Berapa sebenarnya jumlah Gajah Sumatera yang hidup di alam liar saat ini?.

Kajian WWF-Indonesia menyebutkan estimasi populasi mamalia dengan ukuran tubuh terbesar yang hidup di daratan Pulau Sumatera ini mencapai 2.400 hingga 2.800 ekor pada 2007. Hingga 2014, jumlahnya diperkirakan sekitar 1.400 ekor di seluruh Sumatera.

"Tapi sepertinya 'over estimate', karena di Bengkulu saja disebut sekitar 200 individu (ekor), di Riau ada 300 individu, namun diperkirakan 30 individu diantaranya sudah mati," kata ahli species gajah dan harimau WWF-Indonesia, Sunarto.

Meski bertubuh besar, namun tidak mudah mengetahui keberadaan gajah di alam liar.

Gajah, menurut Sunarto, sangat tersamar, terlebih lagi di hutan yang lebat, karena satwa ini bisa tidak bergerak sama sekali dalam waktu lama dan hanya bersembunyi atau mengintai dari balik rimbunnya belantara.

"Mereka biasanya akan memilih untuk menghindar jika memang merasa tidak ada ancaman. Tapi saat merasa terancam dan terdesak, mereka akan seketika berbalik arah dan menyerang," katanya.

Naturalis kenamaan asal Inggris Alfred Russel Wallace dalam bukunya berjudul The Malay Archipelago; The land of the orangutan and the bird of paradise; A narrative of travel, with studies of man and nature (1869) menyebutkan mamalia besar lain dari Sumatera adalah gajah dan badak, tersebar di daerah yang lebih luas dibandingkan dengan orangutan.

Akan tetapi, Wallace menyebutkan gajah lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan beberapa tahun lalu (sebelum 1861-1862). Keberadaan mereka telah berkurang drastis sebelum hutan-hutan dibuka untuk perkebunan.

Ia menyebut di Lobo Raman atau Desa Lubuk Raman yang berjarak 110 kilometer (km) dari Palembang, Sumatera Selatan, gading dan tulang gajah sering kali ditemukan di hutan, akan tetapi gajah hidup tidak pernah terlihat.

Mungkin karena alasan itu pula tidak mudah mencari tahu secara pasti populasi gajah sumatera yang tersisa di alam. Terlebih belum pernah ada sensus gajah yang dilakukan di seluruh wilayah jelajahnya di Sumatera.
        
                 Mengenal Gajah Sumatera
Secara umum, Sunarto menjelaskan gajah adalah mahluk sosial, hidupnya berkelompok sekitar 20 hingga 35 individu (ekor) dan akan tersiksa jika dipisahkan dari kelompoknya.

"Seperti di kuil-kuil di India atau Nepal, kadang ada yang merawat seekor gajah yang dipisahkan dari kelompoknya, mereka (gajah-gajah) akan tersiksa sebenarnya".

Jika pernah melihat seekor gajah menggeleng-gelengkan atau mengangguk-anggukkan kepalanya di kebun binatang atau sirkus, menurut dia, itu merupakan salah satu tanda satwa tersebut terserang stres dan mengalami depresi.

Gajah, lanjutnya, juga memiliki memori yang kuat, salah satu buktinya mereka akan mendatangi tempat yang sama yang pernah mereka datangi saat menjelajah. Waktu jelajah mereka bisa berbulan-bulan sebelum kembali ke tempat yang sama.

"Pernah satu kali gajah dari daerah Duri dilepaskan di daerah Taman Nasional Tesso Nilo, beberapa bulan kemudian ada yang mengenali gajah tersebut sudah berada di Duri lagi. Banyak masyarakat yang tidak percaya, disangkanya ada yang melepaskannya lagi di sana, tapi itu kenyataannya, gajah-gajah itu menemukan jalannya untuk kembali,¿ ujar dia.

Kemampuan jelajah mereka, lanjutnya, juga cukup baik hingga mencapai 15 km dalam satu hari, sedangkan wilayah jelahnya dapat mencapai 32 kilometer persegi (km2) hingga 166 km2. Bahkan meski bertubuh tambun kecepatan berlari satwa ini mengalahkan manusia di medan yang sama.

Lalu, apa pentingnya gajah dalam ekosistem hutan?.

Menurut Sunarto, gajah makan cukup banyak, hingga mencapai 300 kilogram (kg) per hari. Satwa ini memiliki kemampuan memodifikasi habitat, karena dengan metabolisme yang cepat sehingga dapat membuang kotoran hingga 18 kali dalam satu hari, dan terkadang masih dalam bentuk tumbuhan yang tidak tercerna secara baik.

Gajah, lanjutnya, menjadi pemicu regenerasi tumbuhan karena biasanya mamalia berukuran tambun ini senang mematahkan bagian batang tertentu sehingga memberi kesempatan dahan dan daun muda muncul.

