Jakarta, (Antaranews Bogor) - Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) sebagai LSM berbasis ilmu dan teknologi membuka kantor cabang di Stuttgart, Jerman.
"Ketua Umum MITI Dr Warsito P Taruno hari ini meresmikan langsung kantor cabang di Jerman itu," kata Humas MITI Muarif kepada Antara di Jakarta, Minggu.
Warsito P Taruno menjelaskan sebagai salah satu kiblat teknologi dunia, Jerman menjadi negara pertama yang dibidik MITI untuk membuka kantor cabangnya.
Pembukaan cabang itu, kata dia, bertujuan menjembatani hasil riset para ilmuwan dan teknolog agar dapat diaplikasikan untuk menjawab kebutuhan dan mensejahterakan rakyat.
Ia mengemukakan tidak bisa pungkiri, banyak teknologi Jerman yang menguasai pasar dunia.
"Karenanya, kita perlu belajar banyak dari Jerman soal ini. Untuk lebih mempermudahnya, kita buka cabang di Jerman," katanya.
Menurut dia, para pengurus cabang Jerman yang diketuai kandidat doktor Johar Ciptokusumo tersebut rata-rata ilmuwan dan teknolog Indonesia yang tengah belajar dan atau bekerja di Jerman.
Mereka, katanya, bisa menjadi jembatan dalam mempermudah akses ke pusat-pusat teknologi Jerman, baik dalam transfer teknologi maupun manajemen teknologi yang dibutuhkan masyarakat Indonesia.
Seiring dengan itu, saat ini tidak kurang dari sembilan pengurus MITI sedang ada di Jerman untuk mempelajari sistem dan manajemen Kantor Transfer Teknologi (KTT).
Mereka belajar di Steinbeis Head Quarter, Stuttgart, Jerman, sejak sepekan lalu.
Delegasi yang terdiri atas seluruh manajer operasional MITI pusat itu akan belajar dan mendiskusikan konsep KTT yang sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia hingga pertengahan November mendatang.
Warsito menyebut salah satu permasalahan yang membelit kemajuan teknologi di Indonesia adalah belum menyebarnya hasil penelitian kepada masyarakat secara maksimal.
Padahal, kata dia, teknologi yang telah dihasilkan dapat menjadi potensi untuk mensejahterakan rakyat.
"Banyak pihak belum menyadari bahwa banyak produk berteknologi yang dihasilkan industri di Indonesia hanya sekadar rakitan produk teknologi luar. Padahal, dari segi kemampuan, ilmuwan dan teknolog Indonesia memiliki kemampuan. Tak sedikit di antara mereka yang sudah dikenal menjadi tokoh berkelas dunia," katanya.
Ia menjelaskan MITI merupakan lembaga yang bergerak dalam pemanfaatan teknologi untuk kebutuhan masyarakat.
Tugas utama MITI ialah menjembatani hasil riset yang dilakukan oleh para ilmuwan dan teknolog agar dapat diaplikasikan untuk menjawab kebutuhan dan mensejahterakan rakyat.
Dalam upaya tersebut, MITI melakukan kerja sama dengan Steinbeis.
Steinbeis adalah lembaga independen dalam bidang teknologi yang telah lebih dari tiga puluh tahun berkompeten menangani transfer teknologi.
Steinbeis telah memiliki jaringan di banyak negara dunia, termasuk Malaysia, Jepang, dan India.
Sasar UMKM
Sementara itu, Direktur Business Technology Incubation Center (BTIC) MITI Dr Sri Harjanto (Assoc. Prof) mengatakan masih sedikit kesesuaian antara kebutuhan industri dengan hasil-hasil riset yang dihasilkan oleh para ilmuwan dan teknolog.
Saat ini, katanya, para peneliti terutama yang berasal dari perguruan tinggi melakukan penelitian lebih berorientasi pada keinginan untuk menemukan atau menciptakan teknologi dan membuat publikasi ilmiah, belum sepenuhnya berorientasi pada kebutuhan industri dan masyarakat.
