Bogor, (Antaranews Bogor) - Revolusi hijau memiliki dampak positif sekaligus negatif dalam sektor pertanian, termasuk di Indonesia, kata pakar pertanian Institut Pertanian Bogor Dr Arief Daryanto.

Pokok pikiran itu mengemuka dalam lokakarya yang digagas Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), demikian keterangan pers yang diterima di Bogor, Senin.

Pada acara yang dihadiri Ketua Umum Perhepi yang juga Wakil Menteri Perdagangan Dr Bayu Krisnamurthi itu, Arief Daryanto menyampaikan materi pengantar dengan tema "Socio-Economic Consideration on Agricultural Biotechnology".

Dalam kesempatan itu dipaparkan dua bagian yaitu "Pembelajaran Dari Revolusi Hijau" dan "Isu Sosial-Ekonomi Bioteknologi Pertanian".

Arief Daryanto yang juga Direktur Program Pascasarjana Manajemen Bisnis-Institut Pertanian Bogor (MB-IPB) menegaskan bahwa

"Revolusi Hijau" telah memberikan dampak positif dalam meningkatkan produktivitas pertanian dan pendapatan petani.

"Akan tetapi, `Revolusi Hijau` juga memiliki dampak negatif yang muncul dalam jangka panjang," katanya.

Di antara dampak negatif itu, seperti petani yang terlibat hutang untuk membayar paket program intensif pertanian, disparitas pendapatan yang semakin melebar serta ketergantungan terhadap industri penyedia "input" pertanian.

Ia mengatakan bahwa berbagai manfaat dapat diperoleh dari pertanian yang efisien yang menggunakan teknologi moderen.

Namun berbagai risiko menyangkut isu sosial-ekonomi pun tidak dapat dihindari, seperti isu sistem pangan, isu kelembagaan, isu bisnis, isu konsumen dan pasar, dan isu sosial.

Karena itu, lanjutnya, adalah langkah yang tepat jika PERHEPI memberikan perhatian terhadap aspek-aspek sosial-ekonomi dari bioteknologi di bidang pertanian ini.

Pada lokakarya yang dimoderatori Direktur SEAMEO Biotrop Dr Bambang Purwantara itu juga diisi penyampaian materi Dr Leonardo Gonzales, pimpinan Strive Foundation, Los Banos, Filipina.

Gonzales memaparkan mengenai Protokol Cartagena sebagai laporan hasil pertemuan pertama Kelompok Ahli Teknis Ad Hoc (Ad Hoc Technical Expert Group-AHTEG), yaitu suatu pengembangan kerangka untuk kejelasan konseptual pada pertimbangan sosial ekonomi.

Ia juga menyampaikan manfaat global dari adopsi jagung transgenik atau GMO (genetically modified), yaitu peningkatan pendapatan dan laba bersih pertanian.

Disampaikan oleh Gonzales bahwa masalah sosial ekonomi termasuk sebagai perhatian utama dalam usaha pengembangan bioteknologi jagung selama 12 tahun di Filipina.

Narasumber lain yang dihadirkan adalah Prof (Riset) Agus Pakpahan, yang menyampaikan mengenai hubungan antara sosial-ekonomi dengan bioteknologi.

Menurut dia faktor sosial-ekonomi merupakan aspek yang normatif, di mana Protokol Cartagena tidak memberikan definisi dan batasan yang baku terhadap aspek sosial ekonomi ini.

Oleh karena itu, kata dia, aspek sosial ekonomi akan sangat tergantung pada nilai, kebiasaan, hukum, dan peraturan yang berlaku pada tempat tersebut.

Sedangkan Prof Bustanul Arifin, ahli pertanian Unila menyampaikan mengenai perkembangan bioteknologi di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain.

Ia menyarankan agar pemerintah dapat meningkatkan anggaran riset dan pengembangan sebesar satu persen.

Pemerintah juga diminta untuk menindaklanjuti kebijakan mengenai dukungan pengembangan bioteknologi di Indonesia.

Dalam pernyataan penutup Ketua Umum PERHEPI Bayu Krisnamurthi berharap dari lokakarya itu akan terjalin berbagai kerja sama lebih lanjut untuk pengembangan bioteknologi di Indonesia.

Pewarta: Andi Jauhari

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014