Kota dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang sesaat lagi akan berusia 534 tahun. Dua daerah ini merupakan situs penting perjalanan kerajaan Pakuan Pajajaran.

Pakuan Pajajaran, sebagai kerajaan Sunda terbesar yang ada di bumi Nusantara, yang eksis mulai tahun 1482 hingga 1579 M, beribu kota di Batutulis, Kota Bogor.

Sejak ratusan tahun silam, Bogor bernama Pakuan. Penggunaan istilah "Pakuan Pajajaran" untuk memberikan nama kerajaan, merujuk pada nama lokasi di mana kerajaan tersebut berpusat. Istilah Bogor baru dikenal pada zaman Belanda.

Jika ditarik jauh ke belakang, Bogor merupakan situs paling penting bagi eksistensi kerajaan-kerajaan Sunda selama ribuan tahun sejarah perjalananya. Pasalnya, kerajaan-kerajaan Sunda selalu menjadikan Bogor sebagai pusat pemerintahan.

Era Kerajaan Sunda Galuh, yang membentang panjang mulai tahun 669 M hingga runtuhnya Kerajaan Pakuan Pajajaran pada tahun 1579, selalu menjadikan Bogor sebagai wilayah terpenting.

Begitu pula pada masa sebelumnya, yaitu era Kerajaan Taruma Nagara, tahun 358-669 M, Bogor telah memainkan peran penting. Penemuan situs-situs Taruma Nagara di Bogor, seperti Situs Batu Tapak Raja Purnawarman di muara Sungai Cianten, Cisadane di Ciaruteun, sebagai penanda pentingnya peran Bogor pada era itu.

Pada era Kerajaan Salaka Nagara, yang manggung di bumi Nusantara mulai tahun 130 M hingga 358 M, Bogor telah menjadi pusat peradaban. Masyarakat Bogor meyakini, kerajaan Salaka Nagara berpusat di Salak Domas, lereng Gunung Salak.

Keberadaan ribuan batu peninggalan zaman megalitikum di Salak Domas, Gunung Salak, semakin memperkuat hipotesis bahwa Bogor telah menjadi pusat peradaban Nusantara sejak ribuan tahun silam. Situs megalitikum Gunung Salak Sendiri, menurut hasil penelitian, diperkirakan berusia lebih dari 6.000 tahun.

Prasasti Batutulis
Para ahli sejarah menilai, Kerajaan Pakuan Pajajaran beribu kota di Batutulis, Kota Bogor. Demikian pula dengan masyarakat Bogor semuanya meyakini Pajajaran berpusat di bumi Pakuan.

Satu-satunya prarasti yang masih terjaga hingga kini, sebagai penanda keberadaan Kerajaan Pajajaran pada masa silam di Bogor, adalah Prasasti Batutulis. Terletak di Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor.

Prasasti ini dibuat pada tahun 1533 oleh Prabu Surawisesa. Prabu Surawisesa adalah anak dan penerus Prabu Siliwangi, sebagai raja Pajajaran yang paling dikenal masyarakat. Prasasti dibuat untuk menceritakan era keemasan Pajajaran di bawah kepemimpinan Prabu Siliwangi.

Pada awal Agustus 2002 Prasasti Batutulis sempat menjadi buah bibir masyarakat dunia. Tak lain akibat ulah Menteri Agama kala itu, Said Aqil Al Munawar, yang menggali prasasti dengan dalih terdapat harta karun berupa ribuan ton emas peninggalan Prabu Siliwangi.

Bagaimana kondisinya kini? Cagar budaya yang berdiri di sebuah area berukuran sekitar 17 meter X 15 meter itu kondisinya sangat memprihatinkan dan telantar.

Pemkot Bogor dan instansi terkait nampaknya enggan memberikan perhatian. Alhasil, situs ini terlihat kurang terrawat, tidak mencerminkan kebesaran sejarah yang diwakilinya.

Ketelantaran situs ini juga tidak mencerminkan eksistensi Bogor sebagai situs bersejarah paling penting bagi perjalanan Kerajaan Pajajaran pada masa silam.

