Berbagai pengungkapan kasus di masyarakat oleh Polri, khususnya Polda Metro Jaya, tidak terlepas dari Kerjasama yang kuat dengan masyarakat. Kasus hilangnya seorang anak, yang ternyata terjerat prostitusi online, di Jakarta Selatan, merupakan buah komunikasi yang intensif antara publik dan polisi.

Keluarga memilih untuk melaporkan temuan tentang kasus yang menimpa anak dan keponakannya, yang kemudian membuka jalan terungkapnya kasus yang juga menjerat anak-anak di bawah umur tersebut. 

Berikutnya kasus pinjol di kos-kos an, juga didahului dengan adanya informasi warga melalui media sosial, yang kemudian di tindaklanjuti hanya dalam kurun waktu 3 hari, kawanan penagih pinjol ilegal di Cengkareng tersebut berhasil di bekuk oleh Polda Metro Jaya. 

Tidak hanya itu, aduan warga tentang jambret hape di jalan, yang terekam di media sosial, juga langsung direspon aparat dengan menangkap pelaku. Yang terkini ialah viralnya sebuah video yang beredar di media sosial tentang pelaku asusila “jok motor” di Jakarta Selatan, yang pelakunya juga berhasil diamankan dengan cepat oleh polisi. 

Formula baru segitiga kekuatan di era digital yaitu warga, media sosial dan aparat, menjadi pra-syarat strategis untuk membangun ekosistem ketertiban umum yang kuat. 

Kerjasama warga untuk berani mengungkapkan kegelisahan, ketidaknyamanan, yang disertai juga dengan kesiapan memberikan informasi mendalam, termasuk bukti-bukti, sangat dibutuhkan untuk mempercepat proses investigasi. 

Kedua, kehadiran media sosial, yang membuat warga memiliki akses yang mudah, murah dan tak harus hadir secara fisik untuk melaporkan sebuah kejadian yang meresahkan, menjadi kekuatan baru bagi aparat dalam menangkap fenomena-fenomena terkini di masyarakat. 

Penelitian di Amerika Serikat terhadap lebih dari 1221 aparat, didapati bahwa lebih dari separuh mengaku, mereka menjadi lebih cepat mengungkapkan kejahatan. Upaya mengoptimalkan komunikasi terbuka dengan publik, dapat dilakukan dengan membuka saluran di berbagai media, termasuk media sosial.  

Aparat kepolisian yang secara professional mengelola media sosial, yang terbuka, tanpa menghapus kolom komentar dan keluhan misalnya, membuat aparat bisa memberikan pelayanan yang optimal kepada warga. 

Sebuah penelitian di barat menyebutkan bahwa alasan masyarakat mengakses sebuah institusi melalui media sosial ternyata 59 persen nya karena ingin menyampaikan pengalaman mereka yang menyenangkan 47 persen karena memiliki pertanyaan; 40persen karena memiliki pengalaman kurang nyaman. 

Sebuah institusi perlu selalu mengedepankan keterbukaan yang dibarengi keinginan untuk mendengarkan (social listening) sehingga mampu menindaklanjuti kebutuhan masyarakat bahkan termasuk menemukan kekeliruan yang dilakukan oleh oknum-oknum aparat sendiri. Sebut saja, berbagai kasus oknum aparat yang merugikan masyarakat juga diungkap warga di media sosial.

Namun, sayangnya tidak semua institusi siap untuk membuka diri, apalagi di media sosial, yang di dalamnya bagaikan membuka diri terhadap serbuan tsunami informasi. Polda Metro Jaya justru menjadi salah satu manifestasi dari program Police 4.0 Polri, dengan membuka kolom comment, yang di dalamnya juga menghadirkan keluhan, protes masyarakat yang masuk tanpa henti. 

Polri dalam hal ini sudah memiliki 'black box' dalam institusinya, lewat kehadiran media sosial, yang berisikan dokumentasi organik tentang dinamika kasus dan situasi yang dihadapi, dan menjadikan dokumentasi itu sebagai modal sosial untuk memperbaiki dan memberikan solusi. 

Sekali lagi, kasus dapat dengan mudah terungkap, Ketika ada saksi dan bukti yang kuat. Oleh karenanya, masyarakat tidak boleh ragu untuk mengadu, agar tunggakan kasus tidak terus menumpuk. Ayo Lapor Pak, agar Indonesia Aman! 

Pewarta: *Devie Rahmawati, Pengamat Sosial UI

Editor : Feru Lantara


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2021