Ada banyak oleh-oleh dari perjalanan kerja Menteri Pariwisata Arief Yahya di China, beberapa hari lalu.
Sebagian oleh-oleh itu adalah soal manajemen destinasi, kebijakan travel dan turisme, infrastruktur, sumber daya alam dan budaya natural, serta keberlangsungan lingkungan.
Namun, demikian keterangan Kementerian Pariwisata di Jakarta, Selasa, ada yang paling menarik dari itu semua, yakni soal kerangka kerja digital dalam jaringan (online) yang merajalela dan menjadi masa depan bisnis tur and travel.
Tak salah bila dalam agama ada ungkapan, "Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri China!"
Negeri berpenduduk 1,5 miliar jiwa itu menyimpan sejuta ilmu dan solusi pariwisata.
Salah satu yang paling memikat perhatian Menpar Arief Yahya adalah saat berkunjung ke Markas Ctrip di kota bisnis, Shanghai.
Perusahaan Online Travel (OTA) terbesar di China itu memiliki "market share" hampir 80 persen dari "outbond" China yang lebih dari 100 juta pada tahun 2015.
Di awal berdirinya tahun 1999, Ctrip juga travel agent dan travel operator (TA TO) konvensional yang menjual tiket, hotel, pesawat dan paket wisata.
Sekarang, Ctrip yang memiliki jumlah karyawan 19.000 dan 7.000 orang tumbuh menjadi raksasa baru di industri pariwisata China.
Ctrip bermitra dengan Baidu, mesin pencari mirip Google yang berbahasa dan bertulisan Mandarin.
Baidu eksis di China karena Google "membentur" Tembok China dan tidak boleh beroperasi di sana.
Bukan hanya Google yang tidak bisa diakses di seluruh daratan China, media social lain juga terlarang di sana, seperti Facebook, Twitter, Instagram, Pinterest, Google+, dan lainnya tidak bisa dioperasikan di sana.
Kolaborasi Ctrip dan Baidu itu bakal mendapat lawan tangguh perusahaan "e-commerce" terbesar di China, Alibaba.
Ketika gajah sama gajah bertarung, bukan salah satu gajah yang mati, tetapi pelanduk kecil yang terjepit mati di tengahnya. Bisa dibayangkan, raksasa Ctrip sebagai operator tour and travel yang menguasai 80 persen pasar outbond China bergabung dengan Baidu mesin pencari nomor satu di China.
Alibaba pada Oktober 2014 lalu meluncurkan New Alitrip Travel Brand juga. Inilah calon gajah yang tengah berusaha head to head dengan Ctrip.
Para penguasa "online service" itu beradu kreasi, berebut kue di sektor pariwisata melalui "digital online platform".
Menteri Pariwisata Arief Yahya yang ahli di teknologi informasi itu menyebut "digital online" itu dengan istilah LBP (Look, Book, Pay) yakni sistem pencarian, sistem pemesanan, dan sistem pembayaran.
"Awalnya mereka menjaring publik melalui 'online' yang mencari info paket wisata dan destinasi. Baidu menyediakan ribuan data dan alternatif yang dibutuhkan kostumer. Proses pencarian inilah yang saya sebut look," kata Arief Yahya.
Baidu, adalah Google-nya China. Setelah yakin dengan pilihannya, mereka masuk stage dua, yakni "book" atau pemesanan.
Di sinilah peran Ctrip, sebagai "tour operator travel agent', yang bisa langsung sampai ke "commerce" atau pembayaran (pay).
Semua proses ini cukup di depan komputer atau dari layar telepon pintar.
"Mereka bisa melakukan tiga tahap itu di mana saja, kapan saja. Kalau kita tidak segera masuk ke 'digital online platform' seperti ini, pasti akan tertinggal dan sulit bersaing di tingkat global," kata Arief Yahya.
Pola yang sama juga terjadi antara "TripAdvisor" dan "Booking.Com". Pencariannya ada di "TripAdvisor", situs nomor satu dan paling dipercaya soal tur dan perjalanan.
Kekuatan utama TripAdvisor adalah sudah menjadi tempat curhat dan testimonial para wisatawan dari seluruh dunia.
