Jakarta (Antara Megapolitan) - Dewan Perwakilan Rakyat RI dan pemerintah akhirnya sepakat menunda pembahasan revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menyusul rapat konsultasi pimpinan DPR RI dengan Presiden Joko Widodo awal pekan ini.

Dalam sidang paripurna yang digelar Selasa (23/2) rencananya revisi UU KPK menjadi salah satu agenda yang akan diputuskan namun kemudian dihapus dari agenda dan pembahasannya ditunda.

Berbagai kalangan menyambut baik penundaan pembahasan revisi UU KPK tersebut namun kekhawatiran upaya pelemahan KPK masih terus ada.

Sebelum rapat konsultasi antara Presiden Joko Widodo dengan pimpinan DPR RI, rencana revisi UU KPK memang mengalir dengan deras di parlemen. Meski beberapa fraksi menolak namun mayoritas fraksi mendukung rencana tersebut dan memasukkannya dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2016.

Usai rapat konsultasi, secara resmi pemerintah dan DPR menunda revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) namun tidak akan menghapusnya dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Keputusan tersebut diambil dalam rapat konsultasi antara Presiden Joko Widodo dengan Pimpinan, Ketua Fraksi dan Ketua Komisi DPR RI di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (22/2).

Presiden Joko Widodo usai rapat konsultasi itu mengatakan  pemerintah dan DPR RI sepakat untuk melakukan sosialisasi terhadap UU KPK pascapenundaan pembahasan revisi.

"Setelah bicara banyak mengenai rencana revisi UU KPK, kita sepakat bahwa revisi ini sebaiknya tidak dibahas saat ini. Ditunda. Dan saya pandang perlu adanya waktu yang cukup untuk mematangkan rencana revisi UU KPK dan sosialisasi ke masyarakat," kata Kepala Negara.

Presiden menghargai proses dinamika politik yang ada di DPR tentang rencana revisi UU tentang KPK.

Dia menyebutkan pertemuan konsultasi antara Pimpinan, Ketua Komisi, Ketua Fraksi dan panitia kerja (panja) revisi UU KPK berlangsung dalam suasana santai.

Ketua DPR RI Ade Komarudin menambahkan kesepakatan penundaan revisi UU KPK tidak akan menghapuskan agenda itu dalam daftar Program Legislasi Nasional (Progelnas).

Ade mengatakan setelah penundaan maka akan ada waktu untuk menjelaskan kepada masyarakat Indonesia tentang materi revisi UU KPK.

DPR dan pemerintah, katanya, sepakat bahwa revisi UU KPK adalah untuk menguatkan lembaga antikorupsi itu.
    
Penundaan atau pencabutan

Keputusan untuk menunda pembahasan revisi UU KPK disambut baik oleh berbagai kalangan. Namun kekhawatiran proses itu akan dilanjutkan pada masa mendatang dengan semangat pelemahan KPK masih terus ada.

Kesepakatan pemerintah dan DPR RI bahwa hal itu ditunda dan bukan dicabut dari prolegnas menambah kekhawatiran tersebut.

Menteri Hukum dan Ham Yasona Laoly mengatakan pemerintah terus meminta masukan dan akan berdialog dengan berbagai pihak terkait kekhawatiran tersebut.

Yasonna mengatakan revisi Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu kematangan berpikir dan sosialisasi menyeluruh kepada publik.

"Nanti akan diundang pihak-pihak yang menyatakan itu pelemahan, nanti diundang semua. Tapi harus berorasi secara intelektual, tidak emosional dan mari kita lihat untuk kepentingan lebih baik ke depannya," kata Yasonna ditemui di kompleks Istana Negara pada Senin sore.

Menurut Yasonna, banyak opini publik yang menafsirkan manfaat dari revisi UU KPK secara beragam.

Menteri meminta seluruh pihak yang menyatakan revisi UU tersebut melemahkan lembaga anti rasuah untuk menyampaikan usulan kepada pemerintah.

