Jakarta (ANTARA) - Keputusan Presiden Prabowo Subianto menghadiri undangan khusus Presiden China Xi Jinping di Beijing pada peringatan 80 tahun Hari Kemenangan, di tengah kondisi nasional yang baru pulih dari kerusuhan, dapat dibaca melalui lensa kebijakan publik yang lebih luas.
Pertanyaan mendasarnya bukan sekadar soal kehadiran, melainkan mengapa Presiden memilih tetap berangkat, dan apa manfaat konkret yang dapat dipetik Indonesia dari langkah ini?
Dari sudut pandang Indonesia, kehadiran Presiden Prabowo bukan sekadar membalas undangan, tetapi menegaskan posisi Indonesia sebagai pemain aktif dalam diplomasi global, terlebih dengan China yang sejak lama menjadi mitra strategis penting di kawasan.
Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan stabilitas domestik; sebelum berangkat, Presiden menunda keberangkatan untuk meredam kerusuhan, membuka jalur komunikasi lintas agama, dan memastikan aspirasi masyarakat didengar.
Prinsip ini tercermin dari langkah Presiden Prabowo yang lebih dulu membuka ruang dialog dengan demonstran damai, menengok langsung korban, serta memastikan jalur komunikasi politik terjaga, termasuk dengan tokoh-tokoh lintas agama yang mengangkat isu struktural seperti reformasi pajak, pemberantasan korupsi, dan RUU perampasan aset.
Ketika rakyat melihat negara responsif, kepastian terasa, dan gejolak tidak berkembang menjadi krisis berkepanjangan.
Boin dan ’t Hart (2007) melalui konsep crisis exploitation menjelaskan bahwa krisis kerap menjadi panggung bagi pemimpin untuk menegaskan kapasitas, membangun narasi, dan memperkuat posisi. Dalam kerangka itu, kunjungan Prabowo ke Beijing bukanlah pengabaian terhadap rakyat, melainkan sebuah strategic signaling bahwa Indonesia adalah negara yang stabil dan dihormati.
Dalam konteks kebijakan publik tingkat global, kehadiran pemimpin tertinggi suatu negara mencerminkan stabilitas negara dan tumbuhnya kesadaran solidaritas nasional sebagai bangsa yang kuat.
Prabowo telah berhasil menunjukkan pada relasi tinggi antarnegara bahwa kebijakan publiknya memperoleh dukungan domestik yang kuat. Pada tataran ini Prabowo hendak mempertontonkan kepada elit global bahwa Indonesia tidaklah rapuh sebagaimana yang disinyalir para pihak, tetapi tetap menjadi negara terdepan dalam pembangunan ekonomi nasional yang lebih terbuka.
Simbol-simbol diplomatik di sana berbicara banyak. Posisi duduk sejajar dengan Xi Jinping dan Vladimir Putin di panggung utama parade militer bukan semata urusan tata tempat, tetapi penegasan pengakuan global atas posisi Indonesia sebagai mitra strategis.
Lebih jauh, hanya Presiden Indonesia yang mendapat pertemuan bilateral khusus dengan Presiden Xi, sebuah privilege diplomatik yang jarang diberikan. Dari perspektif two-level game theory (Putnam, 1988), keputusan ini mengirimkan dua pesan sekaligus: dalam konteks dalam negeri. Pertama, Indonesia merupakan negara yang mampu menjaga stabilitas. Pesan kedua, ke luar negeri, Indonesia adalah aktor penting yang tidak bisa diabaikan.
Indonesia hari ini menunjukkan bahwa keduanya bisa berjalan beriringan, dengan satu fondasi utama: kepercayaan, baik dari rakyat maupun dari dunia.
*) Trubus Rahardiansah, pakar kebijakan publik Universitas Trisakti
Baca juga: Presiden Prabowo hadiri parade militer di Beijing China
