Tim Pengembang Vaksin Merah Putih Universitas Indonesia (UI) menyatakan progres terbaru dari vaksin COVID-19 yang dikembangkan berbasis platform DNA saat ini sudah masuk tahap uji imunitas pada hewan coba.

"Vaksin DNA lebih cepat pengembangannya, sudah masuk pada tahapan uji coba imunitas pada hewan coba ini sudah terjadi bahkan sudah terjadi beberapa bulan yang lalu dan saat ini kita sebetulnya masuk kepada stabilitas dan efisiensi produk produksi jadi menilai bagaimana kita membuat produksinya lebih tinggi dan efisien," kata Ketua Tim Pengembang Vaksin Merah Putih Universitas Indonesia Budiman Bela dalam webinar Tantangan dan Kebijakan Pengembangan Vaksin Merah Putih untuk Percepatan Penanganan Pandemi COVID-19, Jakarta, Jumat.

Budiman menuturkan pada pengembangan vaksin DNA tersebut, nantinya harus dibuat persiapan yang baik untuk uji praklinik dan uji klinik.

UI mengembangkan vaksin COVID-19 dengan empat platform yaitu DNA, RNA, protein rekombinan subunit dan virus like particles (VLP).

Baca juga: Menristek: Vaksin Merah Putih jaga keberlanjutan "herd immunity"

Ia menjelaskan, tiap platform memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Vaksin DNA tergolong lebIh mudah dikembangkan, biaya produksi relatif lebih rendah, dan relatif stabil pada 2-8 derajat Celsius dan suhu ruang.

Sementara, vaksin RNA membutuhkan teknologi produksi lebih rumit dibanding vaksin DNA, dan memerlukan lebih banyak komponen dalam produksinya.

"Namun, vaksin RNA diyakini lebih aman daripada vaksin DNA, namun belum ada bukti sampai saat ini bahwa vaksin DNA misalnya terintegrasi dengan kromosom kita," tutur Budiman.

Vaksin RNA stabil pada suhu -70 derajat Celsius, dan tidak stabil pada suhu 2-8 derajat Celsius dan suhu ruang.

"Pada waktu akan diimplementasikan, disebarluaskan maka masalah stabilitas pada suhu -70 derajat Celsius ini bisa menjadi permasalahan karena akan sulit untuk mendistribusikannya serta menjaga dia tetap pada suhu -70 derajat Celsius sesaat sebelum dipakai," ujarnya.

Baca juga: Uji klinis Vaksin Merah Putih berupaya dipercepat

Menurut Budiman, walau punya tingkat kerumitan sendiri dalam produksi maupun distribusinya, vaksin RNA mempunyai angka efikasi yang baik.

Sementara vaksin protein rekombinan subunit dan VLP yang diproduksi oleh sel mamalia (sel CHO), menurut dia, itu relatif lebih sulit untuk mendapatkan master cell yang menghasilkan antigen secara stabil dengan produksi tinggi, dan stabil pada suhu 2-8 derajat Celsius.

Pengembangan vaksin RNA, protein rekombinan subunit dan VLP masih pada tahapan rekonstruksi DNA rekombinan, katanya.

Baca juga: Pemberian imunisasi vaksin COVID-19, Pemkot Bogor tunggu juknis dari pusat

Budiman menuturkan jenis platform yang dikembangkan dipilih berdasarkan pertimbangan terkait antara lain keamanan, efikasi dan kemudahan distribusi vaksin.

Vaksin RNA dan DNA menghasilkan antigen yang bersifat endogen, yaitu artinya yang diproduksi oleh sel tubuh sendiri. Dengan adanya antibodi endogen itu, maka potensi respon imun yang bisa dirangsang adalah antibodi, sel T-CD4 dan sel T-CD8.

"Ketiga-tiganya bisa dirangsang dengan baik dan sudah ada buktinya," ujarnya.

Untuk vaksin rekombinan subunit dan VLP, Budiman menuturkan pihaknya sudah mendapatkan informasi bahwa antibodi dan sel T-CD4 bisa dirangsang dengan baik.

"Namun yang menjadi sedikit kekhawatiran adalah bagaimana respon sel T-CD8-nya, mungkin tidak sebaik vaksin RNA dan DNA," tuturnya.

Budiman menuturkan jika ketiganya bisa dirangsang dengan baik, maka akan memberikan perlindungan lengkap karena tidak semua orang bisa memproduksi antibodi di mana ada orang-orang tertentu yang memiliki kesulitan untuk memproduksi antibodi.



 

Pewarta: Martha Herlinawati S

Editor : Feru Lantara


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2021