Menurut Harjanto --ilmuwan yang juga menjabat Kepala Departemen Teknik Metalurgi dan Material Fakultas Tekni UI-- juga menambahkan KTT yang akan didirikan MITI di Indonesia mengusung konsep budaya lokal dengan menyasar kepada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
"Mereka lebih membutuhkan sentuhan teknologi dan mudah penerimaannya dalam mengadopsi teknologi yang kita sarankan," katanya.
Ia menambahkan pengiriman seluruh manajer operasional MITI ke Jerman untuk mendapatkan pelatihan tersebut seluruhnya dibiayai oleh Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) RI melalui skema program Riset-Pro.
Pasca-pelatihan, katanya, MITI akan membangun KTT pertama di Indonesia yang berasal dari inisiatif dalam negeri.
KTT ini akan membantu para peneliti dan industri menyamakan persepsi kebutuhan dan mengembangkan litbang di Indonesia.
MITI, katanya, memiliki banyak jaringan peneliti dan industri baik di dalam maupun luar negeri.
Di dalam negeri saja, MITI memiliki anggota lebih dari 300 ilmuwan dan teknolog di berbagai bidang.
Potensi pengembangan industri dari dalam negeri tentu akan menjadi lebih kuat dengan kemampuan ilmuwan dan teknolog dalam negeri ini, demikian Sri.
Kerja sama pembangunan KTT pertama di Indonesia ini telah diinisasi sejak akhir 2013 ditandai dengan
hadirnya pihak Steinbeis di Indonesia pada MITI Forum April silam dan penandatanganan MoU dua bulan
setelahnya.
KTT yang akan didirikan MITI ini memberikan pelayanan Active Short Consultancy (layanan konsultansi ringkas) dan Special Consultancy (layanan konsultansi khusus) kepada para pemegang kebijakan industri, praktisi, dan pebisnis di berbagai bidang yang membutuhkan sentuhan industri.
Para pemangku kepentingan dapat langsung menghubungi MITI jika mengalami kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan mengenai teknologi yang mereka alami untuk diberikan bantuan konsultasi, demikian Sri Harjanto.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014
"Ketua Umum MITI Dr Warsito P Taruno hari ini meresmikan langsung kantor cabang di Jerman itu," kata Humas MITI Muarif kepada Antara di Jakarta, Minggu.
Warsito P Taruno menjelaskan sebagai salah satu kiblat teknologi dunia, Jerman menjadi negara pertama yang dibidik MITI untuk membuka kantor cabangnya.
Pembukaan cabang itu, kata dia, bertujuan menjembatani hasil riset para ilmuwan dan teknolog agar dapat diaplikasikan untuk menjawab kebutuhan dan mensejahterakan rakyat.
Ia mengemukakan tidak bisa pungkiri, banyak teknologi Jerman yang menguasai pasar dunia.
"Karenanya, kita perlu belajar banyak dari Jerman soal ini. Untuk lebih mempermudahnya, kita buka cabang di Jerman," katanya.
Menurut dia, para pengurus cabang Jerman yang diketuai kandidat doktor Johar Ciptokusumo tersebut rata-rata ilmuwan dan teknolog Indonesia yang tengah belajar dan atau bekerja di Jerman.
Mereka, katanya, bisa menjadi jembatan dalam mempermudah akses ke pusat-pusat teknologi Jerman, baik dalam transfer teknologi maupun manajemen teknologi yang dibutuhkan masyarakat Indonesia.
Seiring dengan itu, saat ini tidak kurang dari sembilan pengurus MITI sedang ada di Jerman untuk mempelajari sistem dan manajemen Kantor Transfer Teknologi (KTT).
Mereka belajar di Steinbeis Head Quarter, Stuttgart, Jerman, sejak sepekan lalu.
Delegasi yang terdiri atas seluruh manajer operasional MITI pusat itu akan belajar dan mendiskusikan konsep KTT yang sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia hingga pertengahan November mendatang.
Warsito menyebut salah satu permasalahan yang membelit kemajuan teknologi di Indonesia adalah belum menyebarnya hasil penelitian kepada masyarakat secara maksimal.