Yasonna mengatakan pihak yang akan mensosialisasikan revisi tersebut yaitu pemerintah dan DPR RI.

Reaksi juga berdatangan dari sejumlah fraksi di DPR RI.

Ketua Fraksi PKS di DPR, Jazuli Juwaini meminta DPR jangan memaksakan revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK setelah pemerintah dan DPR sepakat menunda pembahasan revisi UU tersebut.

"Pembahasan UU dilakukan antara DPR dan pemerintah, kalau pemerintah tidak bersedia maka DPR tidak boleh 'ngotot' lakukan revisi," katanya di Jakarta, Senin.

Dia mengapresiasi rapat konsultasi tersebut karena kalau tidak maka DPR akan menjadi "bulan-bulanan" masyarakat yang menolak revisi UU KPK.

Menurutnya, keputusan penundaan merupakan langkah arif dan bijaksana di tengah kuatnya penolakan masyarakat terhadap revisi UU KPK.

"Di tengah kuatnya penolakan masyarakat terhadap revisi UU KPK maka keputusan penundaan itu arif dan bijaksana. PKS sejak awal menolak," ujarnya.

Jazuli menilai keputusan penundaan merupakan langkah tepat karena lebih baik pemerintah terus terang daripada mengayun-ngayun keputusan.

Hal itu, menurut dia, karena ada perbedaan pendapat antara lingkaran istana dengan para pembantu Presiden.

"Di pemerintah sendiri terjadi pro dan kontra, Menkumham bilang UU KPK harus direvisi namun juru bicara Presiden mengatakan menolak," katanya.

Sementara Fraksi Hanura, menegaskan perlu sosialisasi yang jelas kepada masyarakat mengenai bagaimana revisi UU KPK tersebut. Meski mendukung penundaan proses revisi, namun Hanura memandang perlu sosialisasi kepada masyarakat mengenai rencana tersebut.

Sekretaris Fraksi Partai Hanura di DPR, Dadang Rusdiana menegaskan fraksinya mendukung kebijakan penundaan revisi Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang telah disepakati antara Pemerintah dan DPR.

"Kami sebagai partai pendukung pemerintah sepakat dengan penundaan tersebut," katanya di Jakarta, Senin.

Dia menilai penundaan itu dipandang perlu karena penyesatan opini sudah menjadi-jadi dan dikhawatirkan semua menjadi salah dalam melihat revisi UU KPK.

Menurut dia, DPR dan presiden sepakat untuk menambah waktu sosialisasi tentang poin-poin perubahan UU KPK yang selama ini dicurigai masyarakat akan memperlemah KPK.

"Presiden dan DPR sepakat bahwa revisi ini memperkuat pemberantasan korupsi dan dalam konteks menjaga keadilan hukum," ujarnya.

Namun opini yang berkembang, menurut dia, terlalu jauh dan cenderung menyesatkan sehingga DPR dan Presiden akan intensif melakukan sosialisasi tentang empat substansi yang akan direvisi dalam UU KPK.

Sementara Fraksi Partai Demokrat mengatakan bila revisi dilakukan maka harus mendengarkan suara masyarakat dan juga masukan dari berbagai pihak.

Sekretaris Fraksi Partai Demokrat di DPR, Didik Mukrianto mengapresiasi kesepakatan Presiden dan DPR yang masih ingin mendengar suara rakyat sebelum revisi UU KPK dilakukan.

"Kami apresiasi penundaan itu meskipun itu bukan membatalkan secara tuntas rencana revisi UU KPK," kata Didik Mukrianto di Jakarta, Selasa.

Dia mengatakan, membahas UU memang harus proporsional dan proper serta niatnya harus benar, matang, tuntas, terang benderang dan tidak boleh tergesa-gesa.

Menurut dia, membahas UU harus dibicarakan secara intens dan mendengarkan pandangan semua pihak secara jernih termasuk suara rakyat.

