Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menambahkan kuota umum dan mengurangi kuota belajar untuk siswa dan guru dalam bantuan kuota internet bagi pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ).

"Hal ini untuk lebih memaksimalkan penggunaan bantuan kuota internet bagi pelaksanaan PJJ dan akan sangat membantu para siswa dan orangtua dalam PJJ secara daring," kata Komisioner Bidang Pendidikan KPAI Retno Listyarti melalui keterangan pers, Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan dorongan tersebut disampaikan berdasarkan fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa para guru dan siswa lebih sering menggunakan kuota umum untuk mengakses aplikasi seperti WhatsApp (WA), unduhan video, pencarian di Google, dan media sosial selama melakukan PJJ.

Sementara itu, kuota belajar yang dapat mengakses platform belajar lebih sedikit digunakan selama pelaksanaan PJJ.

Kemendikbud, katanya, menggelontorkan anggaran hingga Rp7 Trilyun lebih untuk memberikan paket kuota internet kepada siswa dan guru jenjang PAUD/TK sampai SMA/SMK, juga kepada mahasiswa dan dosen di Perguruan Tinggi.

Adapun ketentuannya adalah paket kuota internet untuk peserta didik PAUD mendapatkan 20 GB per bulan dengan rincian 5 GB untuk kuota umum dan kuota belajar 15 GB. Peserta didik jenjang pendidikan dasar dan menengah mendapatkan 35 GB per bulan dengan rincian 5 GB untuk kuota umum dan kuota belajar 30 GB.

Sementara itu paket kuota internet untuk pendidik pada PAUD dan jenjang pendidikan dasar dan menengah mendapatkan 42 GB per bulan dengan rincian 5 GB kuota umum dan 37 GB kuota belajar.

Paket kuota internet untuk mahasiswa dan dosen mendapatkan 50 GB per bulan dengan rincian 5 GB kuota umum dan 45 GB kuota belajar.

Kuota umum sebesar 5 GB, menurut Retno, kemungkinan tidak cukup mengingat selama ini penggunaan platform belajar lebih rendah dibandingkan penggunaan aplikasi WhatsApp, unduhan video, pencarian google, dan media sosial.

Berdasarkan survey KPAI terhadap PJJ siswa pada April 2020, PJJ secara daring didominasi oleh penugasan melalui aplikasi WhatsApp, email dan media sosial lain seperti Instagram (IG).

Adapun rinciannya adalah sebanyak 87,2 persen responden melakukan interaksi PJJ secara daring melalui chating dengan aplikasi WA, Line, Telegram, atau Instagram (IG), 20,2 persen menggunakan zoom meeting, 7,6 persen video call WA dan telepon hanya 5,2 persen.

Baca juga: Wifi gratis di Kota Bogor membantu pelajar ikuti PJJ

Itu artinya, kata Retno, mayoritas responden menggunakan aplikasi yang justru lebih membutuhkan kuota umum. Aplikasi seperti Zoom meeting malah hanya digunakan para guru sebanyak 20 persen dari total 1700 responden siswa.

Hasil survey PJJ siswa juga menunjukkan bahwa penugasan yang paling tidak disukai siswa adalah membuat video dan foto, selain membutuhkan memori besar di gadget, juga membutuhkan kuota besar saat mengirim melalui aplikasi WA guru ataupun media sosial lainnya.

Pengiriman ataupun menerima video kiriman, semuanya butuh kuota besar, sehingga 5 persen kuota umum, menurut Retno, terlalu sedikit. Dari survey KPAI tersebut, penugasan mengirim video mencapai 55 persen dari 1700 responden.

Dari survey PJJ siswa yang dilakukan KPAI, hanya 43,3 persen guru yang menggunakan platform. Dari jumlah tersebut, 65 persen di antaranya menggunakan Google classroom, 24,5 persen menggunakan platform Ruang Guru, Rumah Belajar, Zenius dan Zoom. Sedangkan 10 persen menggunakan aplikasi WhatsApp.

“Kuota belajar dalam paket yang diberikan kepada para peserta didik berdasarkan apa spesifikasinya? Apakah aplikasi yang sudah menjadi partner Kemdikbud atau kah semua aplikasi dapat dipergunakan dengan tidak terikat pada provider tertentu, sehingga peserta didik dapat memanfaatkan paket belajar?," kata Retno menekankan.

Baca juga: Human initiative hadirkan rumah belajar online untuk bantu anak prasejahtera

Jika kuota belajar minim pemakaiannya padahal kuotanya besar, maka hal itu, menurut dia, perlu disiasati agar uang negara dapat dioptimalkan dalam membantu PJJ daring.

Untuk itu, ia menyarankan agar provider mengeluarkan kartu yang khusus untuk pelajar dan penggunaannya fleksibel sesuai kebutuhan pembelajaran.

"Jadi kartu tersebut hanya digunakan untuk siswa dan tidak diperjualbelikan. Akan lebih baik jika provider mengeluarkan kartu baru yang sudah aktif dengan masa berlaku 1-3-6 bulan dan aktivasi provider dengan kuota khusus siswa. Dengan demikian siswa dapat menggunakan kartu baru tersebut untuk belajar," katanya.

Sementara itu, pembagian kartu bisa disalurkan ke sekolah, dan untuk pengambilannya dapat diwakili oleh orangtua siswa, dan waktunya digilir per hari agar tidak menimbulkan kerumunan dan semuanya dilaksanakan dengan mematuhi protokol kesehatan.
 

Pewarta: Katriana

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020