Depok (ANTARA) - Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens mengusulkan adanya repatriasi secara bertahap terkait rencana Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk memulangkan 660 warga Indonesia yang tergabung dengan gerakan ISIS di Timur Tengah.
"Repatriasi warga eks ISIS itu bagian dari pertanggungjawaban kemanusiaan yang mesti dipikul oleh negara. Kita semua mengutuk keberpihakan mereka pada ideologi dan gerakan teroris, tetapi bagaimanapun mereka juga warga negara yang memiliki hak asasi yang di dalamnya negara secara etis dituntut memberikan perlindungan," kata Boni dalam keterangan tertulisnya, Kamis.
Boni mengatakan sebelum dilakukan repatriasi perlu ada studi demografik yang komprehensif tentang keluarga eks ISIS, siapa yang secara ideologis paling radikal, siapa yang hanya ikut dan menjadi korban dari keputusan suami atau ayah, dan seterusnya.
Dari situ, negara dapat membuat skala yang mengelompokkan mereka berdasarkan derajat keberbahayaan atau tingkat bahaya yang mungkin mereka timbulkan. Repatriasi akan berkaitan dengan itu semua.
Boni mengatakan repatriasi bertahap tersebut yaitu Pertama, para eks ISIS ini dilokalisasi di suatu tempat seperti warga yang datang dari Cina ditampung di Natuna untuk redoktrinasi nilai-nilai dasar tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam bingkai NKRI.
Baca juga: Mahfud MD tidak setuju pemulangan 660 WNI bekas anggota ISIS
Perlu ada proyek semacam "cuci ulang otak" sebelum mereka boleh bergabung dalam kehidupan sosial dengan masyarakat yang lain.
Ideologi teroris itu bukan hal yang sederhana untuk dikikis atau dinetralisir. Butuh waktu. Untuk itu, mesti ada regulasi yang jelas dari pemerintah tentang bagaimana proses redoktrinasi sebagai langkah awal dari tahapan repatriasi.
Kedua, setelah "cuci otak" berhasil dilaksanakan, para warga eks ISIS ini mesti diberi kepastian tentang mata pencaharian, ruang sosial tempat mereka akan tinggal di tanah air. Akan sangat problematik kalau mereka kembali tinggal di kampung asal mereka. Hal itu merugikan diri sendiri sekaligus masyarakat di sekitarnya.
Stigma sebagai teroris akan terus menjadi aib yang merusak kebahagiaan hidup mereka di tengah masyarakat. Masyarakat juga akan selalu waspada dan curiga.
Kehidupan macam itu akan sangat rumit. Untuk itu, perlu ada pemukiman khusus untuk mereka dengan sumber pencaharian yang jelas yang sudah dirancang oleh negara.
Langkah ini berguna juga untuk surveillance oleh agensi terkait untuk memastikan pengawasan tentang perkembangan perilaku mereka setelah kembali ke Tanah Air.
Ketiga, setelah kembali menetap di tanah air, pemerintah harus sudah memikirkan segala bentuk ekses negatif yang mungkin terjadi akibat perlakuan negara terhadap mereka.
Baca juga: Menerima 600 WNI eks ISIS, pemerintah diminta mempertimbangkan dua hal
Perlakuan yang terlalu istimewa bisa memicu kecemburuan di kalangan masyarakat lain dan bahkan menyuburkan semangat untuk bergabung dengan jaringan teroris karena merasa “teroris dapat diampuni”.
Hal macam ini harus sudah menjadi bagian dari pertimbangan. Sebaliknya, kalau perlakuan negara terlalu dianggap “kejam” maka hal itu akan menjadi dendam sejarah yang terwariskan pada generasi berikutnya dalam keluarga eks ISIS. Artinya, kita sedang memelihara bom waktu. Lantas bagaimana pendekatan yang ideal?
Keempat, sebaiknya seluruh rangkaian repatriasi menjadi kewenangan penuh pihak keamanan dan badan intelijen tanpa eksposur media untuk menghindari efek berita yang tidak positif.
Pemerintah Bersama legislatif memikirkan aturan hukum atau legislasi dan regulasi yang tepat untuk repatriasi, sedangkan institusi keamanan terkait seperti Kepolisian bekerjasama dengan BNPT dan BIN berperan aktif dalam seluruh rangkaian repatriasi bersama kementerian dan lembaga negara lain yang relevan.
Baca juga: Jimly: WNI bekas anggota ISIS harus dicabut paspornya
Menurut Boni sejahat apapun seorang warga negara, harus selalu ada ruang pengampunan di dalam ranah hukum positif entah bentuknya seperti apa.
Meski demikian katanya, kita harus akui bahwa repatriasi eks teroris tidak mudah. Dilemanya cukup serius karena di satu sisi, meskipun mereka memiliki hak asasi yang perlu dilindungi negara, mereka juga berpotensi menjadi masalah bagi keselamatan banyak orang lain.
Di lain sisi, negara akan tampak kehilangan kualitas moralnya ketika membiarkan warganegaranya melarat di luar negeri meskipun karena kesalahannya sendiri. Dalam situasi seperti ini perlu ada jalan tengah.
Direktur LPI usul repatriasi bertahap terkait pemulangan eks ISIS
Jumat, 7 Februari 2020 8:47 WIB
Repatriasi warga eks ISIS itu bagian dari pertanggungjawaban kemanusiaan yang mesti dipikul oleh negara.