Persiapan penyelenggaraan perhelatan Pemilu 2024 secara serentak oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan pengawasan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terus dilakukan agar pelaksanaan dapat berjalan dengan lancar aman dan damai.

Salah satu agenda besar dalam pengawasan penyelenggaraan pemilu adalah pemenuhan keterwakilan perempuan di Bawaslu.
 
Pelibatan perempuan dalam Bawaslu dirasa sangat penting untuk mewujudkan amanat UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2019 tentang Afirmasi Keterwakilan Perempuan Minimal 30 Persen.

Pesta demokrasi lima tahunan ini merupakan kesetaraan yang bisa menunjukkan bahwa perempuan mesti hadir dan berperan yang tidak hanya sebagai pemilih saja tetapi juga bisa terlibat sebagai organ  penyelenggara pemilu.

Adalah menarik yang disampaikan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah bahwa Puskapol UI bersama dengan koalisi masyarakat sipil melakukan advokasi untuk mengawal implementasi kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan di Bawaslu provinsi.

Advokasi ini dilakukan melalui berbagai upaya, mulai dari memantau proses seleksi, melakukan audiensi kepada Ketua dan Anggota Bawaslu RI, mengadakan diskusi publik dan konferensi pers, menyampaikan evaluasi dan rekomendasi kebijakan untuk perbaikan proses seleksi, serta menyampaikan usulan rancangan perubahan Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2019 dalam rangka memperkuat kebijakan afirmasi di setiap tahapan seleksi.

Berdasarkan hasil pemantauan terhadap hasil seleksi, Puskapol UI melihat masih rendah kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan. Dari total 75 orang anggota Bawaslu yang terpilih di 25 provinsi, hanya terdapat 11 perempuan (14,67 persen) yang menjadi anggota Bawaslu. 

Dari jumlah tersebut, hanya terdapat satu Bawaslu provinsi yang memiliki dua perempuan terpilih, yakni Bawaslu Kepulauan Riau. Adapun 9 Bawaslu provinsi lainnya hanya memiliki satu perempuan, yakni Jambi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Papua Barat. 

Sementara di 15 Bawaslu provinsi tidak memiliki keterwakilan perempuan sama sekali. Kelima belas provinsi tersebut adalah Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Banten, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Maluku.

Puskapol UI menyayangkan sikap Bawaslu RI yang tidak mematuhi amanat UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dan Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2019 padahal komitmen Bawaslu RI sangat krusial guna mengubah kondisi rendahnya keterwakilan perempuan di Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota. 

Apalagi, proses seleksi Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota merupakan kewenangan Bawaslu RI dan tidak melibatkan proses politik sebagaimana mekanisme seleksi penyelenggara pemilu di tingkat nasional. 

 Anggota Bawaslu RI sekaligus Koordinator Divisi SDM, Organisasi, dan Diklat Bawaslu, menyampaikan bahwa afirmasi keterwakilan perempuan telah diupayakan melalui pembekalan tim seleksi. 

Bawaslu RI juga menyampaikan komitmen untuk mengevaluasi kondisi keterwakilan perempuan dan bekerja sama dengan masyarakat sipil untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam seleksi mendatang. 

Namun demikian, rendahnya keterwakilan perempuan pada hasil seleksi Bawaslu provinsi tidak hanya berdampak pada kemunduran demokrasi, tetapi lebih dari itu, berpotensi melemahkan semangat partisipasi perempuan untuk mengikuti proses seleksi mendatang.
 
Puskapol UI berharap hal ini tidak terjadi lagi untuk seleksi Bawaslu selanjutnya, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota dan juga menyampaikan beberapa dorongan untuk perbaikan kondisi keterwakilan perempuan di Bawaslu.

Pertama, melakukan revisi terhadap Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2019 dan petunjuk teknis agar memuat klausul tentang implementasi prinsip afirmasi keterwakilan perempuan di setiap tahapan seleksi.

Kedua, memperbaiki mekanisme perekrutan tim seleksi agar dapat menghasilkan tim seleksi yang memiliki perspektif gender yang kuat dan keahlian dalam bidang kepemiluan.

Ketiga, memperhatikan keterwakilan perempuan dalam komposisi tim seleksi.

Keempat, memastikan keterwakilan perempuan minimal 30 persen pada seleksi anggota Bawaslu RI di provinsi dan kabupaten/kota untuk seleksi gelombang selanjutnya. 

Masih rendah

Proses seleksi untuk memilih Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) tingkat kecamatan juga masih sangat rendah sehingga panitia seleksi memperpanjang masa pendaftaran agar bisa memenuhi kuota perempuan sebesar 30 persen, misalnya, di Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kabupaten Karawang.

Di Kota Depok dari 11 kecamatan, ada dua kecamatan yakni  Bojongsari dan Cinere, yang tidak memenuhi jumlah 30 persen kuota perempuan yang mendaftar.

Di Kabupaten Bogor ada 38 kecamatan belum memenuhi kuota perempuan sebanyak 30 persen, dan hanya Kecamatan Jasinga dan Nanggung yang memenuhi kuota perempuan, sehingga kembali membuka pendaftaran kembali.

Di Kabupaten Karawang hanya tujuh dari dari 30 kecamatan yang jumlah pendaftarnya memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan sehingga ada 23 kecamatan lainnya harus diperpanjang pendaftarannya untuk memberi kesempatan pelamar ambil bagian, terutama dari kaum perempuan. 

Menurut Ketua Bawaslu Kota Depok Jawa Barat Luli Barlini sedikitnya harus ada dua pendaftar perempuan per kecamatan. Kebutuhan anggota panwaslu kecamatan di Kota Depok tahun 2022 sebanyak 66 orang.

Bawaslu Kota Depok memerlukan 33 orang sebagai anggota panwaslu kecamatan aktif dan 33 orang lagi sebagai cadangan atau pergantian antarwaktu (PAW) untuk 11 kecamatan.

Dalam penilaian mantan Direktur Puskapol UI Aditya Perdana, rendahnya jumlah perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu tidak terlepas dari berbagai hambatan yang dialami perempuan.

Hambatan itu antara lain faktor keterbatasan informasi mengenai mekanisme proses seleksi, lingkungan politik yang tidak sensitif gender, hingga hambatan yang bersifat sosial kultural.

Apabila kita ingin menghadirkan Pemilu 2024 sebagai pemilu yang inklusif bagi semua kelompok, maka struktur penyelenggara pemilu yang inklusif dengan memperhatikan kesetaraan gender menjadi prasyarat penting.
 
Untuk menuju hal tersebut, salah satu titik krusialnya tentu berada dalam pembentukan tim seleksi yang harus mempertimbangkan keterwakilan perempuan dan memiliki perspektif gender yang kuat.

Untuk itu perlu ada suatu upaya secara kolektif dari berbagai elemen masyarakat untuk dapat mendorong jumlah keterwakilan yang sesuai dengan amanat undang-undang di Lembaga penyelenggara pemilu untuk memastikan terciptanya kebijakan-kebijakan prosedural kepemiluan yang ramah terhadap perempuan.

Pewarta: Feru Lantara

Editor : Budi Setiawanto


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022