Komentar yang ditampilkan di website itu sangat original dan menjadi rujukan bagi "travellers" dalam membuat rencana perjalanan.
Tahap pemesanan dan pembayaran dilakukan melalui "booking.com".
Lalu apa yang akan dilakukan Kementerian Pariwisata? Apakah ketiga model bisnis TA TO itu sudah bergeser cepat ke digital?
Perang biro perjalanan konvensional sudah semakin terdesak, dan makin ditinggalkan.
"Suka tidak suka, mau tidak mau, kita harus ikut berkompetisi di sana. Kemenpar akan membuatkan 'digital market place', buat para pelaku bisnis tur dan agen perjalanan," kata Menpar.
"Market Place" itu semacam etalase yang berisi paket-paket pariwisata ke destinasi Indonesia.
Platform dan mesinnya tengah dirancang, nanti akan dioperasikan oleh pihak ketiga, dan dipromosikan oleh Kemenpar.
Pasar wisata online harus dikenal publik karena itu akan dipromosikan dengan metode POSE (paid media, own media, social media, dan endorser).
Tentu, cara digital yang akan ditempuh Arief Yahya ini akan berdampak pada industri yang bersikukuh dengan gaya lamanya. Orang mau berwisata harus datang, lalu transaksi di sana. Cara konvensional ini cepat atau lambat akan ditinggalkan, karena tidak bisa bersaing lagi.
"Sama dengan dulu ketika memimpin PT Telkom, harus menghapus wartel dan warnet yang jumlahnya sudah 120 ribu outlet di seluruh Indonesia. Sama suasananya. Coba sekarang, cari warnet kalau masih laku," kata mantan Dirut PT Telkom itu.
Memang cara mengawalinya agak berbeda dengan apa yang dilakukan Ctrip-Baidu. Mereka benar-benar melakukan aksi korporasi sedangkan kita motivasinya berbeda.
Pemerintah melindungi industri, mengedukasi agar bisa melompat lebih tinggi dan bersaing di tingkat global.
"Kami berkewajiban untuk menjaga agar mereka hidup dan berkembang," kata Menpar. (Ant).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016
Sebagian oleh-oleh itu adalah soal manajemen destinasi, kebijakan travel dan turisme, infrastruktur, sumber daya alam dan budaya natural, serta keberlangsungan lingkungan.
Namun, demikian keterangan Kementerian Pariwisata di Jakarta, Selasa, ada yang paling menarik dari itu semua, yakni soal kerangka kerja digital dalam jaringan (online) yang merajalela dan menjadi masa depan bisnis tur and travel.
Tak salah bila dalam agama ada ungkapan, "Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri China!"
Negeri berpenduduk 1,5 miliar jiwa itu menyimpan sejuta ilmu dan solusi pariwisata.
Salah satu yang paling memikat perhatian Menpar Arief Yahya adalah saat berkunjung ke Markas Ctrip di kota bisnis, Shanghai.
Perusahaan Online Travel (OTA) terbesar di China itu memiliki "market share" hampir 80 persen dari "outbond" China yang lebih dari 100 juta pada tahun 2015.
Di awal berdirinya tahun 1999, Ctrip juga travel agent dan travel operator (TA TO) konvensional yang menjual tiket, hotel, pesawat dan paket wisata.
Sekarang, Ctrip yang memiliki jumlah karyawan 19.000 dan 7.000 orang tumbuh menjadi raksasa baru di industri pariwisata China.
Ctrip bermitra dengan Baidu, mesin pencari mirip Google yang berbahasa dan bertulisan Mandarin.
Baidu eksis di China karena Google "membentur" Tembok China dan tidak boleh beroperasi di sana.
Bukan hanya Google yang tidak bisa diakses di seluruh daratan China, media social lain juga terlarang di sana, seperti Facebook, Twitter, Instagram, Pinterest, Google+, dan lainnya tidak bisa dioperasikan di sana.
Kolaborasi Ctrip dan Baidu itu bakal mendapat lawan tangguh perusahaan "e-commerce" terbesar di China, Alibaba.
