Surabaya (ANTARA) - Pada 6 April 1977, seorang sastrawan yang juga merupakan wartawan Lembaga Kantor Berita Negara (LKBN) Antara, Mochtar Lubis, menyampaikan pidato kebudayaan yang seperti menelanjangi sifat asli manusia Indonesia.
Pidato kebudayaan yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta tersebut kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul "Manusia Indonesia".
Mochtar Lubis berpendapat bahwa meskipun mayoritas masyarakat Indonesia mempunyai sifat-sifat beradab dan santun, terdapat sejumlah sifat yang kiranya perlu disentuh aspek-aspek perbaikan. Terlebih dalam masa tersebut, Indonesia masih berusia muda dan tengah mencari jati diri identitas bangsa untuk menjadi sebuah negara-bangsa.
Mochtar menganalogikan Indonesia sebagai sebuah mobil yang sebagaimana sebuah mesin juga memerlukan pemeliharaan, karena terdapat beberapa bagian yang mungkin telah rusak.
Dalam buku "Manusia Indonesia", Mochtar Lubis berpendapat bahwa terdapat 12 sifat dasar manusia Indonesia yang harus diperbaiki.
12 sifat tersebut yakni hipokritis (munafik), segan atau enggan bertanggung jawab, bersikap dan berperilaku feodal, percaya takhayul, artistik, lemah watak dan karakter, boros, cenderung malas bekerja keras, tukang menggerutu, dengki, dan mudah meniru.
Nyatanya hingga kini, analisis kritis Mochtar Lubis mengenai sifat dan watak asli manusia Indonesia juga masih kita temui dalam keseharian, termasuk lewat lini masa media sosial yang penuh hiruk pikuk saling menghujat satu sama lain.
Gaung "Revolusi Mental" hingga "Bangsa Besar" seperti halnya sebuah siklus yang terus didaur ulang untuk membangkitkan semangat kebangsaan, nampaknya belum bisa menyentuh akar persoalan kebangsaan itu sendiri.
"Jika aku melihat wajah anak-anak di desa-desa
Dengan mata yang bersinar-sinar
(berteriak) Merdeka! Merdeka!, Pak! Merdeka!
Aku bukan lagi melihat mata manusia
Aku melihat Indonesia!"
Sepenggal puisi berjudul "Aku Melihat Indonesia" tersebut ditulis oleh Presiden pertama Indonesia, Soekarno yang tengah mengobarkan semangat dan membangkitkan cinta tanah air.
Kini bangsa Indonesia telah berdiri selama delapan dekade, melewati generasi demi generasi dengan arus persoalan dunia yang semakin kompleks.
Sebagai sebuah negara yang telah berumur genap 80 tahun, Indonesia masih dihadapkan setumpuk persoalan seperti kesenjangan ekonomi dan sosial, perubahan iklim, keterbukaan akses pendidikan, hingga kurangnya lapangan kerja.
Lalu seperti yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam pidato kenegaraan pada 15 Agustus, bahwa kini Indonesia dihadapkan praktik "serakahnomics" yang disebutnya sebagai praktik dari para pengusaha yang mengejar keuntungan sebesar-besarnya dengan menipu dan mengorbankan rakyat Indonesia.
Lantas dengan 1001 masalah Indonesia yang menginjak usia 80 tahun ini, apakah kita telah meninggalkan watak asli manusia Indonesia seperti dalam pandangan Mochtar Lubis? Atau kita sebagai bangsa hanya berkutat pada jalan tak ada ujung?
Tepat di hari kemerdekaan ini, kita harus merefleksikan nilai-nilai kebangsaan dan menghentikan jargon serta perayaan kemerdekaan yang sudah berubah menjadi dekorasi sejarah yang hanya dijadikan seremonial setiap setahun sekali.
