Jakarta (Antara Megapolitan) - Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sudah menginjak satu tahun pertama. Namun berbagai persoalan hukum, terutama proses legisLasi (pembentukan undang-undang) masih menjadi sorotan publik.

Menumpuknya rancangan undang-undang yang belum selesai dan bahkan jauh dari target yang ditetapkan sebelumnya.

"Sorot mata ketidakpuasan publik tampak terlihat dalam proses legislasi. Kinerja pembentuk undang-undang dinilai lamban, bahkan jauh dari target yang ditetapkannya sendiri," kata Ketua PBNU bidang hukum, hak asasi manusia dan perundang-undangan Robikin Emhas di Jakarta, Selasa (20/10).

Hal yang sama juga diungkapkan Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin yang mengatakan proses legislasi belum memberikan jaminan kepastian hukum yang adil terhadap rakyat.

Dalam proses legislasi ini, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Firman Subagyo telah menyatakan keprihatinannya dengan belum adanya pembahasan RUU di tingkat komisi maupun panja, sehingga dinilai anggota DPR tidak menunjukkan bekerja terkait dengan legislasi.

Wakil Ketua Baleg lainnya Saan Mustopa menambahkan dari 37 RUU prioritas terdapat 11 RUU yang masuk ke tahap tingkat pertama.

Sedangkan yang menunggu surat presiden terdapat 3 RUU. Sedangan 3 RUU lainnya masuk dalam tahap harmonisasi. Dengan begitu, total sebanyak 17 RUU yang draf naskah akademiknya siap dibahas. Ia berharap Baleg dan masing-masing komisi bekerja cepat dalam legislasi.

"Sehingga di masa sidang berikutnya sudah ada laporan yang diselesaikan," kata politikus Demokrat itu.

Sementara terkait pemberantasan korupsi, Irman Putra Sidin berharap pemerintahan Jokowi-JK mengubah strategi.

"Presiden harus ubah strategi efek jera pemberantasan korupsi, kalau tidak akan menjadi biang retaknya NKRI akibat pemberantasan korupsi dijadikan medan tarung para raksasa politik," kata dosen Universitas Indonusa Esa Unggul itu.

Indonesia Corruption Watch (ICW) justru memberikan rapor merah dengan nilai 5 terhadap upaya pemberantasan korupsi.

"Jadi, angka 5 ini sebetulnya kritis, ibaratnya orang kalau mau lulus juga lulus yang karena pengasihan dosen gitu ya, dia masih dikasih lulus. Artinya publik kecewa sebetulnya dengan respons baik kebijakan atau hal-hal lain yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan baik oleh Jokowi-JK maupun kabinetnya," kata peneliti ICW Lalola Easter dalam konferensi pers Rapor Setahun Jokowi-JK di kantor ICW, Jakarta Selatan, Selasa (20/10).

Lalola Easter mengatakan nilai diberikan dengan angka 5 itu mengisyaratkan bahwa pemerintahan Jokowi-JK berada dalam posisi kritis dalam menjalankan pemerintahan dan pencapaian program Nawacita terutama dalam pemberantasan korupsi.

"(Angka 5) Ya titik kritis, jadi kalau misalnya lulus ibaratnya kamu lompat ya tapi kakinya tersangkut ke tiang jatuh begitu," tuturnya.

Jika dihubungkan pada program Nawacita, ada 15 poin penting dalam upaya pemberantasan korupsi, namun ia mengatakan Jokowi-JK masih belum menggenapi pelaksanaan satu poin pun.

Memang satu tahun terbilang waktu yang belum cukup untuk melakukan berbagai kemajuan pesat seperti pemberantasan korupsi, namun menurutnya jika tidak dimulai dari sekarang maka akan sulit mencapai keberhasilan program Nawacita untuk waktu lima tahun.

"Okelah kita bicara satu tahun masih sebentar tapi kalau di satu tahun saja belum ada poin yang dicentang (sukses) kemudian di tahun ke berapa itu mau dimulai," tuturnya.

Ia juga menambahkan jika ada sejumlah pihak di kementerian/lembaga atau yang memimpin kementerian/lembaga tertentu yang perlu dievaluasi, maka harus segera dievaluasi berdasarkan kinerja.

"basis itu yang dijadikan dasar, bukan kemudian perwakilan partai politik mana yang belum ada di pemerintahan Jokowi-JK," ujarnya.

Ia mengatakan ke depan Jokowi-JK harus lebih memprioritaskan pemberantasan korupsi dalam kinerja pemerintahannya.

