Peneliti di China memperkirakan kasus pandemi COVID-19 secara global akan mengalami puncaknya setelah dua pekan mendatang seiring dengan tren yang terjadi di Eropa.

Pandemi di Eropa menjadi indikator utama peningkatan kasus global, demikian Liang Manchun dari Lembaga Penelitian Keamanan Publik di Tsinghua University, Beijing, Sabtu.

Menurut dia, beberapa negara di Eropa gagal mengintensifkan upaya pencegahan dan pengendalian seperti di China sehingga beberapa negara mengalami peningkatan kasus.

Menghadapi kemunculan kembali kasus itu lebih sulit karena proporsi kasus positif COVID-19 di Eropa lebih tinggi dan kemungkinan virus bertahan hidup terus bertambah, jelas dia.

"Perlindungan personal dan pembatasan secara nasional dalam menghadapi pandemi sangatlah penting," ujarnya dikutip media setempat.

Data Johns Hopkins University, Jumat (23/10), menunjukkan bahwa jumlah kasus positif di dunia mencapai 42.147.237. Dari jumlah tersebut angka kematiannya mencapai 1.143.467 kasus.

Liang memprediksi kasus positif di Amerika Serika setelah sepekan ke depan akan mengalami puncak dengan jumlah 90.000 kasus per hari melampaui puncak yang terjadi pada bulan Juni.

Wakil Direktur Jurusan Biologi Patogen pada Wuhan University, Yang Zhanqiu, mengingatkan China perlu meningkatkan kewaspadaan terkait kasus impor karena puncak pandemi global tidak terelakkan.

Dia menjelaskan bahwa pola penyebaran virus di negara lain berbeda dengan di China karena gennya juga bervariasi.

"Kalau kasus impor tidak dicegah dan dikendalikan, maka akan menjadi penyebab munculnya gelombang kedua di China," ujarnya.

Meskipun demikian, dia mengingatkan masyarakat tidak perlu panik karena langkah-langkah anti-epidemi di China relatif berjalan dengan baik.

Pewarta: M. Irfan Ilmie

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020