Kaltara (Antara Megapolitan) - Para tokoh dan masyarakat adat Dayak Kenyah-Kayan meminta pengakuan sekaligus perlindungan terhadap keberadaan "Tana' Ulen" atau hutan larangan sebagai upaya pelestarian hutan primer yang tersisa di Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur.

"Tana' Ulen merupakan wilayah adat yang banyak mengalami berbagai tantangan, antara lain penetapan sepihak oleh Menteri Kehutanan atau pejabat pemerintahan terhadap wilayah-wilayah adat sebagai hutan lindung, konservasi, atau perkebunan-perkebunan tanpa koordinasi dengan masyarakat adat setempat," kata Ketua Umum Lembaga Adat Dayak Kalimantan Utara (Kaltara) Henoch Merang dalam Musyawarah Tana' Ulen di Tanjung Selor, Kamis.

Dengan kewenangan tersebut, menurut dia, telah mengorbankan hutan-hutan primer, termasuk wilayah Tana' Ulen. Sehingga dapat dikuasai oleh pihak lain melalui sistem perizinan yang diberikan pemerintah.

Ia mengatakan, Tana' Ulen merupakan tanah larangan berupa kawasan hutan rimba atau hutan primer yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati sangat tinggi yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat adat. Tumbuhan seperti rotan, daun sang, kayu manis, kayu damar, sagu, kayu gaharu, kayu madu, dan jenis kayu bahan bangunan untuk pemeliharaan pengembangan serta berbagai jenis ikan ada dalam kawasan tersebut.

Berpegang pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35 Tahun 2012, disebutkan bahwa hutan adat merupakan bagian dari hutan hak dan bukan tanah negara. Tana' Ulen masuk ke dalam hutan atau tanah adat yang pengelolaannya ditetapkan berdasarkan hukum adat bukan melalui peraturan pemerintah seperti hak pakai, hak sewa, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB).

Perwakilan masyarakat adat Dayak Kenyah dari Desa Long Ketaman Laing mengatakan ancaman Tana' Ulen Ketaman terbesar datang dari pengusaha gaharu yang datang dari kota-kota sekitarnya seperti Tanjung Selor, Malinau, dan Tarakan.

Saat ini, ia mengatakan masyarakat di desanya semakin sulit mendapat hewan buruan di hutan dan ikan di sekitar desa meski hutan masih terjaga. "Masalahnya hutan memang tetap terjaga tapi hewan-hewannya sudah lari karena takut. Tana' Ulen sudah dikelilingi jalan".

Ketua Adat Dayak Kenyah Kecamatan Tanjung Palas Timur Anyek Ajang mengatakan ancaman Tana' Ulen Sajau di desanya tidak hanya datang dari pengusaha gaharu tetapi juga dari perusahaan tambang dan logging.

Sementara itu, Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesra Provinsi Kalimantan Utara Zainuddin mengatakan hingga saat ini baru satu kabupaten, yakni Kabupaten Malinau yang sudah memiliki Perda perlindungan wilayah dan masyarakat adat.

"Drafnya masih dalam pembahasan di DPRD, sedikit tertunda karena berdekatan dengan Pilkada," ujar dia.

Meski belum ada Perda perlindungan masyarakat adat yang memperkuat putusan MK Nomor 35 Tahun 2002, ia mengatakan Pemprov tetap akan mendukung keberadaan Tana' Ulen. 

Pewarta: Virna P Setyorini

Editor : M.Ali Khumaini


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015