"Meskipun banyak sekali catatan terkait dengan pemberantasan korupsi di era Jokowi-JK sebetulnya kita masih pada titik toleransi, artinya bahwa meskipun ada catatan tersebut tapi juga ada beberapa hal yang perlu diapresiaasi, tidak banyak memang. Artinya, ke depannya Jokowi-JK harus menjadikan upaya pemberantasan korupsi sebagai salah satu prioritas kerja yang juga harus dipenuhi," ujarnya.

Terkait setahun kinerja pemerintahan Jokowi-JK, ICW memberikan catatan kurang optimalnya pemerintahan Jokowi-JK di bidang pemberantasan korupsi.

Hal itu didasarkan pada tujuh aspek yaitu pemilihan kabinet kerja Jokowi-JK, pemilihan pimpinan penegak hukum, kinerja penindakan pemberantasan korupsi, regulasi terkait dengan pemberantasan korupsi, dukungan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi, pernyataan pemberantasan korupsi Jokowi-JK, dan pelaksanaan program Nawacita bidang pemberantasan korupsi.  

"Catatan ICW ini diharapkan dapat menjadi masukan dan evaluasi bagi pemerintahan Jokowi-JK untuk mendukung optimalisasi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," katanya.

Selain masalah pemberantasan korupsi, penegakan hak asasi manusia (HAM) dan penyelesaian pelanggaran HAM selama setahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dinilai masih buruk.

"Pada bidang HAM, prestasi Jokowi-JK hanya menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional HAM (RAN-HAM) 2015-2019," kata Ketua Setara Institute Hendardi di Jakarta, Minggu (18/20).

Menurut Hendardi, RAN-HAM 2015-2019 memiliki materi muatan yang lebih mirip program kerja lembaga kajian, bukan rencana pemerintah. Dia menilai kualitas RAN-HAM sangat buruk dibanding sebelumnya.

"Sisanya, Jokowi-JK melalui para pembantunya hanya bikin gaduh dengan ide rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran. Gagasan menyesatkan ini sampai sekarang terus bergulir," tuturnya.

Selama satu tahun pemerintahan Jokowi-JK juga terjadi pelanggaran HAM di Tolikara, Aceh Singkil, Lumajang, pembiaran pengungsi Syiah dan Ahmadiyah serta kriminalisasi kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Hendardi menilai Jokowi-JK lebih banyak mengatasnamakan pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang terbatas memenuhi aspirasi sektor industri besar, bukan ekonomi rakyat.

"Jokowi-JK mengabaikan segi-segi fundamental pada bidang kebebasan sipil, pembaruan hukum, pemajuan pemberantasan korupsi, dan penuntasan pelanggaran HAM," katanya.

Masalah belum maksimalnya penegakan HAM ini juga dilontarkan Robikin Emhas. Menurut Robikin, peristiwa Tolikara dan Aceh Singkil menuntut pemerintah untuk kerja lebih keras lagi guna menjamin kebebasan warga negara dalam menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya.

Selain itu, masyarakat juga menunggu kemampuan pemerintah menyelesaikan "tragedi asap" akibat hutan-hutan yang terbakar dan keampuan pemerintah dalam mengungkap tuntas pelaku pembakarnya.

"Tidak hanya pelaku di lapangan, tetapi juga siapa dalangnya," kata Robikin.

Ketua PBNU ini hanya memberikan nilai positif terhadap konsolidasi lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, KPK, dan kehakiman.

"Kepolisian dan kejaksaan dalam setahun terakhir telah menunjukkan tajinya dalam upaya melakukan pemberantasan korupsi. Beberapa kasus besar telah diungkap. Kini masyarakat menunggu penuntasannya," kata Robikin di Jakarta, Selasa.

Namun, lanjutnya, konsolidasi lembaga penegak hukum tersebut tidak dibarengi oleh organisasi profesi advokat.

"Dalam setahun belakangan organisasi profesi advokat Peradi sebagai organisasi advokat terbesar malah terbelah tiga. Padahal, peran advokat juga tidak boleh dipandang sebelah mata dalam proses penegakan hukum yang ada," ucapnya.

Robikin mengatakan ekspektasi masyarakat yang tinggi juga dialamatkan pada upaya pemberantasan terorisme dan peredaran narkotika, serta tindak kriminal pada umumnya. (Ant).

Pewarta: Joko Susilo

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015