Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perdagangan menekankan transparansi perdagangan dijalankan demi menjaga kepercayaan antara pelaku usaha serta konsumen sebagai fondasi menciptakan pasar yang sehat, berkeadilan, serta berkelanjutan usaha.
"Membangun transparansi dan kepercayaan antara pelaku usaha dan konsumen ini sangat penting," kata Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (Dirjen PKTN) Kemendag Moga Simatupang dalam kegiatan Wicara dan Lokakarya bertajuk 'TERANG: Membangun Transparansi dan Kepercayaan antara Pelaku Usaha dan Konsumen di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan sebelumnya Kementeriannya menggelar rapat bersama Komisi VI DPR RI yang menekankan isu perlindungan konsumen. Dalam rapat itu, salah satu anggota DPR menyampaikan kekecewaan terhadap praktik perdagangan, karena barang yang diterima konsumen tidak sesuai dengan deskripsi produk yang dijanjikan penjual.
"Beliau (salah satu Anggota Komisi VI DPR RI) sangat kecewa sekali antara barang yang dibeli dengan yang datang itu tidak sesuai. Nah, untuk itulah di acara ini kami berharap sesuai dengan regulasi yang ada Bapak-Ibu menjual barang sesuai dengan apa yang diperjanjikan," ujar dia.
Kemendag menegaskan pentingnya pelaku usaha menjual produk sesuai regulasi yang berlaku yakni Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Ia pun menegaskan bahwa dunia perdagangan saat ini berkembang pesat seiring transformasi digital, platform e-commerce, perubahan perilaku konsumen, serta gejolak ekonomi global yang menjadi tantangan sekaligus peluang besar.
Di satu sisi, terbuka akses pasar yang lebih luas bagi pelaku usaha, namun di sisi lain juga muncul risiko dalam transaksi yang berpotensi merugikan konsumen dan UMKM.
Dalam menghadapi dinamika tersebut, lanjut Moga, pemerintah melalui Kemendag hadir memainkan peran strategis untuk memastikan keseimbangan antara kepentingan konsumen dan keberlangsungan usaha.
"Kementerian Perdagangan memiliki mandat strategis dalam menciptakan pasar yang transparan, aman dan berkelanjutan. Pasar yang transparan bukan hanya memberi kepastian hukum bagi pelaku usaha tetapi juga memberikan rasa aman bagi konsumen," katanya.
Menurut dia, pasar yang aman berarti bebas dari praktik curang, manipulasi informasi, serta peredaran produk tidak sesuai standar, sehingga konsumen memperoleh jaminan kualitas produk.
Pasar berkelanjutan dipahami sebagai pasar yang mampu bertahan menghadapi tantangan zaman, menjunjung tinggi keadilan ekonomi, serta mendukung keberlanjutan lingkungan dan sosial.
Untuk mewujudkan hal itu, ia mengatakan Kemendag terus berinovasi melalui regulasi adaptif, saluran pengaduan konsumen yang mudah, dan kemitraan lintas sektor yang memperkuat ekosistem perdagangan nasional.
Kemendag menekankan transparansi sebagai kunci kepercayaan, mendorong pelaku usaha memberi informasi jujur, jelas, akurat, serta responsif terhadap keluhan, sementara konsumen didorong menjadi lebih kritis dan bijak.
"Kementerian Perdagangan percaya bahwa transparansi adalah kunci kepercayaan. Tanpa transparansi akan sulit bagi konsumen untuk merasa aman dalam bertransaksi. Dan tanpa kepercayaan konsumen, pelaku usaha akan kehilangan pasar," kata Moga.
Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) Tulus Abadi meminta kepada Komisi VI DPR RI, yang membidangi perdagangan, untuk mempercepat pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK).“Meminta agar Komisi VI DPR mempercepat pembahasan revisi UU tentang Perlindungan Konsumen, sehingga bisa disahkan pada masa sidang 2025,” ujar Tulus dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (4/9).
Tulus menyampaikan salah satu isu yang harus diakomodasi dalam perubahan UU Perlindungan Konsumen adalah perlindungan konsumen untuk produk adiktif.
Oleh karena itu, Tulus berpandangan bahwa perubahan UU tersebut sangat mendesak untuk melindungi konsumen sebagai pelanggan.
“Selanjutnya, meminta agar konsumen dalam menyampaikan pendapat, keluhan, pengaduannya kepada pelaku usaha agar lebih terstruktur, kronologis, dan disertai bukti sah atau valid,” ujarnya pula.
Hal tersebut, kata dia lagi, juga meliputi konsumen yang me-review suatu produk, barang, dan jasa.
Lebih lanjut, Tulus menyoroti peran konsumen sebagai pilar terpenting dalam struktur dan sistem ekonomi nasional. Ia menegaskan, peran dan keberadaan konsumen tidak bisa dinegasikan oleh siapa pun.
