Aroma bahan bakar minyak dari knalpot roda dua yang dimodifikasi agar mampu menerobos jalur setapak berbukit-bukit di dataran tinggi Air Punggur belum sirna, meski hujan gerimis membasahi bumi.

Azhar terus memacu kendaraan pengangkut kopi miliknya agar bisa sampai di Desa Batu Bandung, Kecamatan Muara Kemumu, Kabupaten Kepahiang, Bengkulu, sebelum maghrib.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, memasuki musim buah kopi tahun ini petani tidak sepenuhnya gembira meski harga jual biji kopi cukup tinggi, Rp20.000 per kilogram.

Kondisi jalan usaha tani yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua menjadi keluhan utama petani kopi di wilayah itu selama berpuluh tahun.

"Jalan ini belum pernah dibangun, berbentuk jalan setapak yang hanya bisa dilalui sepeda motor modifikasi yang diberi rantai pada roda," ungkap Azhar di Batu Bandung.

Padahal, di kawasan itu terhampar lebih dari 10.000 hektare tanaman kopi milik 4.000 kepala keluarga petani mandiri.

Seluruh hasil panen yang mencapai tiga ton per haktare per tahun diangkut menggunakan sepeda motor melintasi jalur berbukit sejauh 12 kilometer.

Kondisi jalan yang ekstrem itu membuat ongkos angkut hasil kebun melonjak. Petani harus mengeluarkan Rp1,5 juta per ton untuk mengangkut kopi dari kebun ke desa.

"Kalau tidak punya motor, maka petani harus berjalan kaki selama enam jam. Kalau naik ojek harus bayar Rp200 ribu sekali jalan," ujar dia.

Karena kondisi jalan dan jarak yang cukup jauh, sebagian warga Desa Batu Bandung membuat pondok seadanya di kebun mereka di wilayah Air Punggur.

Akhirnya Air Punggur disepakati menjadi nama pertalangan yang saat ini berstatus calon desa yang menginduk ke Desa Batu Bandung.
   
Sentra Kopi

Tokoh masyarakat Desa Batu Bandung Ramli Rem mengatakan sudah puluhan tahun warga setempat mengusulkan pembangunan jalan usaha tani untuk mendukung kegiatan pertanian, namun baru direspon pada akhir 2014.

Meski hanya jalan tanah yang didozer menggunakan alat berat sepanjang empat kilometer dengan lebar jalan empat meter, petani sudah melihat secercah harapan.

"Mudah-mudahan ini dilanjutkan dengan pengoralan karena kalau berbentuk jalan tanah sangat berbahaya kalau musim hujan," tuturnya.

Rem mengatakan warga yang memiliki kebun kopi di Air Punggur bukan hanya berasal dari Desa Batu Bandung, tapi juga beberapa desa lain yang masuk dalam Kecamatan Muara Kemumu.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa hampir 70 persen kopi asal Kabupaten Kepahiang disumbang dari wilayah Kecamatan Muara Kemumu, sehingga perlu perhatian dari pemerintah.

Selain warga Desa Batu Bandung, warga tujuh desa lainnya di kecamatan itu merupakan sentra kopi adalah petani Desa Sosokan Baru, Sosokan Taba, Limbur Baru, Talang Tige, Warung Pojok dan Renang Kerung.

Data Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu pada 2012 menyebutkan bahwa dari 78.657 hektare luas areal kebun kopi di daerah itu, Kabupaten Kepahiang menduduki peringkat pertama seluas 26.549 hektare dan diikuti Kabupaten Rejanglebong seluas 23.656 hektare.

Berikutnya, Kabupaten Kaur seluas 9.558 hektare, Kabupaten Seluma 8.205 hektare, Kabupaten Lebong seluas 8.125 hektare, Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah masing-masing seluas 4.844 hektare, Kabupaten Bengkulu Selatan seluas 2.874 hektare, Kabupaten Mukomuko 126 hektare, dan Kota Bengkulu 24 hektare.

Sedangkan produksi kopi Provinsi Bengkulu pada 2008 sebanyak 59.032 ton, pada 2009 turun menjadi 52.497 ton. Lalu pada 2010 terjadi peningkatan menjadi 55.391 ton, kembali meningkat pada 2011 menjadi sebanyak 58.023 ton dan menurun pada 2012 menjadi 55.858 ton.
    
Transaksi ekspor

Peribahasa yang berbunyi "kerbau punya susu, sapi punya nama" cukup pas untuk menggambarkan nasib petani kopi di wilayah Bengkulu.

Petani membanting tulang untuk menghasilkan kopi terbaik, tapi tidak banyak yang mengenal kopi Bengkulu, khususnya dari Tanah Rejang, melainkan dikenal sebagai Kopi Lampung.

Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Bengkulu Ricky Gunarwan mengakui bahwa ekspor kopi Bengkulu masih melalui Provinsi Lampung karena eksportir besar berada di provinsi tetangga itu.

"Tidak gampang menjadi eksportir, harus menandatangani kontrak tentang pasokan yang harus tersedia rutin," kata dia.

Ia mengatakan pengiriman kopi Bengkulu ke berbagai daerah di Tanah Air juga dilakukan melalui jalur darat, karena pendangkalan alur masuk Pelabuhan Pulau Baai.

Pengumpul kopi dan memasok ke eksportir, Suwanto dari CV Kembar Grup juga membenarkan bahwa Bengkulu tidak memiliki eksportir kopi karena kendala transportasi, terutama jalur laut.

"Sejak 1997 saya mengumpul kopi dan belum pernah ada eksportir langsung dari Bengkulu, karena pendangkalan alur Pelabuhan Pulau Baai," tutur dia.

Para pengusaha kata Suwanto lebih memilih berbisnis dengan risiko kecil, sehingga biji kopi dikirim ke sejumlah daerah terutama Provinsi Lampung dan Sumatera Utara dan selanjutnya diekspor ke berbagai daerah.

Pengiriman dilakukan menggunakan truk bermuatan 20 ton dengan jadwal pengiriman sekali dalam tiga hari.

"Sekarang lagi musim panen, kopi melimpah, jadi lebih banyak lagi yang dikirim," tambahnya.

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015