Jakarta (ANTARA) - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan bahwa hujan butiran es yang terjadi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, pada Selasa sore dipicu oleh terbentuknya awan Cumulonimbus saat masa peralihan musim.
Ketua Tim Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca Direktorat Meteorologi Publik BMKG, Ida Pramuwardani dikonfirmasi di Jakarta, Selasa, menjelaskan awan Cumulonimbus dikenal sebagai awan pembawa cuaca ekstrem karena mampu menghasilkan hujan deras, angin kencang, petir, bahkan butiran es.
“Hujan es terjadi ketika uap air yang naik ke lapisan atas awan mengalami pendinginan ekstrem hingga membentuk butiran es. Jika arus udara naik (updraft) cukup kuat, butiran es akan bertahan, membesar, lalu jatuh ke permukaan,” kata Ida.
Baca juga: BMKG sebut hujan es di Lampung Barat akibat fenomena awan Cumulonimbus
Dalam beberapa hari terakhir, lanjutnya, wilayah Jabodetabek dipengaruhi dinamika atmosfer yang cukup signifikan. Aktifnya gelombang ekuatorial Rossby, nilai OLR (Outgoing Longwave Radiation) yang cenderung negatif, serta fenomena Madden Julian Oscillation (MJO) yang sedang aktif di sekitar Jawa bagian barat mendukung pertumbuhan awan konvektif.
Menurut dia, kondisi ini diperkuat oleh kelembapan udara yang tinggi, atmosfer yang labil, serta suhu permukaan hangat pada siang hari dengan kisaran 28–34 derajat Celsius.
"Kombinasi faktor tersebut membuat cuaca terasa panas terik pada siang hari, lalu berubah menjadi hujan deras bahkan hujan es di sore hingga malam hari, seperti yang terjadi di Cikini," kata dia.
Baca juga: BMKG: Fenomena hujan es di Kota Palembang akibat musim pancaroba
Peristiwa hujan es viral di media sosial Instagram melalui video amatir berdurasi kurang dari 30 detik yang diunggah salah satunya oleh akun Instagram @Jakarta.terkini. Video tersebut memperlihatkan hujan deras disertai butiran es yang jatuh di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.
BMKG mengimbau masyarakat untuk tetap waspada terhadap potensi cuaca ekstrem di masa peralihan musim, termasuk hujan deras, petir, angin kencang, maupun hujan es yang dapat terjadi secara tiba-tiba.
Kemudian, "Tana penyakitan atau tana angker", Celako Kemali iyu maksudnya tidak boleh membuka lahan pertanian di daerah yang merupakan tempat tinggal roh leluhur.
Berikutnya "Binti meretas tanjung", artinya siapapun tidak boleh membuka lahan di delta sungai meskipun tanahnya sangat subur.
Celako Kemali "Tanam tungku buisi", mengartikan tidak diperbolehkan membuka hutan untuk kegiatan pertanian di sekitar lokasi yang dianggap sebagai tempat tinggal roh halus. Serta, Celako Kemali "Bemban teralai" yang mengartikan seseorang tidak boleh menebang hutan di lereng bukit ketika sungai mengalir di lembah.
"Lima aturan ini sudah dimodifikasi dengan upacara adat atau leluhur," ujarnya.
Baca juga: Universitas Bengkulu bekali mahasiswa baru wawasan bela negara dan antiradikalisme
Menurut Prof Panji Suminar, 11 Celako Kemali yang masih diterapkan sepenuhnya, yakni "Kijang melumpat", mengartikan tata kelola membuka lahan dan sawah.
"Tanah siboan", yakni tidak diperkenankan mengelola lahan pertanian di makam leluhur atau tempat ritual adat. "Merabung bumi atau pematang kuburan", maksudnya seseorang dilarang membuka lahan untuk bercocok tanam jika lahan tersebut diapit oleh dua sungai atau anak sungai.
"Setabua gendang", mengartikan larangan menebang hutan di hulu sungai. "Ulu tulung betangisan", yakni larangan membuka lahan di lereng yang terdapat dua mata air yang mengalir berlawanan arah.
"Sepelansaran mayat", mengartikan jika seseorang menanam padi di setengah bagian lereng bukit pada tahun tertentu, maka setengah bagian sisanya dilarang ditanami pada tahun berikutnya.
"Sepelintasan perau atau mengakipitka aiak", yakni larangan membuka lahan pertanian di sisi kiri dan kanan sungai dan lahan pertanian hanya boleh dibuka di satu sisi sungai.
Kemudian, Celako Kemali "Elang setepak atau ncapkkah tunggul rokok sampai ke sawah", mengatur pelarangan pembukaan lahan di daerah perbukitan, sedangkan di daerah lembah masih bisa ditemukan persawahan.
Baca juga: Universitas Bengkulu minta mahasiswa baru setidaknya ikut satu organisasi mahasiswa
"Tikam luang atau nengakah ulu tulung buntu", mengartikan dilarang keras membersihkan lahan pertanian di hulu sungai atau di dekat mata air. "Segelibak bangkai atau sebaliak badan" yakni tentang tata kelola pertanian di perbukitan.
Celako Kemali berikutnya "Macan merunggu", yaitu larangan membuka areal persawahan yang ditumbuhi pepohonan lebat dan sering dijadikan sarang harimau atau tempat tinggal arwah.
"Celako kemali sejatinya berisikan pesan keseimbangan ekologis dalam pengelolaan sumber daya alam. Ini merupakan pengetahuan yang seharusnya wajib dijadikan pertimbangan setiap pembangunan di Bengkulu," kata Prof Panji.
Suku Serawai merupakan salah satu suku besar di Provinsi Bengkulu, mereka hidup di Kabupaten Seluma, Bengkulu Selatan, lalu menyebar ke luar wilayah untuk berkebun.
