Papua (ANTARA) - Angka partisipasi sekolah di Papua memang tercatat masih rendah.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 yang disampaikan oleh Kepala Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Provinsi Papua Junus Simangunsong, angja partisipasi sekolah 16-18 tahun di dua provinsi di Papua masih di bawah 70 persen.
Papua Tengah tercatat memiliki APS paling rendah, yakni 48 persen, disusul Papua Pegunungan yang hanya 56 persen.
Sementara itu, beberapa kabupaten/kota di Papua memiliki angka partisipasi sekolah 13-15 tahun yang masih jauh di bawah rata-rata nasional, yakni Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah, sebesar 32 persen; Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, 52 persen; Nduga, Papua Pegunungan, 57 persen; dan Deiyai, Papua Tengah, 60 persen.
Wali Kelas 5 Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Kristen (SD YPK) Betlehem, Wamena, Provinsi Papua Pegunungan, Aisa Rumbino, menyatakan bahwa anak-anak didiknya seringkali pingsan saat upacara di Hari Senin karena belum sarapan.
Anak-anak itu, sebagian juga berjalan kaki cukup jauh karena kondisi orang tuanya yang tidak memungkinkan mengantar mereka ke sekolah.
Mama-mama dan papa-papa itu, sejak pagi sudah harus mencari nafkah demi membiayai kehidupan keluarga mereka. Akibatnya, anak-anak yang datang tanpa sarapan itu seringkali tidak fokus, saat menerima pelajaran, atau sering sakit, sehingga tingkat partisipasi mereka di sekolah pun menurun.
Kepala SD Negeri Inpres Waroki Maria Goreti Gunu juga mengutarakan bahwa banyak anak sekolah yang pingsan hingga tidur di dalam kelas karena tidak sarapan. Maka, sebelum program MBG, sekolahnya telah terlebih dahulu menerapkan makan bergizi yang dikelola oleh para komite sekolah.
Setiap hari, ahli gizi datang ke sekolah untuk melihat berapa serat, protein, maupun karbohidrat yang perlu disiapkan. Dari program makan sehat tersebut, menurutnya, tingkat perekonomian masyarakat juga secara otomatis meningkat di pasar karena pembelian bahan yang dilakukan terus-menerus sejak Senin hingga Sabtu.
Untuk itu, program MBG juga mesti mempertimbangkan tata kelola untuk diterapkan di Papua. Pemerintah perlu mempertimbangkan agar pengelolaan diserahkan ke sekolah, komite, dan orang tua, tentu dengan pemantauan dan evaluasi dari ahli gizi yang setiap hari hadir ke sekolah, untuk menjamin mutu makanan yang dibagikan.
Berbagai penolakan yang terjadi, menurut Maria, merupakan akibat dari tata kelola yang belum jelas, sehingga penting untuk melibatkan orang tua dan masyarakat 100 persen dalam program Makan Bergizi Gratis di Papua.
Tenaga ahli bidang sistem dan tata kelola pada Badan Gizi Nasional (BGN) Niken Gandini mengemukakan, pihaknya akan terus menyesuaikan pemberian MBG sesuai dengan potensi di masing-masing wilayah. Apabila memang lebih baik dikelola oleh orang tua siswa atau komite sekolah, maka BGN akan menyesuaikan.

Pengelolaan MBG oleh orang tua dan komite sekolah memang lebih baik karena mereka tentu akan lebih memahami kebutuhan anaknya sendiri. Sebelumnya, pemerintah juga pernah menyelenggarakan program serupa, yakni program gizi anak sekolah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang berlangsung pada 2016-2019.
Di Kota Jayapura, misalnya, berdasarkan data dari dinas pendidikan, terdapat 62.453 siswa dari PAUD hingga SMA, baik swasta maupun negeri. Untuk bisa menyasar puluhan ribu siswa tersebut, dibutuhkan sedikitnya 20 satuan pemenuhan pelayanan gizi (SPPG), sehingga melalui kebijakan tata kelola dan pemanfaatan kearifan lokal yang baik, maka dapat memacu potensi dari produk-produk lokal dari Kota Jayapura.
Sepiring kedaulatan
Program “hajatan” dari Presiden Prabowo Subianto berupa Makan Bergizi Gratis ini tentu tidak serta-merta dapat membawa dampak yang instan. Butuh proses panjang yang perlu ditempuh, perbaikan serta evaluasi di sana-sini, termasuk menghadapi penolakan oleh sebagian warga di tanah Papua.
Pada Pertengahan Februari 2025, ribuan siswa, mulai dari SMP, SMA, hingga universitas di beberapa wilayah mulai dari Kabupaten Deiyai, Dogiyai, Mimika, Provinsi Papua Tengah; Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua; Yalimo, Jayawijaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan, mengelar demonstrasi menolak Makan Bergizi Gratis (MBG).
Mereka menyuarakan pendidikan gratis lebih penting ketimbang Makan Bergizi Gratis. Selain itu, di beberapa daerah konflik, masyarakat menuntut agar wewenang pemberian MBG diserahkan kepada yayasan, hingga masyarakat adat.
Di tanah Papua yang masih rawan dengan konflik, pemberian MBG tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang represif, tetapi harus sepenuhnya melibatkan masyarakat adat, termasuk LMA, sekolah, hingga orang tua siswa sendiri.
Sosialisasi terus-menerus dilakukan oleh BGN, Kementerian Pertahanan, Kementerian Pendidikan, Dasar, dan Menengah (Kemendikdasmen), juga Kementerian Kesehatan, sehingga program ini mampu meningkatkan angka partisipasi sekolah dan menurunkan stunting.
Masyarakat Papua terus dilibatkan dalam diskusi yang melibatkan sepiring ubi, sagu, hingga kopi. Berbicara dengan masyarakat Papua perlu pendekatan-pendekatan yang lebih komunal, karena representasi mereka sebagai kelompok masyarakat adat yang merupakan bagian dari Tanah Air perlu terus didengar.
MBG di Papua lebih dari sekadar membagikan makan secara gratis, karena lebih dari itu, dampak positif yang dihasilkan jika melibatkan orang-orang asli Papua, bisa berlipat ganda, termasuk mewujudkan kedaulatan ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Di setiap SPPG, mama-mama akan berdaulat memasak, bersama LMA yang mengawasi, dan komite sekolah serta orang tua siswa yang juga berdaulat menentukan sendiri model MBG seperti apa yang paling cocok di daerahnya.
Baca juga: Anak Papua terima Makan Bergizi Gratis