Bogor, (Antara Megapolitan) - Tim Nasional putra dan putri Thailand nyaris didiskualifikasi dan batal mengikuti Kejuaraan Dunia Ketepatan Mendarat Paralayang atau World Paragliding Accuracy Championship (WPAC) ke-8, FAI 2015 Indonesia yang diselenggarakan di Puncak, 10-16 Agustus.
"Tim Thailand baru tiba di Jakarta Minggu (9/8) sore dan terlambat hadir di pertemuan teknis peserta di penginapan atlit di Cisarua, Puncak," kata Humas dan Koordinator Media WPAC 2015, Tagor Siagian, di Puncak, Rabu.
Tagor menjelaskan, bila mengikuti peraturan lokal panitia pelaksana (Panpel), yakni Bidang Paralayang Persatuan Gantolle dan Paralayang Indonesia (PGPI), peserta yang tidak ahdir di pertemuan teknis dianggap gugur.
"Pada hari Minggu, lalu lintas di jalur Puncak cukup padat diberlakukan satu arah menuju Jakarta pada jam-jam tertentu, menyebabkan tujuh pilot timnas Thailand (dua adalah putri) "terdampar" di pintu tol keluar Ciawi," kata Tagor.
Dijelaskankan, WPAC 2015 adalah kejuaraan resmi kategori I (antara negara) Federasi Auronautiqe Internationale (FAI), induk olah raga dirgantara dunia, yang kedelapan kalinya digelar. Namun, merupakan yang pertama berlangsung di luar Eropa dan terbesar di sepanjang sejarah penyelenggaraannya.
"Karena diikuti sebanyak 121 pilot terdiri dari 27 pilot putri dan sisanya pilot putra dari 19 negara. Biasanya peserta WPAC hanya berkisar 70 pilot," katanya.
Dikatakannya, seluruh pilot sudah melakukan pendaftaran secara daring selama tiga bulan hingga akhir Juli. Sebelum mengikuti pertemuan teknis, semua peserta harus mendaftara ulang.
"Tim nasional Thailand dan Korea Selatan adalah yang terakhir tiba di Puncak, dua hari menjelang lomba dimulai. Namun, Korea Selatan sorenya sudah tiba, sebelum pertemuan teknis berjalan," katanya.
Tagor mengatakan, setelah panitia pelaksana berkonsultasi dengan pengawas kejuaraan dari FAI, Violeta Marleta, maka Thailand tetap diizinkan untuk ikut bertandong.
"Dari segi persaingan dan peta kekuatan peserta, jika Thailand didiskualifikasi, memberikan peluang pilot putri lainnya. Karena Thailand memiliki penerbang putri peringkat teratas dan runner up sementara dunia, seperti Nunnapat Phuchong dan Chantika Chaisanu," katanya.
Menurut Tagor, pengalaman ini memperlihatkan perbedaan antara olah raga dan politik. Bukan kepentingan pribadi atau kelompok yang diutamakan, tetapi kepentingan bersama, yakni membuat kejuaraan semeriah dan seseru mungkin.
Sebagai contoh kasus, para atlit dan panitia pelaksana bersama mencari penyelesaian secara musyawarah dan mufakat, juga harus menjadi pertimbangan KOI dan OCA untuk menerima Paralayang mengikuti Asian GAMES 2018 di Indonesia.
"Inti dari olah raga adalah, sportifitas, persaingan secara sehat," katanya.
Hingga seri ketiga piala dunia ketepatan mendarat paralayang (PGAWC) 2015, duo handal Thailand sementara menempati peringkat bertahan Seri PGAWC dan meraih secara hattrick, tiga tahun berturut-turut sejak 2012.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015
"Tim Thailand baru tiba di Jakarta Minggu (9/8) sore dan terlambat hadir di pertemuan teknis peserta di penginapan atlit di Cisarua, Puncak," kata Humas dan Koordinator Media WPAC 2015, Tagor Siagian, di Puncak, Rabu.
Tagor menjelaskan, bila mengikuti peraturan lokal panitia pelaksana (Panpel), yakni Bidang Paralayang Persatuan Gantolle dan Paralayang Indonesia (PGPI), peserta yang tidak ahdir di pertemuan teknis dianggap gugur.
"Pada hari Minggu, lalu lintas di jalur Puncak cukup padat diberlakukan satu arah menuju Jakarta pada jam-jam tertentu, menyebabkan tujuh pilot timnas Thailand (dua adalah putri) "terdampar" di pintu tol keluar Ciawi," kata Tagor.
Dijelaskankan, WPAC 2015 adalah kejuaraan resmi kategori I (antara negara) Federasi Auronautiqe Internationale (FAI), induk olah raga dirgantara dunia, yang kedelapan kalinya digelar. Namun, merupakan yang pertama berlangsung di luar Eropa dan terbesar di sepanjang sejarah penyelenggaraannya.
"Karena diikuti sebanyak 121 pilot terdiri dari 27 pilot putri dan sisanya pilot putra dari 19 negara. Biasanya peserta WPAC hanya berkisar 70 pilot," katanya.
Dikatakannya, seluruh pilot sudah melakukan pendaftaran secara daring selama tiga bulan hingga akhir Juli. Sebelum mengikuti pertemuan teknis, semua peserta harus mendaftara ulang.
"Tim nasional Thailand dan Korea Selatan adalah yang terakhir tiba di Puncak, dua hari menjelang lomba dimulai. Namun, Korea Selatan sorenya sudah tiba, sebelum pertemuan teknis berjalan," katanya.
Tagor mengatakan, setelah panitia pelaksana berkonsultasi dengan pengawas kejuaraan dari FAI, Violeta Marleta, maka Thailand tetap diizinkan untuk ikut bertandong.
"Dari segi persaingan dan peta kekuatan peserta, jika Thailand didiskualifikasi, memberikan peluang pilot putri lainnya. Karena Thailand memiliki penerbang putri peringkat teratas dan runner up sementara dunia, seperti Nunnapat Phuchong dan Chantika Chaisanu," katanya.
Menurut Tagor, pengalaman ini memperlihatkan perbedaan antara olah raga dan politik. Bukan kepentingan pribadi atau kelompok yang diutamakan, tetapi kepentingan bersama, yakni membuat kejuaraan semeriah dan seseru mungkin.
Sebagai contoh kasus, para atlit dan panitia pelaksana bersama mencari penyelesaian secara musyawarah dan mufakat, juga harus menjadi pertimbangan KOI dan OCA untuk menerima Paralayang mengikuti Asian GAMES 2018 di Indonesia.
"Inti dari olah raga adalah, sportifitas, persaingan secara sehat," katanya.
Hingga seri ketiga piala dunia ketepatan mendarat paralayang (PGAWC) 2015, duo handal Thailand sementara menempati peringkat bertahan Seri PGAWC dan meraih secara hattrick, tiga tahun berturut-turut sejak 2012.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015