Awal Juli 2016 di Kota Jayapura, Papua, beredar tulisan berjudul "HAM Memburuk, Dewan Gereja Dunia Bentuk Delegasi untuk Kirim ke Papua".

Tulisan tersebut menyoroti rekomendasi Dewan Gereja Dunia dalam pertemuan Komite Sentral di Trondheim, Norwegia yang membentuk kontingen delegasi Ekumenis Internasional, dalam rangka ziarah keadilan dan perdamaian yang setiap hari digumuli dalam pokok-pokok doa Dewan Gereja Dunia.

Komite Sentral mengajak banyak pihak agar mendukung Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua melalui Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Pasifik Gereja (PCC), dan Konferensi Kristen Asia (CCA) agar mendoakan dan bertindak dalam mendukung kesaksian gereja dalam rangka terwujudnya keadilan dan perdamaian di kawasan itu.

Gereja Dunia mendapatkan laporan dari Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKITP), jika masih seringnya terjadi pelanggaran HAM secara sistematis, seperti penangkapan secara sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan, penindasan, kekerasan, pengekangan aspirasi penduduk asli Papua untuk menentukan nasib di tanah mereka sendiri.

Sementara itu, permasalahan di Papua juga mendapatkan sorotan dari kalangan Gereja Anglikan Papua Nugini. Menurut salah seorang Uskup Agung Gereja Anglikan PNG mengatakan, Gereja Anglikan PNG menyambut baik keputusan pemerintah PNG untuk memberikan kewarganegaraan kepada rakyat Papua yang tinggal di PNG, mendukung kelompok Melanesia di Papua Barat dan berharap agar Pemerintah PNG dan Papua melakukan segala upaya untuk memberikan kebebasan kepada  pengungsi dari Papua untuk menetap dan membangun kembali penghidupan mereka.

Adanya "intervensi asing" dari manca negara membuat semangat militansi kelompok Papua merdeka menjadi menguat, konon dengan indikasi adanya pertemuan dalam sebuah gereja di Buper dalam rangka kesepakatan bersama oleh beberapa Gereja dan Pendeta dalam memperjuangkan Papua Merdeka.

Beberapa perwakilan Gereja di Tanah Papua hadir dan melakukan kesepakatan bersama untuk pejuangan Papua Merdeka, termasuk adanya anggota DPR Papua yang konon ikut menandatangani naskah kesepakatan penyatuan semua gereja untuk memperjuangkan Papua Merdeka.

Keberadaan media sosial juga dimanfaatkan pendukung OPM/GSP untuk menyebarkan tulisan provokatif antara lain berjudul "Argumen NKRI: Pepera Sudah Final?".
Inti dari tulisan tersebut di antaranya mempertanyakan beberapa negara seperti Indonesia, Malaysia, Amerika Serikat dapat lepas dari  genggaman kolonialisme, namun posisi Papua mengapa tidak dapat merdeka dari Indonesia. Selain itu, wacana Pepera sudah menjadi kata final merupakan penyesatan bahasa militer yang sengaja dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan.
 
Tidak hanya itu saja, juga adanya publikasi teks proklamasi Kemerdekaan Papua Barat, yang disebarkan di media sosial dan media online lokal. Teks tersebut konon dibaca Seth Jafet Rumkorem pada 1 Juli 1971 di Waris.

Namun, ternyata tidak semua orang Papua mendukung aspirasi merdeka. Salah satu tokoh Lembaga Masyarakat Adat (LMA) di Merauke, Papua mengatakan LMA Merauke mengajak kepada masyarakat Merauke khususnya untuk orang Papua yang terdiri atas suku Papua yang berada di Merauke jangan terpancing dengan isu yang tidak menguntungkan, karena
orang-orang itu hanya orang yang tidak memiliki pekerjaan.

Sementara tokoh perempuan setempat juga mengajak kepada para perempuan bahwa tidak boleh mengikuti hal-hal yang negatif yang merusak tatanan dalam NKRI lebih baik kita berusaha untuk memajukan daerah kita.

Gereja Sebaiknya Tidak Terlibat Politik Praktis
    
Adanya dukungan dari kalangan gereja di Papua ataupun di negara lainnya terhadap aspiasi Papua merdeka harus mendapatkan atensi khusus dari pemerintahan Jokowi-JK, karena sebelumnya pada pemerintahan SBY-Boediono tepatnya tahun 2011, kalangan gereja di Papua juga telah mengirim surat ke pemerintah yang mempersoalkan masih berlanjutnya ketidakadilan dan pelanggaran HAM di Papua.
    
Tentunya kita dalam menyikapi masalah ini haruslah tetap adil dan bijaksana, dengan sebaiknya menyarankan atau menempatkan posisi gereja tidak terlibat dalam politik praktis dan lebih baik berposisi sebagai mediator dalam menyelesaikan konflik di Papua.
    
Kalangan pimpinan gereja di Papua juga harus dewasa dan hati-hati dalam memberikan sikapnya terkait perkembangan dinamika yang ada, karena diakui atau tidak banyak pengurus gereja termasuk pendeta yang pro terhadap kelompok-kelompok kepentingan yang berpihak atau beraliansi menyuarakan lepasnya Papua dari Indonesia, dimana jelas hal ini merupakan tindakan atau sikap yang sarat nuansa politik praktisnya.

Laporan-laporan dari Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKITP) kepada kalangan gereja dunia yang menyatakan, pengekangan aspirasi penduduk asli Papua untuk menentukan nasib di tanah mereka sendiri jelas sebuah laporan yang perlu diklarifikasi, karena untuk apa penduduk asli Papua menentukan nasib sendiri atau referendum, dimana selama ini kita mengetahui bahwa aspirasi referendum merupakan "trade mark" yang melekat pada kelompok anti NKRI di Papua.

Penulis yakin, masih banyak gereja-gereja di Papua yang netral dan lebih bijaksana dalam merespons masalah di Papua.
 
Kalangan gereja di Papua sebenarnya mempunyai peranan strategis dalam menengahi permasalahan di Papua terutama mengatasi aspirasi Papua merdeka. Pemerintah daerah perlu lebih intens mengajak kalangan gereja di Papua sebagai mediator konflik.

Di sisi yang lain, kalangan gereja juga perlu memperhatikan perkembangan yang terjadi, seperti ditolaknya ULMWP menjadi anggota MSG, banyaknya aksi unjuk rasa masyarakat adat di Papua yang menolak eksistensi KNPB serta adanya pernyataan dari tokoh lembaga masyarakat adat dan tokoh perempuan di Papua yang tidak menginginkan Papua merdeka, juga harus menjadi perhatian kalangan gereja di Papua sebelum menentukan sikapnya, agar mereka tidak kehilangan pengaruhnya di masyarakat, sebagai dampak pernyataan sikap ataupun tindakannya yang dinilai masyarakat Papua sebagai berat sebelah.
    
Bagaimanapun juga, permasalahan Papua sekarang ini sebagai permasalahan yang bernuansa politik praktis, sehingga sebaiknya kalangan gereja menjauhinya, karena netralitas kalangan gereja dan posisi mereka sebagai mediator jauh lebih bagus dibandingkan menyalurkan aspirasi yang dapat dinilai bernuansa negatif oleh pihak lainnya yang tidak sepakat dengan mereka.
    
*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial kemasyarakatan dan keagamaan. Tinggal di Semarang, Jawa Tengah.

Pewarta: Alexa Christina *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016