Terlahir sebagai nelayan tidak membuat Saiban mengharuskan tujuh anak dari hasil pernikahannya dengan Faridah saat mereka sama-sama berusia 16 tahun mengikuti jejak hidupnya.

Namun, bak pribahasa "air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga", empat orang anaknya memilih jalan hidup sebagai nelayan, mata pencaharian turun temurun di keluarga besar pria berkulit sawo matang ini.

Susah senang kehidupan keluarga nelayan, dan pahit getir menjadi nelayan kecil sudah dirasakan Saiban jauh sebelum dia berumah tangga.

"Saya sendiri sudah ikut ayah melaut ketika berumur sembilan tahun," katanya kepada Antara yang menemuinya di pangkalan perahu nelayan kecil Simpang Tiga Sicuram, Jalan Teluk Meku, Desa Sei Bilah Timur, Sumatera Utara, 30 Mei silam.

Bagi warga Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, berusia 36 tahun ini, kehidupan kebanyakan nelayan Sei Bilah seperti dirinya kini tidak mudah kendati pemerintah sudah sejak lama melarang pengoperasian "pukat harimau".

Nelayan yang tangkas menjaga keseimbangan tubuhnya di atas sampannya yang merapat di paluh Simpang Tiga Sicuram saat dia mengemas dua ember plastik berisi ikan, sotong, dan udang lipan dari hasil melautnya pada 29-30 Mei itu pun berterus terang tentang sumber ikan di perairan Pantai Timur Sumut tempatnya mencari nafkah.

"Sekarang ini, untuk dapat ikan, saya harus melaut jauh ke tengah," katanya sembari menunjukkan hasil tangkapannya berupa ikan belangkas dan biji nangka, sotong, serta udang lipan di ember kumal yang dibawanya melaut sejak pukul 22.00 hingga 04.30 WIB itu.

Sambil berulang kali menyerok air yang menggenangi bagian bawah perahu kayu berukuran 21 kaki yang bocor, Saiban mengatakan "ketam, sotong, dan ikan-ikan bagus" dari hasil tangkapannya diserahkan ke toke.

"Perahu yang dilengkapi mesin 23 PK ini punya toke tapi saya sudah mengangsurnya sekitar setahun ini. Saya membayar angsuran dengan menyerahkan hasil tangkapan".

Hanya saja, seiring dengan berubahnya waktu dan potensi perikanan di perairan Pantai Timur Sumut, tak dikenal kata "pasti dapat" dalam kamus kehidupan para nelayan kecil seperti Saiban.

Dengan berbekal 20 liter solar untuk sekali melaut, Saiban berangkat dari paluh Simpang Tiga Sicuram, Jalan Teluk Meku, dengan seuntai doa dan harapan bahwa dia akan mendapat hasil tangkapan yang memadai.

"Tapi, hasilnya bisa dapat bisa juga tak dapat ikan. Terkadang, modal minyak saja nggak pulang," katanya.

Apa yang disampaikan Saiban diamini Faridah, perempuan yang telah memberinya tujuh anak.

"Walaupun begitu, tak ada pilihan. Untuk dapat duit, ya harus kerja dan rajin berusaha," kata Faridah yang mendatangi pangkalan perahu suaminya di paluh yang berada di sisi Jalan Teluk Meku, Desa Sei Bilah Timur, itu.

Keputusan pemerintah melarang penggunaan pukat hela (trawl) dipandang ibu rumah tangga berusia 36 tahun itu sebagai kebijakan yang pro-nelayan kecil seperti suaminya.

"Pukat `trawl` itu meraup habis dan tak menyisakan ikan buat kami. Tapi saya tak setuju kalau pukat tarik (seine nets) juga dilarang."

"Kalau pukat layang dilarang, apa pekerjaan suami kami?" katanya menanggapi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/Permen-KP/2015.

Berbekal pendapatan yang tak seberapa, Faridah mengatakan dia, suami dan ketujuh anaknya selama ini tinggal di sebuah rumah yang hanya memiliki satu kamar tidur.

Menyadari keterbatasan ekonomi keluarganya yang hanya mengandalkan hasil dari pekerjaan suaminya sebagai nelayan dan dirinya sebagai buruh cuci pakaian, Faridah memandang pendidikan sebagai bekal yang penting untuk membangun masa depan anak-anaknya.


Bersekolah

Karena itu, berbeda dengan empat anak mereka yang tak bersekolah, Saiban dan Faridah yang masih memiliki bayi berusia delapan bulan ini pun menyekolahkan anak kelima dan keenam mereka.

"Dua anak saya, Darman Sahputra dan Rini Sayanti, bersekolah. Saat ini Darman duduk di kelas empat dan Rini di kelas dua sekolah dasar. Kalau bisa, mereka sekolah tinggi-tinggi supaya bisa menjadi guru seperti yang mereka mau," kata Faridah.

Nelayan lain, Samsul Bahri, yang ditemui di perumahan nelayan Gang Meriam, Lingkungan V, Desa Sei Bilah Barat, bernasib lebih baik dari Saiban. Dua anaknya bahkan telah duduk di bangku kuliah.

"Anak kedua saya, Riza Akbar (23), bersekolah di Akademi Maritim Medan. Dia sekarang ini sedang mengikuti praktik kerja lapangan dengan status calon kapten di Kalimantan Selatan."

"Ada pun anak ketiga saya, Tri Rayahu (17), sudah diterima di Jurusan Pendidikan Biologi di Universitas Negeri Medan," kata Samsul.

Nelayan berusia 50 tahun yang memiliki dua perahu bermotor berukuran 27 kaki ini mengatakan putra pertamanya pun disekolahkannya sampai lulus SMA.

"Setamat SMA, dia memilih jalannya hidupnya sendiri. Kini dia berdagang ikan di `pajak` (istilah warga setempat untuk menyebut pasar-red.)," kata ayah empat anak yang pernah menempuh pendidikan di sekolah perikanan ini.

Pentingnya pendidikan bagi anak-anak nelayan pun disuarakan Fatimah, ibu rumah tangga yang menetap di perkampungan nelayan yang sama dengan Samsul Bahri.

Dia berharap kelima orang anaknya dari hasil pernikahannya dengan Wardana Kusuma (38) dapat meraih masa depan yang lebih baik dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari kedua orang tuanya.

"Untuk itu, saya berlangganan surat kabar Berita Harian sebagai bahan bacaan keluarga," kata anak nelayan lulusan SMA Harapan Kampung Baru Pangkalan Brandan itu.

Fatimah pun berharap banyak pada program beasiswa pemerintah, seperti Bidikmisi, dalam membantu anak-anak nelayan yang berkemauan kuat untuk melanjutkan studi hingga ke perguruan tinggi supaya tidak lagi ada upaya anak nelayan kandas di tengah jalah dalam perjalanan "melukis langit" masa depannya.

"Dulu kemauan untuk kuliah itu ada tapi terbentur biaya. Sekarang jangan lagi ada," katanya.

Pewarta: Rahmad Nasution

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015