Jakarta (Antara Megapolitan) - Pengamat Internasional dari Par Indonesia Strategic Research, Jakarta Guspiabri Sumowigeno mengatakan kebijakan politik keamanan dan militer Filipina bisa menganggu Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

"Bisa kita simpulkan bahwa konsentrasi dan energi politik keamanan dan militer Filipina yang amat terbatas itu memang diarahkan ke Laut Tiongkok Selatan dan itu dibayar dengan harga sangat mahal berupa pengabaian menjaga tanggung jawab keamanan di wilayah selatannya," kata Guspiabri di Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan dengan perspektif prioritas politik seperti itu, sulit kita bergantung pada janji Filipina untuk dalam jangka pendek dapat mengatasi penyanderaan WNI dan dalam jangka panjang menjaga keamanan di wilayah perairan selatan negara yang vital bagi perdagangan dengan RI itu. Kurang tepat pernyataan Menlu Retno minggu lalu bahwa RI percaya pada Filipina.

"Negara itu jelas tidak bisa dipercaya karena telah mengerahkan nyaris segenap konsentrasi militernya untuk ambisi ekspansi teritorial ke wilayah LTS, sementara wilayah kedaulatannya sendiri dibiarkan digerogoti oleh separatis dan teroris. Ingat, konflik perebutan wilayah di LTS masih akan berlangsung lama, mungkin setengah abad lagi," ujarnya.

Guspi mengingatkan bahwa kerawanan keamanan di wilayah perairan selatan Filipina itu yang vital bagi perdagangan dua negara yang bergabung dalam MEA ini sebenarnya karena negara itu melakukan kesalahan fundamental dalam menetapkan prioritas agenda keamanan dan militernya. Yaitu, mengejar ambisi ekspansi wilayah ke LTS.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Luar Negeri perlu lebih teliti menilai perilaku politik Filipina dan bersikap lebih tegas terhadap Filipina. Menlu Retno LP. Marsudi harus segera memanggil Dubes Filipina dan mengingatkan bahwa jalur perdagangan di selatan Filipina adalah vital bagi bisnis yang sedang tumbuh pesat antara dua negara sebagai anggota MEA.

"Kerawanan di pulau-pulau dan perairan selatan Filipina telah merusak animo pebisnis Indonesia untuk berbisnis dengan Filipina. Demi suksesnya MEA, Filipina harus mengoreksi kebijakan keamanan dan militernya," katanya.

Menurut Guspi, Menlu Retno LP. Marsudi juga harus berikan Filipina tenggat waktu. Bila sampai batas waktu tertentu Filipina tidak mampu mengupayakan pembebasan sandera melalui operasi militer, RI harus diizinkan membuka opsi untuk pembayaran tebusan atau mengupayakan cara unilateral lainnya untuk membebaskan warganya.

Dikatakannya sebagai Panglima Tertinggi, Presiden Jokowi juga perlu mengkaji secara mendalam dan hati-hati, rencana untuk pelibatan TNI dalam operasi patroli bersama Filipina dan Malaysia, karena ada dua hal.

Pertama, konflik politik dan militer pemerintah Manila dengan orang Moro di kepulauan Mindanao dan Palawan belum selesai. Patroli gabungan untuk ikut mengamankan wilayah perairan selatan Filipina dapat dianggap sebagai bantuan bagi militer Filipina untuk memperkuat posisinya dalam konflik dengan orang Moro.

Kedua, patroli gabungan bisa dipandang Tiongkok sebagai dukungan bagi konflik militer Filipina dengan Tiongkok di LTS. Ini karena patroli gabungan memberikan kebutuhan Filipina untuk menghadirkan keamanan di perairan wilayah selatannya yang sesungguhnya bisa dipenuhi oleh Filipina sendiri dengan melupakan ambisi ekspansi wilayah ke LTS.

"Dalam membantu Filipina menjaga keamanan wilayah perairannya, RI harus waspada jangan sampai dimanfaatkan Filipina untuk kampanye politiknya di LTS," kata Guspiabri.

Pewarta: Feru Lantara

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016