Jakarta, (Antaranews Bogor) - Relawan Indonesia yang menetap di Jalur Gaza, Palestina, Abdillah Onim menyatakan warga setempat mengimbau otoritas Mesir segera membuka pintu perbatasan Rafah.

"Membuka pintu Rafah adalah demi kelangsungan hidup anak-anak dan warga Gaza, khususnya nasib para pasien di rumah sakit yang harus dirujuk ke Mesir," katanya saat menghubungi Antara dari Gaza, Sabtu sore.

Abdillah Onim, sebelumnya adalah relawan organisasi kegawatdaruratan kesehatan, Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) Indonesia yang menikah dengan Muslimah Palestina dan kemudian menetap di Gaza hingga saat ini.

Ia menjelaskan pada Jumat (16/1) ratusan warga Gaza melaksanakan shalat Jumat di depan pintu Rafah.

Rafah adalah pintu perlintasan masuk dari Gaza menuju Mesir dan sebaliknya, di mana untuk kegiatan keluar-masuk tidak melalui pemeriksaan Israel.

Ratusan warga Gaza dimaksud melaksanakan shalat Jumat persis di depan pintu Rafah.

Setelah melaksanakan shalat Jumat, kemudian warga melakukan demonstrasi mengimbau otoritas Mesir agar segera membuka pintu Rafah demi kelangsungan hidup warga Gaza.

Abdillah Onim menambahkan pemerintah Palestina di Jalur Gaza, belum lama ini juga secara resmi meliburkan seluruh aktivitas instansi pemerintahan.

Keputusan peliburan tersebut disebabkan oleh cuaca dingin ekstrem yang melanda wilayah Palestina, khususnya Jalur Gaza.

Sebelumnya wilayah Timur Tengah dilanda oleh badai salju "Huda" yang menyusuri negara negara Arab termasuk Yordania, Libanon, Suriah dan Palestina.

Ia menyebutkan Badan Meteorologi dan Cuaca Yordania memprediksi badai musim dingin tersebut akan terus menyelimuti wilayah Timur Tengah untuk beberapa hari ke depan.

Bagi warga Gaza, kedatangan badai Huda dengan suhu dingin ekstremnya semakin menambah beban dan penderitaan yang mereka alami, karena sebelumnya tentara Israel menghancurleburkan wilayah tersebut dalam agresi militer yang dilancarkan pada pertengahan tahun lalu.

Onim menyebutkan, beberapa waktu lalu Rumah Sakit (RS) Syifa, yang merupakan rumah sakit terbesar di Jalur Gaza mengalami krisis makanan dan obat-obatan bagi pasiennya.

RS itu pertama kali dibangun pada 1942, dan baru kali ini mereka mengalami kondisi krisis yaitu 1.200 orang pasien kekurangan makanan.

Perusahaan yang dulunya bekerja sama dengan manajemen RS itu, katanya, terpaksa gulung tikar karena pihak RS Syifa kewalahan menutupi biaya konsumsi atau makanan sehari-hari bagi pasien yang dirawat.

Kondisi yang dialami oleh pihak Rumah Sakit Syifa, kendala utamanya adalah semakin berkurangnya donasi yang mereka terima.

Selain itu, masih ditambah lagi dengan kondisi pintu perbatasan Rafah yang hingga kini belum dibuka.

Untuk mencegah terjadi kekurangan makanan kian berlanjut bagi pasien, katanya, mereka butuh dana untuk membeli bahan makanan bagi pasien.

Tentu saja, hal itu harus melalui kerja sama dengan perusahaan pemasok makanan untuk pasien di RS Syifa.

Onim menambahkan selain krisis makanan, mereka juga sedang mengalami krisis obat-obatan.

"Jadi, sekali lagi mari ulurkan tangan untuk membantu krisis kemanusiaan yang berlangsung di Jalur Gaza, Palestina ini," katanya.

Pewarta: Andi Jauhari

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015