun sehingga aksi tawuran pelajar sulit untuk dihilangkan karena sudah mendarah daging. Bahkan di saat pandemi COVID-19 ketika pelajar diharuskan belajar di rumah, nyatanya tawuran antarpelajar masih kerap terjadi di berbagai titik di Sukabumi.
Ini terungkap setelah pihak kepolisian meminta keterangan oknum pelajar yang terlibat kriminal, yang mana senjata tajam yang mereka gunakan merupakan warisan dari kakak kelas atau alumni sekolahnya. Aksi sadis yang dilakukan oknum pelajar tanpa belas kasih itu melukai pelajar lainnya yang dianggap musuh akibat doktrin sesat untuk melakukan balas dendam.
Warisan buruk ini pun akan turun-temurun diberikan kepada adik-adik kelasnya yang baru masuk sekolah dengan alasan untuk menuntaskan balas dendam para seniornya.
Aksi sadis yang dilakukan oknum pelajar ini pun ternyata meniru tayangan-tayangan video kekerasan, seperti tawuran, pengeroyokan, hingga penyerangan yang tersebar di media sosial.
Dampak dari itu semua, tidak sedikit pelajar yang seharusnya menempuh pendidikan di bangku sekolah terpaksa harus melanjutkannya di balik jeruji besi akibat ulahnya itu. Tidak hanya itu, banyak juga pelajar yang mengalami cacat seumur hidup akibat terlibat tawuran atau menjadi korban penyerangan/penganiayaan.
Sejumlah orang tua juga harus memupus cita-citanya karena anaknya meninggal dunia akibat ikut bentrokan saat tawuran ataupun menjadi korban keganasan segelintir oknum pelajar.
Siapa bertanggung jawab?
Aksi kekerasan yang marak terjadi di kalangan pelajar seperti yang belum lama ini terjadi di mana seorang pelajar SD di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, harus meregang nyawa karena menjadi korban salah sasaran gerombolan oknum pelajar yang secara sadis membacokan celuritnya ke leher korban. Belum lagi ditambah sejumlah pelajar yang mengalami luka ringan hingga berat akibat aksi sadis itu. Lantas siapa yang harus bertanggung jawab?
Kasus ini harus menjadi tanggung jawab semua pihak dan jangan sampai ada yang saling menyalahkan. Akan tetapi yang paling berperan adalah orang tua karena tanggung jawab mereka dipertaruhkan demi masa depan anak-anak tersayang.
Jangan sampai masa depan anak sirna akibat salah pergaulan dan pencarian jati diri dengan cara yang negatif. Harus diakui pada usia SMP hingga SMA, setiap anak mulai mencari jati dirinya, baik itu untuk menarik perhatian lawan jenis maupun orang lain.
Pada usia tersebut, peran orang tua sangat penting dalam mengarahkan anak-anaknya kepada hal yang positif, baik itu diarahkan pada kesenangan pada dunia ilmu pengetahuan, musik, olah raga, kreativitas, teknologi, dan kegiatan positif lainnya.
Kemudian pengawasan orang tua pun harus ditingkatkan, seperti memantau dengan siapa anaknya bergaul, di mana tempat bermain atau berkumpulnya, serta aktivitas seperti apa yang dilakukan anak-anaknya.
Tidak hanya itu, di tengah pesatnya teknologi komunikasi, orang tua pun wajib mengawasi aktivitas dan tontonan anak pada telepon genggam atau telepon pintar. Alangkah baiknya orang tua membatasi waktu penggunaan gawai dan hanya diizinkan untuk kepentingan pendidikan. Kalaupun untuk bermain, jangan sampai anak menjadi kecanduan.
Kemudian melarang anak membawa kendaraan bermotor sendiri. Selain belum cukup umur dan tidak memiliki SIM, penggunaan sepeda motor juga mengancam keselamatan anak dan orang lain karena emosinya belum stabil sehingga mudah terprovokasi. Dan, yang paling berbahaya terjerumus atau bergabung dengan geng motor, yang menyebabkan pergaulan anak akan dipengaruhi hal negatif.
Seperti diketahui, geng motor--yang mayoritas anggotanya merupakan pelajar--, kerap berulah, seperti melakukan perusakan, pengancaman, penyerangan, hingga penganiayaan yang bisa menyebabkan jatuhnya korban luka maupun meninggal dunia.
Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Sukabumi Iptu Bayu Sunarti mengatakan memberikan kasih sayang kepada anak bukan berarti setiap keinginannya harus selalu dituruti. Jika ini terus-menerus dituruti, anak bisa menjadi manja bahkan bisa menjadi sosok pemberontak dan berani melawan serta tidak menghargai orang tua.
Maka dari itu, berilah anak sesuai dengan usaha dan kebutuhannya. Rasa kasih sayang orang tua yang berlebihan malah bisa menjerumuskan anak yang berperangai sadis, keras, dan nekat.
Pengawasan terhadap anak di usia sekolah, khususnya SMP dan SMA, merupakan tanggung jawab sepenuhnya orang tua karena guru tidak bisa terus-menerus mengawasi anak didiknya yang jumlahnya puluhan hingga ribuan.
Komunikasi yang baik juga bisa mencegah anak terjerumus kepada hal negatif. Sebab, komunikasi yang buruk, anak akan lebih memilih teman ngobrol yang dianggap sehati. Bahkan, tidak sedikit pelaku aksi tawuran antarpelajar serta anak yang menjadi pelaku kekerasan mereka mudah terdoktrin hal negatif oleh oknum senior maupun alumni karena mereka merasa tidak punya tempat untuk mencurahkan perasaannya.
Bayu pun mengingatkan para orang tua, selain menjalin komunikasi yang baik sejak dini, anak harus didekatkan dengan agama, yang merupakan tameng atau pelindung anak dari hal negatif yang berbau maksiat, kejahatan, hingga penyalahgunaan narkoba.
Hingga Maret 2023, Unit PPA Polres Sukabumi sudah menangkap 19 anak yang berkonflik dengan hukum (ABH). Merrekaterlibat kasus kekerasan seksual, penyerangan, dan penganiayaan hingga menyebabkan korbannya terluka maupun tewas.
Namun demikian, tidak seluruh ABH dilakukan penahanan. Mereka yang ditahan karena melakukan aksi yang membuat korbannya mengalami luka parah/berat sehingga menjadi cacat seumur hidup dan menganiaya hingga korbannya meninggal dunia.
"Kuncinya agar anak tidak mudah terjerumus adalah menanamkan agama sejak dini, perbaiki komunikasi, dan jadikan anak sebagai sahabat sehingga anak mau berterus terang kepada orang tuanya, mulai dari apa saja yang telah dilakukan, siapa apa rekan bergaulnnya, dan lainnya," ujar Bayu.
Komitmen bersama
Upaya Polres Sukabumi untuk mencegah terjadinya kembali kasus kekerasan yang dilakukan oleh pelajar, yakni dengan membuat komitmen bersama yang diikuti para pemangku kepentingan seperti Dinas Perlindungan, Perempuan dan Anak atau DP3A, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2T2A), Balai Permasyarakatan, Dinsos, Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi, serta perwakilan kepala sekolah.
Komitmen dibentuk mulai dari merancang, diskusi, serta mencari apa langkah yang akan dilanjutkan ke depan terkait dengan anak berkonflik dengan hukum (ABH), apakah anak itu sebagai korban ataupun anak sebagai pelaku.
Koordinasi tersebut untuk mencari solusi yang tepat untuk dilakukan bersama yang sebelumnya mungkin sudah dilaksanakan tapi dampaknya belum optimal. Komitmen ini lebih kepada kolaborasi sehingga tugas dan wewenang dari masing masing pemangku kepentingan bisa lebih optimal dan berguna dalam mencari solusi terhadap ABH.
"Komitmen ini tidak hanya dalam hal setelah kejadian, tetapi juga pendekatan dan pencegahan. Harapannya, Kabupaten Sukabumi menyandang status kota layak anak harus benar-benar terbukti," kata Kapolres Sukabumi AKBP Maruly Pardede.
Ada empat komitmen yang dibuat agar kasus kekerasan pada anak tidak terulang kembali. Pertama, berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak, tanpa membedakan suku, agama, dan ras.
Kedua, memberikan dan bertanggung jawab, mendukung sarana serta prasarana dalam menyelenggarakan perlindungan anak. Ketiga menjamin perlindungan pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.
Terakhir, menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.
Semua ikhtiar tersebut ditempuh guna memutus dendam warisan senior atau alumni sekolah mereka.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023