Jakarta (ANTARA) - Seorang Presiden Amerika Serikat menyatakan secara tulus keinginan meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan sebuah kelompok masyarakat suatu daerah, dengan mensyaratkan kelompok masyarakat tersebut harus meninggalkan rumah yang telah ditempati mereka sejak lama karena dinilai tidak sesuai dengan kemajuan di wilayah negara tersebut.
Pesan tersebut bukan dikemukakan oleh Donald Trump kepada warga Gaza di tahun 2025 ini, tetapi itu adalah laporan tahunan yang disampaikan oleh Presiden AS Andrew Jackson pada 1830, setelah dia menandatangani Indian Removal Act atau UU Pemindahan Suku Indian.
UU Pemindahan Suku Indian adalah undang-undang yang disahkan oleh Kongres AS dan ditandatangani oleh Presiden Andrew Jackson pada tanggal 28 Mei 1830. Tujuan utama langkah penggusuran itu adalah untuk mengizinkan relokasi suku asli Amerika yang tinggal di AS bagian tenggara ke wilayah sebelah barat Sungai Mississippi, di tempat yang sekarang disebut sebagai Oklahoma.
Presiden Jackson menggambarkan pemindahan tersebut sebagai langkah penting demi "kesejahteraan" penduduk asli Amerika, dengan menganggap cara hidup tradisional mereka tidak sesuai dengan kemajuan Amerika Serikat.
UU tersebut mengakibatkan peristiwa pemindahan paksa yang dikenal di catatan sejarah AS sebagai Trail of Tears (Jejak Air Mata). Dari tahun 1838 hingga 1839, sekitar 16.000 orang suku Indian Cherokee (salah satu suku dari banyak kelompok yang digusur otoritas AS) terpaksa meninggalkan rumah mereka di Georgia dan negara bagian AS sekitarnya.
Mereka tidak punya banyak pilihan selain memulai perjalanan ke lokasi baru yang jaraknya lebih dari 1.200 kilometer. Para warga yang juga terdiri atas banyak keluarga itu harus berjalan kaki, naik kereta, dan menunggang kuda, seringkali dengan sedikit makanan, pakaian yang buruk, dan perawatan kesehatan yang tidak memadai.
Hampir dua abad kemudian, gaung dari peristiwa gelap seperti yang terjadi pada kejadian Trail of Tears itu kembali terdengar ketika Trump pada 4 Februari 2025 menyebutkan bahwa AS akan mengambil alih kepemilikan Jalur Gaza dan membangunnya kembali setelah rakyat Palestina direlokasi ke tempat lain. Relokasi itu disebutkan sebagai pemindahan permanen.
Dalam konferensi pers bersama ketua otoritas Israel Benjamin Netanyahu, Trump mengatakan bahwa usai merelokasi warga Palestina ke luar Gaza, AS akan melakukan pembangunan ulang Gaza yang dia klaim dapat menjadikan wilayah kantong tersebut sebagai "Riviera di Timur Tengah".
Bagaimana dengan nasib warga Gaza, Trump di akun media sosial Truch Social pada Kamis (6/2) menyebutkan bahwa orang-orang Palestina akan dimukimkan kembali di "komunitas yang jauh lebih aman dan lebih indah, dengan rumah-rumah baru dan modern, di wilayah tersebut.” Tentu saja, janji keamanan dan kondisi indah dari Trump bagi warga Gaza, mengingatkan pada pidato Jackson yang menyatakan akan meningkatkan "kesejahteraan dan kebahagiaan" suku asli Indian di AS.
Kantor berita Turki, Anadolu mengutip ucapan Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Negeri Ohio, AS, John Quigley, yang mengatakan bahwa sebagian besar penduduk Gaza adalah keturunan warga Palestina yang diusir dari rumah mereka pada tahun 1948 dan mereka berhak untuk kembali.
Menurut Quigley, rencana Trump yang secara sepihak akan mengambil alih Gaza jelas melanggar hukum. Serta sangat aneh bila setelah terjadi genosida seperti yang dilakukan rezim zionis biadab Israel terhadap Palestina, maka solusi yang ditawarkan adalah mengusir seluruh penduduknya.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyebut rencana Trump sebagai pelanggaran hukum internasional. Ia menegaskan bahwa Gaza adalah bagian tak terpisahkan dari Palestina, serta menolak keputusan pihak asing atas masa depan rakyat Palestina. Sekjen PBB Antonio Guterres menentang setiap usulan pemindahan paksa atau pembersihan etnis di Gaza. Para pemimpin negara-negara Eropa pun menolak gagasan Trump.
Trump bersikukuh dan meyakini bahwa pemerintahannya dapat membuat kesepakatan dengan sejumlah negara seperti Yordania dan Mesir antara lain karena AS telah "memberi mereka miliaran dolar setiap tahun". Mesir dan Yordania menolak.
Liga negara-negara Arab pun menolak gagasan Trump tersebut. Kuwait menegaskan dukungannya terhadap hak Palestina untuk mendirikan negara merdeka, Aljazair mengecam setiap rencana untuk mengusir warga Gaza, Arab Saudi menegaskan dukungannya terhadap kemerdekaan Palestina, Uni Emirat Arab juga mengecam upaya pemindahan paksa, Irak maupun Libya menyatakan penolakan keras terhadap setiap usulan atau upaya pemindahan paksa warga Palestina, serta menyerukan komunitas internasional mengambil sikap tegas.
Pemerintah Republik memastikan rakyat Palestina tetap dapat bertahan di Tanah Air mereka dalam kerangka realisasi solusi dua negara.
Reaksi tegas dunia internasional sebenarnya sudah secara jelas menolak tindakan pemindahan atau relokasi permanen warga Palestina ke luar Gaza, tetapi kegetolan AS dalam membela apa pun bentuk kegadungan Israel sepertinya terus akan menjadi hambatan bagi terciptanya perdamaian yang stabil dan berkeadilan di Timur Tengah.
Baca juga: 801 truk bantuan masuki Gaza saat gencatan senjata
Baca juga: MER-C buka layanan poliklinik di RS Al Awda, Gaza Utara pada Minggu dan Rabu
Baca juga: Indonesia terus perjuangkan pastikan rakyat Palestina tetap bertahan di Tanah Airnya