Padahal, kata dia, teknologi yang telah dihasilkan dapat menjadi potensi untuk mensejahterakan rakyat.
"Banyak pihak belum menyadari bahwa banyak produk berteknologi yang dihasilkan industri di Indonesia hanya sekadar rakitan produk teknologi luar. Padahal, dari segi kemampuan, ilmuwan dan teknolog Indonesia memiliki kemampuan. Tak sedikit di antara mereka yang sudah dikenal menjadi tokoh berkelas dunia," katanya.
Ia menjelaskan MITI merupakan lembaga yang bergerak dalam pemanfaatan teknologi untuk kebutuhan masyarakat.
Tugas utama MITI ialah menjembatani hasil riset yang dilakukan oleh para ilmuwan dan teknolog agar dapat diaplikasikan untuk menjawab kebutuhan dan mensejahterakan rakyat.
Dalam upaya tersebut, MITI melakukan kerja sama dengan Steinbeis.
Steinbeis adalah lembaga independen dalam bidang teknologi yang telah lebih dari tiga puluh tahun berkompeten menangani transfer teknologi.
Steinbeis telah memiliki jaringan di banyak negara dunia, termasuk Malaysia, Jepang, dan India.
Sasar UMKM
Sementara itu, Direktur Business Technology Incubation Center (BTIC) MITI Dr Sri Harjanto (Assoc. Prof) mengatakan masih sedikit kesesuaian antara kebutuhan industri dengan hasil-hasil riset yang dihasilkan oleh para ilmuwan dan teknolog.
Saat ini, katanya, para peneliti terutama yang berasal dari perguruan tinggi melakukan penelitian lebih berorientasi pada keinginan untuk menemukan atau menciptakan teknologi dan membuat publikasi ilmiah, belum sepenuhnya berorientasi pada kebutuhan industri dan masyarakat.
Menurut Harjanto --ilmuwan yang juga menjabat Kepala Departemen Teknik Metalurgi dan Material Fakultas Tekni UI-- juga menambahkan KTT yang akan didirikan MITI di Indonesia mengusung konsep budaya lokal dengan menyasar kepada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
"Mereka lebih membutuhkan sentuhan teknologi dan mudah penerimaannya dalam mengadopsi teknologi yang kita sarankan," katanya.
Ia menambahkan pengiriman seluruh manajer operasional MITI ke Jerman untuk mendapatkan pelatihan tersebut seluruhnya dibiayai oleh Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) RI melalui skema program Riset-Pro.
Pasca-pelatihan, katanya, MITI akan membangun KTT pertama di Indonesia yang berasal dari inisiatif dalam negeri.
KTT ini akan membantu para peneliti dan industri menyamakan persepsi kebutuhan dan mengembangkan litbang di Indonesia.
MITI, katanya, memiliki banyak jaringan peneliti dan industri baik di dalam maupun luar negeri.
Di dalam negeri saja, MITI memiliki anggota lebih dari 300 ilmuwan dan teknolog di berbagai bidang.
Potensi pengembangan industri dari dalam negeri tentu akan menjadi lebih kuat dengan kemampuan ilmuwan dan teknolog dalam negeri ini, demikian Sri.
Kerja sama pembangunan KTT pertama di Indonesia ini telah diinisasi sejak akhir 2013 ditandai dengan
hadirnya pihak Steinbeis di Indonesia pada MITI Forum April silam dan penandatanganan MoU dua bulan
setelahnya.
KTT yang akan didirikan MITI ini memberikan pelayanan Active Short Consultancy (layanan konsultansi ringkas) dan Special Consultancy (layanan konsultansi khusus) kepada para pemegang kebijakan industri, praktisi, dan pebisnis di berbagai bidang yang membutuhkan sentuhan industri.
Para pemangku kepentingan dapat langsung menghubungi MITI jika mengalami kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan mengenai teknologi yang mereka alami untuk diberikan bantuan konsultasi, demikian Sri Harjanto.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014