Ketika gajah sama gajah bertarung, bukan salah satu gajah yang mati, tetapi pelanduk kecil yang terjepit mati di tengahnya. Bisa dibayangkan, raksasa Ctrip sebagai operator tour and travel yang menguasai 80 persen pasar outbond China bergabung dengan Baidu mesin pencari nomor satu di China.
Alibaba pada Oktober 2014 lalu meluncurkan New Alitrip Travel Brand juga. Inilah calon gajah yang tengah berusaha head to head dengan Ctrip.
Para penguasa "online service" itu beradu kreasi, berebut kue di sektor pariwisata melalui "digital online platform".
Menteri Pariwisata Arief Yahya yang ahli di teknologi informasi itu menyebut "digital online" itu dengan istilah LBP (Look, Book, Pay) yakni sistem pencarian, sistem pemesanan, dan sistem pembayaran.
"Awalnya mereka menjaring publik melalui 'online' yang mencari info paket wisata dan destinasi. Baidu menyediakan ribuan data dan alternatif yang dibutuhkan kostumer. Proses pencarian inilah yang saya sebut look," kata Arief Yahya.
Baidu, adalah Google-nya China. Setelah yakin dengan pilihannya, mereka masuk stage dua, yakni "book" atau pemesanan.
Di sinilah peran Ctrip, sebagai "tour operator travel agent', yang bisa langsung sampai ke "commerce" atau pembayaran (pay).
Semua proses ini cukup di depan komputer atau dari layar telepon pintar.
"Mereka bisa melakukan tiga tahap itu di mana saja, kapan saja. Kalau kita tidak segera masuk ke 'digital online platform' seperti ini, pasti akan tertinggal dan sulit bersaing di tingkat global," kata Arief Yahya.
Pola yang sama juga terjadi antara "TripAdvisor" dan "Booking.Com". Pencariannya ada di "TripAdvisor", situs nomor satu dan paling dipercaya soal tur dan perjalanan.
Kekuatan utama TripAdvisor adalah sudah menjadi tempat curhat dan testimonial para wisatawan dari seluruh dunia.
Komentar yang ditampilkan di website itu sangat original dan menjadi rujukan bagi "travellers" dalam membuat rencana perjalanan.
Tahap pemesanan dan pembayaran dilakukan melalui "booking.com".
Lalu apa yang akan dilakukan Kementerian Pariwisata? Apakah ketiga model bisnis TA TO itu sudah bergeser cepat ke digital?
Perang biro perjalanan konvensional sudah semakin terdesak, dan makin ditinggalkan.
"Suka tidak suka, mau tidak mau, kita harus ikut berkompetisi di sana. Kemenpar akan membuatkan 'digital market place', buat para pelaku bisnis tur dan agen perjalanan," kata Menpar.
"Market Place" itu semacam etalase yang berisi paket-paket pariwisata ke destinasi Indonesia.
Platform dan mesinnya tengah dirancang, nanti akan dioperasikan oleh pihak ketiga, dan dipromosikan oleh Kemenpar.
Pasar wisata online harus dikenal publik karena itu akan dipromosikan dengan metode POSE (paid media, own media, social media, dan endorser).
Tentu, cara digital yang akan ditempuh Arief Yahya ini akan berdampak pada industri yang bersikukuh dengan gaya lamanya. Orang mau berwisata harus datang, lalu transaksi di sana. Cara konvensional ini cepat atau lambat akan ditinggalkan, karena tidak bisa bersaing lagi.
"Sama dengan dulu ketika memimpin PT Telkom, harus menghapus wartel dan warnet yang jumlahnya sudah 120 ribu outlet di seluruh Indonesia. Sama suasananya. Coba sekarang, cari warnet kalau masih laku," kata mantan Dirut PT Telkom itu.
Memang cara mengawalinya agak berbeda dengan apa yang dilakukan Ctrip-Baidu. Mereka benar-benar melakukan aksi korporasi sedangkan kita motivasinya berbeda.
Pemerintah melindungi industri, mengedukasi agar bisa melompat lebih tinggi dan bersaing di tingkat global.
"Kami berkewajiban untuk menjaga agar mereka hidup dan berkembang," kata Menpar. (Ant).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016