Setiap tahun, masyarakat Kota dan Kabupaten Bogor selalu merayakan hari jadi daerahnya yang jatuh pada 3 Juni secara meriah dan mewah. Pengambilan 3 Juni sebagai tonggak bersejarah atas kelahiran Bogor, merujuk pada penobatan Prabu Siliwangi sebagai maharaja Pajajaran pada 3 Juni 1482.

Ironisnya, berbagai upacara peringatan Hari Jadi Bogor (HJB) yang dilangsungkan setiap tahun tidak pernah menyertakan atau setidaknya menyentuh Situs Batutulis yang notabene sebagai saksi bisu sejarah kegemilangan Bogor masa silam.

Situs Badigul
Jika kondisi Prasasti Batutulis dalam keadaan sangat memprihatinkan dan telantar, yang dialami Situs Badigul di Rancamaya terbilang lebih tragis lagi. Pasalnya sejak tahun 1992 situs ini sudah punah seiring dengan pembangunan perumahan dan padang golf mewah yang dilakukan pengembang Rancamaya Golf & Country Estate.

Bagi masyarakat Sunda, Bukit Badigul merupakan daerah yang memiliki nilai keramat tinggi. Pada zaman Kerajaan Pajajaran, Badigul merupakan tempat penting petinggi-petinggi kerajaan dalam melakukan rapat penting serta lokasi sakral dalam bermunajat kepada sang pencipta.

Dalam Prasasti Batutulis disebutkan, salah satu karya besar Prabu Siliwangi adalah membuat Telaga Renamahawijaya. Telaga tersebut diduga kuat berada di areal Rancamaya, mengelilingi perbukitan Badigul.

Selain itu, Bukit Badigul juga menyimpan misteri makam Prabu Siliwangi. Hingga kini lokasi makam sang prabu selalu menjadi perdebatan. Argumentasi yang paling kuat, makam Prabu Siliwangi berlokasi di Badigul. Karenanya, dalam berbagai buku dan naskah-naskah sejarah, ia selalu disebutkan sebagai "Sang Mokteng ing Rancamaya", yang berarti tokoh yang dimakamkan di Rancamaya (Badigul).

Sebelum digusur oleh pengembang Rancamaya, Badigul sangat dikeramatkan masyarakat Sunda. Lokasi ini kerap didatangi peziarah yang datang dari berbagai penjuru negeri. Orang berbondong-bondong mendatangi Badigul untuk napak tilas dan memberikan doa kepada leluhur Pajajaran.

Setelah areal Bukit Badigul dikuasai pengembang Rancamaya, sejak saat itu situs tersebut ikut punah ditelan zaman. Hingga kini belum terlihat adanya upaya, baik dari pengembang maupun Pemda Bogor untuk mengembalikan status Badigul sebagai situs bernilai sejarah tinggi bagi eksistensi Kerajaan Pajajaran.

Miskin Komitmen
Cerita kepunahan situs bernilai sejarah di Bogor bukan hal aneh. Yang terbaru, pada tahun 2008, Situs Batu Kuya dari Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, warisan peradaban Salaka Nagara, dicuri sejumlah orang untuk diselundupkan ke Korea.

Hal ini menunjukkan lemahnya komitmen Pemkot dan Pemkab Bogor dalam menjaga warisan bernilai sejarah tinggi.

Lemahnya komitmen pemda dalam menjaga warisan budaya juga terlihat dengan tidak adanya satu pun museum berciri khas Sunda, Prabu Siliwangi atau nama raja lainnya, baik di Kota maupun Kabupaten Bogor.

Pemkot dan Pemkab Bogor perlu mulai memikirkan membangun gedung museum sejarah Sunda, sebagai wujud komitmen pelestarian budaya sekaligus tempat masyarakat belajar mengkaji sejarah perjalanan leluhurnya.

"Jangan sekali-kali kita melupakan sejarah," begitu seruan sang proklamator Bung Karno.


*) Penulis adalah cendekiawan muda Nahdlatul Ulama (NU), Ketua Yayasan Serambi Nusantara, dan alumnus Program S2 Komunikasi Institut Pertanian Bogor.

Pewarta: Ahmad Fahir MSi *)

Editor : M.Ali Khumaini


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016