Ketua tim peneliti Universitas Indonesia (UI) untuk Ketahanan Pangan Cianjur– Kota Depok Dr. Taufik Asmiyanto mengatakan pola penanganan pasca panen akan menentukan kualitas produk sayur-mayur pada titik akhir di dapur pebisnis kuliner maupun keluarga masyarakat.
"Rantai pasok produk pangan khususnya hortikultura cenderung khas dibandingkan dengan rantai pasok produk dan jasa lainnya," kata Taufik dalam keterangannya, Jumat.
Dalam kunjangannya di Desa Cibeureum Kabupaten Cianjur Jawa Barat, Taufik menjelaskan bahwa perencanaan untuk keadaan darurat pangan yang mengancam hajat hidup orang banyak (Disaster Recovery Planning) tidak bisa dilepaskan dari pemodelan Business Continuity Plan (BCP).
Baca juga: UI kembali peroleh dana riset COVID-19 tahap kedua sebesar Rp3,1 miliar
"Sebelumnya kami juga sudah melakukan diskusi dengan para stakeholder di Kota Depok yang memerlukan kepastian pasokan dan kualitas keamanan pangan," ujar Taufik yang telah melakukan diskusi bersama pemerintah dan gabungan kelompok tani (Gapoktan) di Desa Cibeurum, Kecamatan Cugenang - Cianjur.
Pandemi COVID-19 di Indonesia belum juga memberikan sinyal kapan akan berakhir. Pada saat yang sama resesi ekonomi dan isu ketahanan pangan mencuat menjadi potensi masalah yang tidak kalah mencekam. Berbagai kajian daring dan penelitian sejumlah akademisi mensinyalir timbulnya rawan pangan manakala pemerintah dan masyarakat telat merespons.
Riset Ketahanan Pangan Cianjur – Kota Depok tahun 2020 ini didukung oleh Universitas Indonesia dan Fusi Foundation untuk memotret kondisi nyata di sisi supply and demand.
Baca juga: UI gandeng Facebook dalam pemanfaatan big data untuk riset COVID-19
Ketua Fusi Foundation Ahmad Fitrianto menegaskan tata kelola rantai pasok produk hortikultura harus dilakukan secara sinergis antara Kabupaten Cianjur sebagai sentra produksi dan Kota Depok sebagai pasar potensial untuk menjaga keseimbangan distribusi pangan dengan pola kerjasama antardaerah.
"Sejauh ini hasil dari diskusi yang sudah dilakukan di dua daerah tersebut adalah kejelasan informasi permintaan sayuran dari daerah pemasaran serta kemampuan produksi dan suplai dari daerah penghasil sayuran," katanya.
Sementara itu Kepala Desa Cibeurum Asep Nahdoh menyambut positif perhatian Universitas Indonesia yang melaksanakan riset ketahanan pangan di daerahnya. "Kami berharap keluaran riset ini dapat bermanfaat bagi para petani di Desa Cibeureum untuk meningkatkan taraf hidup mereka karena adanya kepastian pembelian hasil panen dengan harga yang menguntungkan," katanya.
Ketua Gapoktan Desa Cibeurum, Yetno, mengeluhkan rantai pasok produk pertanian terlalu panjang dan pada akhirnya selalu merugikan petani.
Baca juga: UI diakui sebagai perguruan tinggi riset dunia
"Produk pertanian terdampak serius oleh COVID-19 karena distribusi terputus akibat kebijakan pembatasan sosial (physical distancing). Sejumlah jenis sayuran sepi peminat dan gagal terjual karena harga jual dari petani sangat rendah, misalnya harga pakcoy sekarang hanya sebesar Rp300 per kilogram yang sangat mencekik petani," ujar Yetno.
Hal serupa dikatakan oleh Samsul selaku petani milenial yang memandang perlu terobosan teknologi informasi yang mendekatkan petani di desa dan konsumen baik usaha maupun keluarga di Kota.