Dengan kata lain, gajah berperan dalam proses regenerasi hutan, menjadi spesies payung bagi habitatnya dan membantu mempertahankan keragaman hayati dan integritas ekologi dalam ekosistemnya.

Gajah sumatera betina memiliki masa reproduksi empat tahun sekali, dengan lama kehamilan mencapai 18 hingga 23 bulan, dan hanya melahirkan seekor gajah dengan berat lebih kurang mencapai 90 kg.
    
                     Kesempatan terakhir
Sama dengan mamalia lain di Pulau Sumatera seperti harimau sumatera dan badak sumatera, satwa bernama latin Elephas maximus sumatrensis ini juga masuk dalam daftar merah spesies terancam punah (critically endangered) Lembaga Konservasi Dunia (the International Union for Conservation of Nature/IUCN).

Keberadaan satwa ini juga telah dilindungi sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, serta dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Namun, menurut Sunarto, pemberian status spesies terancam punah juga tidak membuat satwa ini diperlakukan istimewa. Sebaliknya, keberadaannya semakin terpojok dengan habitat yang semakin terfragmentasi oleh pengembangan industri bubur kertas dan kertas serta industri kelapa sawit di Sumatera.

Kepala Bidang BKSDA Wilayah II Riau Supartono mengatakan dari sembilan kantong gajah sumatera yang tersisa enam diantaranya berada di delapan kabupaten di Provinsi Riau. Konflik antara gajah dan manusia terjadi di beberapa kantong dalam waktu berdekatan.

Pihak BKSDA Riau, menurut dia, dalam batasan tertentu selalu melibatkan Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas dalam menangani konflik gajah dengan manusia di sana.

Sosialisasi penanganan konflik antara gajah dengan manusia juga dilakukan kepada masyarakat hingga perusahaan, bahkan saat konflik sedang terjadi.

Namun, yang menjadi masalah saat ini, ia mengatakan habitat gajah sudah sangat terganggu. "Jadi kalau kita usir ke sini gajah lari ke sana, diusir di sana lari ke sini".

Tidak bisa hanya sektor kehutanan yang harus menyelesaikan permasalahan ini. Menurut dia, masyarakat hingga perusahaan juga harus peduli, semua harus bergerak menyelesaikan konflik antara gajah dengan manusia.

Supartono mengatakan Balai BKSDA Riau dalam waktu dekat akan berbicara dengan semua pihak terkait, termasuk diantaranya perusahaan pemegang Hak Pengelolaan Hutan, Pemerintah Daerah (Pemda), masyarakat, dan tentu para pemerhati gajah sumatera untuk mencari solusi bersama.

Persoalan utama yang menyebabkan munculnya konflik gajah dengan manusia, menurut dia, yakni masalah pakan alami gajah. ¿Persoalan itu yang akan kita bicarakan bersama, entah bagaimana solusinya¿.

Terkait dengan perburuan liar, Kapolda Riau Brigjen Pol Dolly Bambang Hermawan mengatakan pihaknya terus melakukan kerja sama dengan berbagai pihak untuk mengungkap jaringan pemburu gajah liar, meski hingga saat ini salah satu tersangka yang menjadi penyokong dana perburuan liar belum juga mau mengaku terkait pasar gading gajah yang menjadi jaringannya.

Ia juga menyarankan pengawasan gajah-gajah sumatera juga melibatkan masyarakat. "Justru seharusnya ada warga sekitar lokasi kantong gajah yang diikutsertakan menjadi pengawas. Mereka pasti lebih tahu wilayahnya, selain itu pengawasan jadi tidak akan lowong karena yang mengawasi selalu ada di sana".

Menurut Sunarto, wilayah jelajah gajah sumatera sangat tergantung dengan ketersediaan habitat. "Bagi gajah, kalau hutan ditebang lalu menjadi hutan sawit pun bagus buat mereka, karena makanan jadi tersedia banyak. Tapi itu yang justru kemudian memicu konflik dengan masyarakat karena dua hektare kebun sawit bisa 'dihabiskan' hanya dalam waktu satu jam saja oleh kawanan mereka".

Latar belakang konflik antara Gajah Sumatera dengan manusia yang semakin kerap terjadi, lanjutnya, karena manusia telah "memperkosa" hutan dan lahan di Sumatera. Hutan di Taman Nasional Tesso Nilo pun sudah habis, padahal dulu hutan tersebut dikenal memiliki keanekaragaman hayati terkaya di dunia.

Transmigrasi, Hak Pengelolaan Hutan (HPH), pembalakan liar, perambahan yang menyebabkan degradasi dan deforestasi terjadi di kawasan hutan tersebut tidak direstorasi tetapi justru didiamkan karena bagus ditanami akasia. Karena itu pula, ia mengatakan pada 2009 lebih banyak lagi titik populasi gajah sumatera yang hilang.

"Jadi, kalau tidak direspons sekarang semua akan terlambat, Gajah Sumatera mungkin akan benar-benar tinggal nama," ujar Sunarto.

Pewarta: Virna Puspa Setyorini

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015