"FPD berharap, apabila sosialisasi yang dilakukan nantinya baik oleh Presiden maupun DPR diikhtiarkan untuk mendapat masukan publik yang obyektif, sehingga harus dilakukan secara komprehensif dan mendengarkan seluruh aspirasi publik dengan jernih," ujarnya.

Dia menjelaskan apabila mau arif dan bijaksana dalam mendengar pandangan publik, dirinya melihat ada dua pandangan yang cukup ekstrem di masyarakat terkait revisi UU KPK.

Pertama menurut dia, KPK harus diberi kewenangan absolut melebihi penegak hukum lainnya seperti Kepolisian dan Kejaksaan Agung sehingga tidak boleh disentuh dan dikriminalisasi.

"Revisi UU KPK dianggap pelemahan. Pandangan ini berpendapat bhw apapun yang dilakukan KPK adalah benar," katanya.

Pandangan kedua ujar Didik, kewenangan KPK terlalu besar karena keluar dari tatanan sistem keadilan sehingga dianggap menghambat pencairan anggaran pembangunan, karena itu perlu pengaturan yang proporsional.

Dia mengatakan, FPD juga berharap, apabila suara rakyat didengarkan sepenuhnya dengan jernih, maka rakyat akan mendukung sepenuhnya.
   
Api Dalam Sekam

Penundaan pembahasan revisi UU KPK menurut berbagai kalangan seyogyanya diikuti dengan pencabutan dari prolegnas sehingga benar-benar dihentikan.

Fraksi PAN DPR RI mengusulkan DPR dan pemerintah untuk mencabut revisi UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari program legislasi nasional (Prolegnas) 2016 maupun 2014-2019.

"Kalau revisi UU KPK tidak dicabut dari Prolegnas 2016 maupun 2014-2019, akan berdampak menimbulkan kegaduhan politik yang menguras energi bangsa," kata Sekretaris Fraksi PAN Yandri Susanto di Jakarta, Rabu.

Menurut Yandri, sikap Fraksi PAN tegas yakni setelah revisi UU KPK diputuskan ditunda, maka Badan Legislasi DPR RI dalam waktu secepatnya merevisi Prolegnas 2016 maupun 2014-2019 dengan mencabut revisi UU KPK.

Jika revisi UU KPK dicabut, maka dalam prolegnas 2016, daftarnya akan berkurang dari 40 RUU menjadi 39 RUU.

Senada dengan Fraksi PAN, Fraksi PKS juga mengharapkan pencabutan revisi UU KPK dari prolegnas.

"Fraksi PKS mengusulkan RUU KPK dicabut saja dari Prolegnas agar jelas dan tegas," kata Jazuli Juwaini.

Dia mengatakan proses revisi harus dilakukan oleh DPR dan pemerintah sehingga kedua belah pihak harus satu suara.

Menurut dia, apabila Presiden Joko Widodo tidak mau membahas revisi itu maka tidak ada artinya RUU KPK masuk Prolegnas.

"Kami menilai percuma saja kalau Presiden tidak mau membahas karena pembahasan RUU harus bersama dua lembaga yaitu DPR dan pemerintah," ujarnya.

Jazuli mengatakan, dulu revisi UU KPK usul inisiatif pemerintah dan masuk dalam Prolegnas namun pemerintah malah mencabut dan menjadi usul inisiatif DPR.

Dia menjelaskan, Presiden Jokowi pun saat ini meminta pembahasannya ditunda sehingga daripada DPR menjadi tujuan kritik masyarakat maka lebih baik RUU KPK ditarik dari Prolegnas.

"Daripada DPR menjadi bulan-bulanan publik lebih baik cabut saja, selesai masalahnya dengan jelas," katanya.

Penundaan revisi UU KPK tanpa mencabutnya dari prolegnas, bisa jadi layaknya api dalam sekam yang sewaktu-waktu kobarannya bisa kembali menjadi besar dan membakar semuanya.

Bila itu terjadi, maka itulah kesekian kalinya upaya pelemahan KPK sejak lembaga itu ada pada 2002. (Ant).  

Pewarta: Panca Hari Prabowo

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016