Surabaya (Antara Megapolitan) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak sanksi pidana untuk hubungan suami istri sebagaimana tertera dalam fatwa tentang kriminalisasi hubungan suami istri yang telah disahkan di arena Musyawarah Nasional IX MUI di Surabaya sesuai hasil pembahasan komisi C.
"Fatwanya sudah dibacakan dan disetujui sehingga mulai diberlakukan sejak tanggal pengesahan," ujar Sekretaris Jenderal MUI Pusat terpilih Anwar Abbas, di Surabaya, Kamis.
Fatwa yang dituangkan dalam Fatwa MUI Nomor 02/MUNAS-IX/MUI/2015 tersebut tertulis kriminalisasi hubungan suami istri bertentangan dengan hukum Islam.
Karena itulah, MUI merekomendasikan kepada aparat penegak hukum yang harus memahami secara utuh bahwa pidana perkosaan tidak dapat diterapkan dalam hubungan seksual yang dilakukan suami istri.
"Kepada pemerintah dan DPR harus me-'review' ketentuan peraturan perundang-undangan untuk disesuaikan dengan fatwa ini," kata Sekretaris Komisi Fatwa Munas MUI Asrorun Ni'am Sholeh.
Menurut dia, perkosaan adalah perbuatan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan yang bukan istrinya yang dilakukan dalam kondisi pemaksaan dan/atau di bawah ancaman.
"Hubungan seksual antara suami dalam situasi terpaksa adalah 'Khilaful Aula' (tidak sesuai dengan yang utama), tetapi tidak dapat dikategorikan sebagai perkosaan," ucapnya.
Pada dasarnya, lanjut dia, relasi suami istri harus dibangun sebagai manifestasi dari cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah), dan pelaksanaan hubungan suami isteri merupakan ibadah.
Dalam fatwa tersebut juga dijelaskan pasangan suami istri haram melaksanakan hubungan seksual dalam kondisi yang terlarang secara "syar'i" yakni, istri dalam kondisi haid dan nifas, suami atau istri sedang berpuasa Ramadhan.
Tidak itu saja, lanjut dia, larangan berhubungan seksual juga berlaku jika suami atau istri sedang Ihram, dengan cara "liwath" (anal seks), dan dalam kondisi sakit yang tidak memungkinkan untuk melakukan hubungan suami istri.
"Suami wajib menjalin interaksi dengan istri secara 'makruf' dan karenanya suami tidak boleh memaksa hubungan seksual kepada istri, dan istri wajib taat pada suami sepanjang tidak untuk perbuatan maksiat, karenanya istri tidak boleh menolak ajakan suami untuk melakukan hubungan seksual kecuali dalam kondisi yang terlarang secara syar'i," tuturnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015
"Fatwanya sudah dibacakan dan disetujui sehingga mulai diberlakukan sejak tanggal pengesahan," ujar Sekretaris Jenderal MUI Pusat terpilih Anwar Abbas, di Surabaya, Kamis.
Fatwa yang dituangkan dalam Fatwa MUI Nomor 02/MUNAS-IX/MUI/2015 tersebut tertulis kriminalisasi hubungan suami istri bertentangan dengan hukum Islam.
Karena itulah, MUI merekomendasikan kepada aparat penegak hukum yang harus memahami secara utuh bahwa pidana perkosaan tidak dapat diterapkan dalam hubungan seksual yang dilakukan suami istri.
"Kepada pemerintah dan DPR harus me-'review' ketentuan peraturan perundang-undangan untuk disesuaikan dengan fatwa ini," kata Sekretaris Komisi Fatwa Munas MUI Asrorun Ni'am Sholeh.
Menurut dia, perkosaan adalah perbuatan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan yang bukan istrinya yang dilakukan dalam kondisi pemaksaan dan/atau di bawah ancaman.
"Hubungan seksual antara suami dalam situasi terpaksa adalah 'Khilaful Aula' (tidak sesuai dengan yang utama), tetapi tidak dapat dikategorikan sebagai perkosaan," ucapnya.
Pada dasarnya, lanjut dia, relasi suami istri harus dibangun sebagai manifestasi dari cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah), dan pelaksanaan hubungan suami isteri merupakan ibadah.
Dalam fatwa tersebut juga dijelaskan pasangan suami istri haram melaksanakan hubungan seksual dalam kondisi yang terlarang secara "syar'i" yakni, istri dalam kondisi haid dan nifas, suami atau istri sedang berpuasa Ramadhan.
Tidak itu saja, lanjut dia, larangan berhubungan seksual juga berlaku jika suami atau istri sedang Ihram, dengan cara "liwath" (anal seks), dan dalam kondisi sakit yang tidak memungkinkan untuk melakukan hubungan suami istri.
"Suami wajib menjalin interaksi dengan istri secara 'makruf' dan karenanya suami tidak boleh memaksa hubungan seksual kepada istri, dan istri wajib taat pada suami sepanjang tidak untuk perbuatan maksiat, karenanya istri tidak boleh menolak ajakan suami untuk melakukan hubungan seksual kecuali dalam kondisi yang terlarang secara syar'i," tuturnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015