Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia (UI), Aditya Perdana, berpandangan sebaiknya pergantian sistem pemilu secara komprehensif harus dilakukan melalui fungsi legislasi di DPR, bukan di ranah Mahkamah Konstitusi (MK).

"Kalau perubahan hanya di ranah yudikatif maka perubahan itu hanya bersifat parsial," kata dia, di Depok, Minggu, menanggapi polemik sistem pemilu proporsional tertutup dan terbuka.

Ia menilai sistem pemilu proporsional terbuka yang dijalankan sejak pemilu 2009 adalah masih yang terbaik dilakukan oleh Indonesia. Meski ada begitu banyak masalah terkait dengan politik biaya mahal, personalisasi caleg dalam kampanye ketimbang partai.

Baca juga: Dosen politik UI: Pencalonan presiden terus miliki dinamika yang tinggi

Namun sistem yang terbuka ini mendorong pemilih lebih mudah mengenali dan mencari tahu latar belakang caleg di dapilnya. Caleg pun akan berusaha secara konsisten memelihara dan merawat pemilihnya dengan berbagai kegiatan yang sudah dilakukan sebelumnya.

"Idealnya, sistem pemilu kita makin mendekatkan kepada pemilih, bukan malah semakin menjauhkan pemilih," jelas mantan Direktur Pusat Kajian Politik UI.

Ia bilang, perubahan sistem bersifat keseluruhan, tidak bisa parsial. Masalahnya adalah DPR RI sudah menutup pintu adanya revisi UU Pemilu meski Perppu tentang Pemilu sudah dan baru ditetapkan.

Baca juga: Puskapol UI: Amendemen konstitusi perlu melibatkan publik secara luas

Direktur Eksekutif Lembaga Riset dan Konsultasi Publik Algoritma ini menyebutkan dalam banyak pengalaman dan literatur kepemiluan, perdebatan tentang pergantian sistem pemilu yang diimplementasikan di sebuah negara adalah hal yang lumrah dan dapat dilakukan.

Hal ini tentu terjadi dengan pertimbangan-pertimbangan sosial, politik, budaya, ekonomi dan lainnya. Asalkan pergantian sistem pemilu tersebut berdasarkan kajian yang mendalam dan berlangsung secara konstitusional yaitu melakukan revisi UU di ranah parlemen.

Baca juga: Puskapol UI: Jumlah perempuan sebagai penyelenggara pemilu perlu ditingkatkan

Namun demikian, kata dia, ada fenomena yang disebut yudisialisasi politik, dimana judicial review suatu UU dapat dilakukan di ranah lembaga yudikatif, bukan legislatif. Lembaga yudikatif seperti MK ternyata memiliki kewenangan dan pengalaman dalam merubah proporsionalosedur, skema, ataupun beberapa substansi kepemiluan kita.

Hal ini terjadi karena ada pihak yang merasa keberatan dan merasa dirugikan terhadap UU Pemilu yang berlaku. Oleh karena itu, judicial review terhadap sistem pemilu proporsional terbuka saat ini dapat saja dan dimungkinkan adanya perubahan seperti yang disuarakan ketua KPU.

Pewarta: Feru Lantara

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023