Bogor (Antara Megapolitan) - Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Doddy Izwandy mengatakan persoalan gizi masyarakat dapat teratasi apabila didukung komitmen dan kebijakan kepala daerah.

"Kemenkes mendorong agar semua kepala daerah memiliki komitmen yang kuat dalam mengatasi persoalan gizi di masyarakat," kata Doddy usai Seminar Gizi yang digelar di Bogor, Rabu.

Ia mengatakan dalam mengatasi persoalan gizi masyarakat, Kementerian Kesehatan melakukan upaya pencegahan dan pembinaan dengan target mencapai Millennium development goals (MDGs) dimana angka kematian ibu dan bayi menjadi fokus utama untuk ditekan.

"Indikator gizi itu, kematian, kesakitan dan kecacatan. Kalau angka kematian ibu dan bayi tinggi artinya negara tidak bisa mengurus ibu begitu juga bayinya," kata dia.

Dijelaskannya, dalam persoalan gizi Kementerian Kesehatan tidak bisa berjalan sendiri. Karena kebutuhan gizi masing-masing individu, daerah berbeda, seperti kebutuhan gizi untuk ibu hamil, atau kebutuhan gizi untuk daerah dengan etnis tertentu.

"Upaya yang dilakukan agar kebutuhan gizi ini tercukupi dengan pendekatan 1.000 hari pertama kelahiran (HPK)," katanya.

Lebih lanjut ia mengatakan, agar pemahaman gizi seimbang dapat menyebar luas di masyarakat perlu pendekatan ke keluarga dengan memperbaiki peningkatan pengetahuan keluarga, tentang gizi seimbang untuk semua kalangan.

"Kemenkes membuat plot yang diterapkan di masing-masing daerah, ada 12 indikator dalam pemenuhan gizi. Tetapi kita fokuskan dua indikator yakni ASI ekslusif dan pemantauan pertumbuhan gizi," katanya.

Dikatakannya, komitmen negara untuk mengatasi persoalan gizi jelas ditegaskan dalam Peraturan Presiden Nomor 42/2013 gerakan percepatan gizi, yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah untuk membuat regulasi dan komitmen mendukung penerapan ASI Ekslusif dan pemantauan pertumbuhan gizi.

"Saat ini baru ada 24 kabupaten/kota yang memiliki Perda ASI dan 10 peraturan gubernur. Kalau hanya Perda saya kurang kuat, berganti kepala daerah maka berganti pula kebijakan, tetapi jika sudah ada peraturan gubernur akan menjadi lebih kuat," katanya.

Menurut Doddy, saat ini daerah yang mampu mengatasi persoalan gizi dengan menekan angka kematian ibu dan bayi yakni Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua. Ini didukung oleh komitmen bupatinya yang aktif melakukan pemantauan gizi melalui posyandu.

"Tolikara itu contoh daerah ekstrim yang berhasil menekan angka kematian ibu dan bayinya. Bupatinya memiliki komitmen kuat, ini patut ditiru, minimnya sumber daya alam, tetapi mereka mampu mengatasi persoanal ibu hamil Anemia, dan kurang gizi kronik," katanya.

Kondisi ini lanjut dia, berbeda dengan Nusa Tenggar Timur (NTT) yang memiliki kelimpahan sumber daya pangan penghasil pisang terbesar, tetapi kesadaran untuk menjaga gizi masyarakat masih kurang, angka gizi buruk juga masih tinggi.

"Padahal pisang itu baik untuk ibu hamil, tetapi lebih banyak dikirim ke Jawa dan dijual dalam bentuk kripik," katanya.

Doddy mengatakan, Kementerian Kesehatan terus mendorong agar pemahaman terkait persoalan gizi terus disebarluaskan, melalui dinas kesehatan dan peran aktif kader posyandu untuk menyebarluaskan informasi ke setiap keluarga, serta rutin melakukan pemantauan.

"Komitmen kuat kepala daerah juga diperlukan, agar gizi seimbang ini dapat diterapkan," katanya.

Sementara itu, Ketua Pergizi Pangan Indonesia, Prof Hardinsyah menambahkan, diperlukan regulasi berupa peraturan daerah untuk memperkuat upaya meningkatkan gizi di masyarakat, melalui gerakan ASI ekslusif dan pemantauan gizi.

"Adanya regulasi memperkuat anggaran, memperkuat sektor-sektor tekait. Semakin ada regulasi akan semakin kuat. Tanpa ada regulasi, gerakan ini sifatnya hanya himbauan. Tapi adanya juga karena kepemimpinannya," katanya.

"Karena persoalan gizi berbasis sumber daya diperlukan aturan, misalnya untuk mengamankan gizi masyarakat, agar sebelum enam bulan baiknya bayi diberi ASI saja, ini memerlukan regulasi," katanya menambahkan.

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016