Tulus meminta agar pemerintah selalu memperhatikan isu perlindungan konsumen dalam setiap kebijakan dan regulasi yang dibuatnya.
“Termasuk dalam menentukan kebijakan harga, khususnya untuk komoditas esensial, baik barang maupun jasa,” ujar Tulus pula.
Permintaan tersebut ia sampaikan ketika memperingati Hari Pelanggan Nasional (Harpelnas) yang jatuh pada 4 September. Pada 2025, kata dia lagi, Harpelnas bertema ‘think consumer’. Hari Pelanggan Nasional pertama kali dirayakan pada 2004 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri.
Hari Pelanggan Nasional yang diperingati setiap 4 September menjadi momentum refleksi bagi seluruh lembaga pelayanan publik di Indonesia.
Fintech
Transformasi keuangan digital Indonesia tengah berada pada titik persimpangan yang genting.
Pertumbuhan ekonomi digital Indonesia pada 2024 yang mencapai 90 miliar dolar AS dan diperkirakan terus meningkat, di baliknya tersimpan tantangan besar terkait bagaimana memastikan keamanan, inklusivitas, dan keberlanjutan dalam ekosistem keuangan nasional yang kian kompleks.
Dalam forum Indonesia Digital Bank Summit (IDBS) 2025 yang digelar Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) di Jakarta pada 19 Agustus 2025 dibahas mengenai pentingnya kolaborasi lintas sektor demi memperkuat fondasi kepercayaan publik terhadap sistem keuangan digital.
Dari sini diharapkan ada wujud nyata dari upaya membangun sinergi antara perbankan, fintech, regulator, dan sektor riil untuk merumuskan solusi bersama atas berbagai tantangan yang dihadapi industri.
Apalagi pertumbuhan transaksi digital di Indonesia menunjukkan geliat signifikan, dengan data Bank Indonesia mencatat nilai transaksi QRIS mencapai Rp317 triliun pada kuartal II 2025, meningkat 121 persen secara tahunan.
Lebih dari 57 juta pengguna telah memanfaatkan layanan ini, dan 93 persen merchant yang terlibat berasal dari kalangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Fakta ini tidak hanya mencerminkan keberhasilan adopsi teknologi, tetapi juga menegaskan potensi digitalisasi sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun, seiring meluasnya penggunaan layanan keuangan digital, risiko kejahatan siber, penipuan daring, dan kebocoran data menjadi ancaman serius yang perlu diantisipasi bersama.
Deputi Komisioner Pengawas Bank Swasta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indarto Budiwitono menekankan bahwa transformasi digital sektor perbankan tidak bisa lagi ditunda.
Menurut dia, bank harus mengembangkan strategi digital yang lincah dan terukur, tidak hanya untuk meningkatkan efisiensi, tetapi juga untuk menjawab ekspektasi nasabah yang semakin kompleks.
Tantangan keamanan siber, menurut Indarto, memerlukan investasi berkelanjutan dalam teknologi cloud, kapabilitas analitik data, dan integrasi kecerdasan buatan atau AI, karena perlindungan reputasi dan keberlangsungan bisnis kini menjadi prioritas utama.
Ruang dialog
Ketua Umum AFTECH Pandu Sjahrir menegaskan pentingnya ada ruang dialog dan arena untuk menghasilkan terobosan nyata.
Pandu memaparkan tiga fokus utama tahun ini mencakup penguatan ketahanan siber dan pencegahan penipuan berbasis intelijen bersama, perancangan produk keuangan yang lebih inklusif bagi UMKM dan masyarakat underserved, serta pembentukan arsitektur kolaborasi lintas sektor yang berkelanjutan.
Pandu menekankan bahwa keuangan digital yang terpercaya akan menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekonomi yang aman, adil, dan berkelanjutan.
Dengan kerja sama erat antara bank, fintech, regulator, dan sektor riil, target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar delapan persen bukanlah angan-angan, melainkan visi yang bisa dicapai melalui sinergi strategis.
Sementara itu Wakil Ketua Umum II AFTECH Budi Gandasoebrata turut menyoroti tiga pilar penting dalam membangun ekosistem keuangan digital yang sehat.
Pilar pertama adalah regulasi dan pengawasan adaptif berbasis risiko agar inovasi teknologi tidak mengorbankan keamanan.
Pilar kedua adalah pemanfaatan teknologi seperti AI dan open finance dengan tata kelola yang akuntabel.
Dan pilar ketiga, yang tak kalah penting, adalah edukasi publik dan kampanye anti-penipuan digital secara masif dan terintegrasi.
