Jakarta, (Antaranews Bogor) - Pembantu Ketua IV Sekolah Tinggi Terpadu Nurul Fikri Drs Sapto Waluyo, M.Sc menyatakan generasi muda serumpun perlu berkolaborasi memajukan kawasan Asia Tenggara dengan berbagai inovasi dan kreativitas menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.

"Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan berlaku 2015 merupakan peluang tapi sekaligus tantangan karena kondisi negara yang berbeda-beda, maka generasi muda di Indonesia, Malaysia dan Singapura perlu bekerja sama," katanya di Jakarta, Kamis.

Ia menjelaskan simpulan itu mencuat dalam dialog publik internasional yang digelar KAMMI Daerah NTB dan BEM Universitas Mataram bekerja sama dengan "Center for Indonesian Reform" (CIR) dan Yayasan Generasi Baru Nusantara di Graha Bhakti Praja, Mataram, pekan lalu.

Dalam kegiatan itu dihadirkan sejumlah narasumber di antaranya Asisten Gubernur NTB Dr Rosyiadi Sayuti, Sekretaris Menteri Keuangan Malaysia Ezam Mohammad Noor, CEO Asian Leaders Institute, Singapura Nailul Hafiz, dan Sapto Waluyo sendiri.

Sapto mengungkapkan kemajuan teknologi informasi membuka peluang lebih besar.

Karena itu, kata dia, kaum muda di Lombok atau Sumbawa bisa berpartisipasi dalam beragam kompetisi melalui jalur "online".

"Kita baru saja mendengar anak muda Bandung yang memenangkan lomba bisnis pemula (start up) di Belanda dan mendapat hadiah modal 1 juta euro," katanya.

Idenya, kata dia, sederhana yakni membantu para peternak ikan dalam mengontrol pakan dengan bantuan smartphone (e-Fishery).

Contoh lainnya, kata dia, seperti penulis muda Indonesia Helvy Tiana Rosa dan Habiburrahman Elshirazy juga sering diundang ke beberapa negara ASEAN karena karya mereka dinikmati oleh pembaca

Melayu.

"Kreativitas tanpa batas. Kita tak hanya menjadi konsumen dari produk asing, tapi tampil sebagai produsen untuk barang, jasa atau ide yang bermanfaat bagi pasar global," kata alumni Hubungan Internasional Fisip Universitas Airlangga (Unair), yang menamatkan S-2 di S Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Kampus Nanyang Technological University (NTU) Singapura itu.

"Jadi, sudah saatnya kaum muda ASEAN bersatu untuk mewujudkan kesejahteraan bersama," tambahnya.

Sementara itu, Nailul Hafiz mengungkapkan gagasan MEA muncul setelah negara ASEAN merasakan dampak krisis yang berat pada 1997-1998.

Dalam kondisi semacam itu, kata dia, tidak ada satu negara pun yang dapat bertahan sendirian.

"Karena itu, pada 2005 muncul proposal MEA 2015 untuk membangun pasar bersama menghadapi kekuatan ekonomi yang baru bangkit Tiongkok dan India. Dengan MEA diperkirakan proses produksi negara-negara ASEAN akan lebih efisien hingga 20 persen dan potensi ekspor meningkat," katanya.

Namun, ia mengakui ternyata tidak mudah mewujudkan MEA. Banyak negara yang belum siap seperti Myanmar, Kamboja atau Laos.

"Bahkan, PM Singapura sendiri masih ragu apakah MEA dapat dilaksanakan tepat waktu, karena banyak regulasi yang harus disesuaikan di negara masing-masing," katanya.

Di samping itu, kata Nailul yang sudah berkeliling ke beberapa negara ASEAN untuk meningkatkan kapasitas masyarakat melalui program "Initiative for ASEAN Integration", butuh pula membangun Sekretariat

ASEAN yang benar-benar kapabel dan efektif mengawasi pelaksanaan agenda, sehingga membutuhkan energi.

Sementara Ezam M. Noor melihat faktor budaya sebagai kekuatan pemersatu yang tidak boleh terkalahkan persaingan ekonomi.

"Kita memiliki budaya Melayu dan agama Islam yang mayoritas di kawasan. Karena itu, realisasi MEA tak bisa dipisahkan dari komunitas sosial-budaya ASEAN, dan pada akhirnya mendukung komunitas politik-keamanan yang stabil," katanya.

"Dengan memahami potensi masing-masing, kita bisa tumbuh bersama," tambah Ezam yang pernah menjadi anggota Dewan Negara (parlemen) Malaysia.

Ezam mendorong generasi muda agar mengembangkan hubungan "people to people" karena MEA tidak hanya menjadi urusan pemerintah atau korporat swasta.

"Jangan sampai perbedaan kecil atau miskomunikasi menyebabkan kegaduhan antarnegara," katanya.

Untuk itu, kata Ezam yang pernah berinisiatif menyelenggarakan "Nusantara Leadership Camp" di Jakarta (2013) dan Kuala Lumpur (2014), diperlukan upaya menjaga kawasan yang damai, sebab terbukti konflik seperti di Timur Tengah atau Eropa Timur telah memubazirkan potensi untuk maju dan sejahtera.

Sedangkan Rosyiadi Sayuti sepakat dengan pembicara lain, semua komponen negara harus siap bekerja sama dan menyelesaikan perbedaan kepentingan.

Khusus kepada kaum muda di NTB, pihaknya mendorong untuk meningkatkan keahlian di berbagai bidang dan kemampuan berkomunikasi, terlebih lagi bahasa asing.

"Dengan modal itu, nanti akan berperan sebagai pelaku, bukan hanya penonton dalam pasar bersama ASEAN," demikian Rosyiadi Sayuti.

Pewarta: Andi Jauhari

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014