Bekasi, (Antara Megapolitan) - Asosiasi Praktisi Human Resources Indonesia menilai proses pembahasan dan waktu penerbitan Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan kurang tepat.
"Akan lebih elegan jika PP Pengupahan diterbitkan di awal tahun, begitu proses penetepan UMK selesai," kata Wakil Ketua Umum ASPHRI Yosminaldi di Cikarang, Sabtu.
Menurut dia, penerbitan aturan tersebut saat ini bertepatan dengan pembahasan Upah Minimum di sejumlah daerah sehingga rawan memicu konflik karena belum tersosialisasi secara maksimal.
Dalam pandangannya, Heryanto menganggap PP Pengupahan sudah cukup dalam mengakomodasi kepentingan pengusaha juga pekerja.
"Terbitnya PP ini membuat upah menjadi sebuah kepastian, sehingga perusahaan bisa leluasa menyusun 'budget'. Sementara saat upah ditetapkan setiap tahun dengan kenaikan yang bisa mencapai 20-30 persen, perusahaan kerap dibuat kewalahan karena komponen upah naik jauh lebih tinggi daripada alokasi anggaran yang telah disusun," katanya.
Adapun keuntungan bagi pihak pekerja, kata dia, mereka bisa bernegosiasi dengan pihak perusahaan perihal restrukturisasi gaji.
"Besaran upah yang ditetapkan melalui PP mengikat untuk pekerja yang masa kerjanya di bawah satu tahun dan berstatus lajang. Sementara mereka yang sudah bekerja lebih dari satu tahun serta telah berkeluarga, bisa memperoleh upah lebih tinggi sesuai struktur gaji yang disepakati perusahaan dengan serikat pekerja setempat," katanya.
Hal lain yang juga dikritisi ASPHRI adalah tidak dilibatkannya unsur pekerja saat pembahasan isi aturan tersebut, sehingga terjadi multitafsir.
"Semestinya dalam menerbitkan aturan seperti ini memang dilakukan secara tripartit dengan melibatkan pekerja, sehingga kebutuhan, kepentingan, serta aspirasi tiap-tiap pihak terakomodir," katanya.
Yos menambahkan, PP Pengupahan memang masih banyak kekurangannya. Akan tetapi penerbitan PP ini merupakan langkah signifikan yang diambil pemerintah untuk memberikan kepastian hukum.
"Dalam beberapa tahun terakhir, penetapan upah selalu melanggar prosedur yang semestinya dilalui karena dalam penetapannya kerap diwarnai aksi demonstrasi hingga akhirnya pemerintah setempat menetapkan upah dengan kenaikan melebihi ketentuan," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015
"Akan lebih elegan jika PP Pengupahan diterbitkan di awal tahun, begitu proses penetepan UMK selesai," kata Wakil Ketua Umum ASPHRI Yosminaldi di Cikarang, Sabtu.
Menurut dia, penerbitan aturan tersebut saat ini bertepatan dengan pembahasan Upah Minimum di sejumlah daerah sehingga rawan memicu konflik karena belum tersosialisasi secara maksimal.
Dalam pandangannya, Heryanto menganggap PP Pengupahan sudah cukup dalam mengakomodasi kepentingan pengusaha juga pekerja.
"Terbitnya PP ini membuat upah menjadi sebuah kepastian, sehingga perusahaan bisa leluasa menyusun 'budget'. Sementara saat upah ditetapkan setiap tahun dengan kenaikan yang bisa mencapai 20-30 persen, perusahaan kerap dibuat kewalahan karena komponen upah naik jauh lebih tinggi daripada alokasi anggaran yang telah disusun," katanya.
Adapun keuntungan bagi pihak pekerja, kata dia, mereka bisa bernegosiasi dengan pihak perusahaan perihal restrukturisasi gaji.
"Besaran upah yang ditetapkan melalui PP mengikat untuk pekerja yang masa kerjanya di bawah satu tahun dan berstatus lajang. Sementara mereka yang sudah bekerja lebih dari satu tahun serta telah berkeluarga, bisa memperoleh upah lebih tinggi sesuai struktur gaji yang disepakati perusahaan dengan serikat pekerja setempat," katanya.
Hal lain yang juga dikritisi ASPHRI adalah tidak dilibatkannya unsur pekerja saat pembahasan isi aturan tersebut, sehingga terjadi multitafsir.
"Semestinya dalam menerbitkan aturan seperti ini memang dilakukan secara tripartit dengan melibatkan pekerja, sehingga kebutuhan, kepentingan, serta aspirasi tiap-tiap pihak terakomodir," katanya.
Yos menambahkan, PP Pengupahan memang masih banyak kekurangannya. Akan tetapi penerbitan PP ini merupakan langkah signifikan yang diambil pemerintah untuk memberikan kepastian hukum.
"Dalam beberapa tahun terakhir, penetapan upah selalu melanggar prosedur yang semestinya dilalui karena dalam penetapannya kerap diwarnai aksi demonstrasi hingga akhirnya pemerintah setempat menetapkan upah dengan kenaikan melebihi ketentuan," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015