"Bukan sekedar marketplace, tim pemasar dan distribusi berbasis komunitas mutlak diperlukan agar produk sayur-mayur cepat sampai di konsumen dalam kondisi baik," papar Samsul yang pernah magang di industri pertanian Jepang.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
"Rantai pasok produk pangan khususnya hortikultura cenderung khas dibandingkan dengan rantai pasok produk dan jasa lainnya," kata Taufik dalam keterangannya, Jumat.
Dalam kunjangannya di Desa Cibeureum Kabupaten Cianjur Jawa Barat, Taufik menjelaskan bahwa perencanaan untuk keadaan darurat pangan yang mengancam hajat hidup orang banyak (Disaster Recovery Planning) tidak bisa dilepaskan dari pemodelan Business Continuity Plan (BCP).
Baca juga: UI kembali peroleh dana riset COVID-19 tahap kedua sebesar Rp3,1 miliar
"Sebelumnya kami juga sudah melakukan diskusi dengan para stakeholder di Kota Depok yang memerlukan kepastian pasokan dan kualitas keamanan pangan," ujar Taufik yang telah melakukan diskusi bersama pemerintah dan gabungan kelompok tani (Gapoktan) di Desa Cibeurum, Kecamatan Cugenang - Cianjur.
Pandemi COVID-19 di Indonesia belum juga memberikan sinyal kapan akan berakhir. Pada saat yang sama resesi ekonomi dan isu ketahanan pangan mencuat menjadi potensi masalah yang tidak kalah mencekam. Berbagai kajian daring dan penelitian sejumlah akademisi mensinyalir timbulnya rawan pangan manakala pemerintah dan masyarakat telat merespons.
Riset Ketahanan Pangan Cianjur – Kota Depok tahun 2020 ini didukung oleh Universitas Indonesia dan Fusi Foundation untuk memotret kondisi nyata di sisi supply and demand.
Baca juga: UI gandeng Facebook dalam pemanfaatan big data untuk riset COVID-19
Ketua Fusi Foundation Ahmad Fitrianto menegaskan tata kelola rantai pasok produk hortikultura harus dilakukan secara sinergis antara Kabupaten Cianjur sebagai sentra produksi dan Kota Depok sebagai pasar potensial untuk menjaga keseimbangan distribusi pangan dengan pola kerjasama antardaerah.
"Sejauh ini hasil dari diskusi yang sudah dilakukan di dua daerah tersebut adalah kejelasan informasi permintaan sayuran dari daerah pemasaran serta kemampuan produksi dan suplai dari daerah penghasil sayuran," katanya.
Sementara itu Kepala Desa Cibeurum Asep Nahdoh menyambut positif perhatian Universitas Indonesia yang melaksanakan riset ketahanan pangan di daerahnya. "Kami berharap keluaran riset ini dapat bermanfaat bagi para petani di Desa Cibeureum untuk meningkatkan taraf hidup mereka karena adanya kepastian pembelian hasil panen dengan harga yang menguntungkan," katanya.
Ketua Gapoktan Desa Cibeurum, Yetno, mengeluhkan rantai pasok produk pertanian terlalu panjang dan pada akhirnya selalu merugikan petani.
Baca juga: UI diakui sebagai perguruan tinggi riset dunia
"Produk pertanian terdampak serius oleh COVID-19 karena distribusi terputus akibat kebijakan pembatasan sosial (physical distancing). Sejumlah jenis sayuran sepi peminat dan gagal terjual karena harga jual dari petani sangat rendah, misalnya harga pakcoy sekarang hanya sebesar Rp300 per kilogram yang sangat mencekik petani," ujar Yetno.
Hal serupa dikatakan oleh Samsul selaku petani milenial yang memandang perlu terobosan teknologi informasi yang mendekatkan petani di desa dan konsumen baik usaha maupun keluarga di Kota.
"Bukan sekedar marketplace, tim pemasar dan distribusi berbasis komunitas mutlak diperlukan agar produk sayur-mayur cepat sampai di konsumen dalam kondisi baik," papar Samsul yang pernah magang di industri pertanian Jepang.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020