Budi menegaskan kolaborasi lintas sektor dibutuhkan agar kepercayaan publik terhadap keuangan digital tetap kokoh, sebab kepercayaan adalah fondasi yang menentukan keberhasilan seluruh ekosistem.
Pada kesempatan yang sama juga dibahas tentang peran penting keuangan digital dalam mendorong pertumbuhan UMKM dan ekonomi nasional.
Tantangan utama UMKM di Indonesia meliputi keterbatasan akses pasar, pembiayaan, dan literasi keuangan.
Untuk menjawab hal ini, perbankan dan fintech sepakat membangun ekosistem digital yang memungkinkan penilaian kredit berbasis data transaksi elektronik.
Inovasi ini memungkinkan pelaku UMKM underbanked untuk mendapatkan akses pembiayaan melalui credit scoring berbasis data digital.
Perusahaan penyedia gerbang pembayaran dan pemeringkat kredit memainkan peran vital dalam menyediakan data dan infrastruktur yang mendukung perbankan untuk memberikan layanan inklusif.
Namun, digitalisasi saja tidak cukup. Edukasi literasi keuangan dan pendampingan berkelanjutan sangat penting agar UMKM mampu mengelola keuangannya secara lebih baik, sehingga mereka dapat menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Peran ganda AI
Salah satu topik yang paling mengemuka dalam forum ini adalah peran ganda AI sebagai pendorong inovasi sekaligus tantangan baru bagi keamanan siber.
Direktur Keamanan Siber dan Sandi Keuangan, Perdagangan, dan Pariwisata BSSN Edit Prima menjelaskan bahwa serangan siber berbasis AI, seperti phishing yang dipersonalisasi dan polymorphic malware, menuntut respons yang juga ditenagai oleh teknologi AI.
Menurutnya, kekuatan AI dalam menganalisis pola ancaman dan memblokir serangan secara real time akan menjadi penentu efektivitas pertahanan digital di masa depan.
Lebih jauh, Edit menekankan pentingnya berbagi intelijen ancaman atau threat intelligence sharing lintas lembaga sebagai kunci pertahanan kolektif.
Di sinilah kolaborasi antara OJK, Bank Indonesia, BSSN, Kominfo, dan PPATK menjadi krusial. Sinergi ini memungkinkan pemblokiran URL berbahaya, pencegahan penipuan digital, dan deteksi transaksi mencurigakan secara terkoordinasi.
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PSrE) seperti Privy juga mendapat sorotan penting dalam forum ini.
CEO Privy sekaligus Wakil Ketua Umum I AFTECH, Marshall Pribadi, menekankan bahwa identitas digital berbasis sertifikat elektronik menjadi elemen kunci dalam membangun kepercayaan publik.
Dengan identitas digital yang sah dan diakui negara, masyarakat maupun pelaku industri dapat bertransaksi dengan lebih aman dan nyaman.
Menurut Marshall, membangun digital trust bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang kolaborasi, transparansi, dan kepatuhan. Ketika masyarakat merasa aman dalam bertransaksi, maka pertumbuhan keuangan digital dapat berjalan lebih inklusif dan berkelanjutan.
Forum itu pun menjadi bukti nyata bahwa kolaborasi multi-sektor adalah syarat mutlak untuk menjawab tantangan digitalisasi keuangan.
Pada acara itu lebih dari 400 pemangku kepentingan dari regulator, perbankan, fintech, dan sektor riil, forum ini menjadi tonggak penting dalam membangun ekosistem keuangan digital yang kuat dan terpercaya.
Diskusi yang berlangsung tidak hanya membahas masalah saat ini, tetapi juga merumuskan strategi jangka panjang menuju transformasi keuangan nasional yang berorientasi inklusi, keberlanjutan, dan keamanan.
Dukungan penuh dari berbagai mitra industri, seperti BNIdirect, Privy, ADVANCE.AI, Easycash, Jalin, Finpay, hingga Trusting Social, menunjukkan adanya komitmen kolektif yang solid untuk menciptakan fondasi keuangan digital yang lebih aman dan merata bagi seluruh masyarakat.
Indonesia memiliki peluang besar untuk memimpin transformasi keuangan digital di kawasan Asia Tenggara. Namun, keberhasilan itu hanya bisa dicapai jika semua pemangku kepentingan berkomitmen pada kolaborasi, inovasi, dan penguatan kepercayaan publik.
Dari sini setidaknya ada bukti bahwa upaya tersebut bukan sekadar wacana, melainkan aksi nyata menuju ekosistem keuangan digital yang inklusif, aman, dan berkelanjutan.
Visi besar ini tidak hanya tentang mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga tentang membangun fondasi kepercayaan, memberdayakan UMKM, melindungi konsumen, dan memastikan setiap lapisan masyarakat dapat menikmati manfaat keuangan digital dengan setara.
