Yogyakarta,  (Antara Megapolitan) - Praktisi kesehatan sekaligus anggota Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Hakim Sorimuda Pohan mengatakan kehadiran negara dalam hal ini pemerintah pusat diperlukan untuk melindungi generasi muda dari ancaman bahaya rokok yang prevalensinya terus meningkat.

"Negara absen dalam melindungi generasi muda dari bahaya tembakau rokok," katanya dalam Tobacco Control Leadership Programe yang diselenggarakan oleh WHO Indonesia dan John Hopkins Bloomberg School of Public Health, Institue for Global Tobacco Control di Yogyakarta, Kamis.

Dikatakannya upaya industri tembakau untuk menghentikan pengendalian tembakau di Indonesia telah dimulai sejak lama (1990), saat bersamaan upaya pemerintah untuk membatasi peredaran tembakau rokok juga dilakukan melalui pembentukan undang-undang kesehatan maupun produk industri.

Para legislator juga melakukan upaya untuk mengendalikan tembakau, tahun 2002 telah ada aturan yang menyebutkan tembakau bersifat adiktif sehingga membahayakan bagi kesehatan. Seiring berjalannya waktu ditambah semakin kuatnya intervensi dari industri tembakau, hingga hilangnya ayat 2 Pasal 113 tentang tembakau dalam rancangan undang-undang kesehatan.

"Tahun 2012 lahirnya Komite Nasional Penyelamat Kretek (KNPK). Namanya saja tidak jelas. Yang harus kita selamatnya masyarakat Indonesia dari ancaman kematian akibat rokok," katanya.

Menurut Hakim, industri tembakau tidak akan tinggal diam menghadapi upaya pemerintah untuk membatasi tembakau, banyak kedok yang digunakan oleh pengusaha agar kebijakan pemerintah tidak menyulitkan langkah mereka. Seperti hilangnya ayat pada undang-undang kesehatan tersebut, mereka menguasai DPR RI dan pemerintahan melalui kedok seperti beasiswa pendidikan dan kegiatan lainnya.

"Jika ini dibiarkan maka negeri ini akan dikendalikan oleh pemodal, bukan orang yang benar-benar membangun negeri ini menjadi lebih baik," katanya.

Ia mengatakan industri tembakau telah menguasai parlemen juga pemerintahan dengan kekuatan finansialnya. Sehingga, jika relawan pengendalian tembakau ingin berjuang perlu penguatan diri agar mampu melawan persaingan yang tidak sehat.

"Jangan hentikan bantuan untuk pengendalian tembakau, karena pengendalian tembakau membutuhkan dukungan untuk melawan industri tembakau," katanya.

Dikatakannya, industri tembakau seperti "pembohong besar". Cukai yang dibayar bukanlah dari uang para pengusaha rokok, melainkan dari rakyat yang membeli rokok.

Ia mengatakan beragam isu sosial dan pertanian digunakan oleh industri rokok untuk melawan pengendalian tembakau, salah satunya dengan mengatakan petani tembakau akan merugi bila pabrik rokok tutup.

Faktanya tembakau itu tanaman semusim, di musim lain petani menanam tanaman jenis lain. Dari total produksi lebih dari 350 miliar batang per tahun, sebanyak 50 persen tembakau yang digunakan merupakan hasil impor.

Dampak merokok bukan hanya soal statistik, di mana 200.000 orang meninggal dunia setiap tahunnya karena rokok, dan 25.000 orang di antaranya adalah perokok pasif. Nilai cukai yang dibayarkan oleh industri tembakau tidak sebanding dengan biaya pengobatan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

WHO Indonesia dan John Hopkins Bloomberg School of Public Health, Institue for Global Tobacco Control menggelar kegiatan Tobacco Control Leadership Program yang diikuti oleh 92 orang peserta yang berasal dari berbagai kalangan seperti pemerintahan daerah, kementerian, akademisi, LSM pengendali tembakau, media, dan paktisi yang datang dari berbagai daerah di Indonesia.

Kegiatan ini berlangsung selama lima hari (12-17 April) menghadirkan pembicara dari berbagai kalangan, baik dari WHO Indonesia, John Hopkins Bloomberg School of Public Health, Institue for Global Tobacco Control, kementerian kesehatan, praktisi, dan pemerintah daerah.

Program ini bertujuan menumbuhkan pemikiran strategis dan pemimpin yang dapat mengendalikan peredaran tembakau yang membutuhkan keberanian untuk menyampaikan bahaya merokok bagi kesehatan, serta berdampak luas pada sektor ekonomi dan sosial.

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015