Jakarta, (Antaranews Bogor) - Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan pemerintah berharap Persatuan Kebun Binatang Seluruh Indonesia terus memberikan kontribusi dalam upaya pelestarian satwa.
"Khususnys satwa endemik di Indonesia melalui program `ex-situ` (di luar habitat alami) yang `nyambung` dengan konservasi `in-situ` (di habitat alami)," katanya di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, Kamis petang.
Pada acara Halalbihalal bersama Dewan Pengurus PKBSI, lembaga konservasi dan jajaran Kemenhut, ia menegaskan kelestarian sumber daya alam hayati, khususnya jenis satwa endemik Indonesia, tidak hanya menjadi tanggung jawab Kemenhut.
"Namun, semua pihak, termasuk pemerintah daerah, lembaga konservasi dan masyarakat secara umum," dalam sambutan yang dibacakan Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati (KKH) Kemenhut Bambang Dahono Adjie.
Dalam acara yang dihadiri Ketua Dewan Pembina PKBSI Letjen TNI (Pur) Kiki Syahnakri, Ketua Umum dan Sekjen PKBSI Rahmat Shah dan Tony Sumampau, serta 54 anggota PKBSI se-Indonesia, ia menyatakan sinergitas dan keterpaduan semua pihak dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati sudah menjadi kebutuhan.
Ia mengemukakan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak dalam lintasan distribusi keanekaragaman hayati benua Asia (Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan), dan benua Australia (Pulau Papua), dan sebaran wilayah peralihan Wallacea (Pulau Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara), yang kaya dengan tingkat kekhasan tinggi dengan tingkat endemisme masing-masing.
Indonesia, kata dia, juga memiliki kekayaan spesies satwa yang sangat tinggi, walaupun hanya memiliki luas daratan sekitar 1,3 persen dari luas daratan dunia.
Ancaman kepunahan
Namun demikian, Menhut juga mengungkapkan Indonesia disinyalir merupakan negara dengan tingkat keterancaman terhadap kepunahan spesies dan genetik yang sangat tinggi.
Penyebab utama keterancaman terhadap bahaya kepunahan spesies itu, katanya, adalah kerusakan habitat, perdagangan tumbuhan dan satwa liar ilegal, perburuan liar, dan bencana alam berupa kebakaran hutan dan lahan, serta lainnya.
Selain ancaman yang diakibatkan manusia, menurut Menhut, ancaman kepunahan keanekaragaman hayati, terutama satwa liar, disadari sebagai akibat alamiah, antara lain adalah perubahan iklim global dan penyakit.
Karena itu, salah satu upaya penting dalam mencegah kepunahan satwa liar dan tumbuhan, adalah dengan menetapkan status perlindungan terhadap berbagai jenis satwa dan tumbuhan, yakni melalui undang-undang dan peraturan perundang-undangan.
Upaya konservasi lain, kata dia, juga harus terus dilakukan melalui program dan kegiatan yang sistematik, baik "in-situ" maupun "ex-situ".
Ia mengatakan dalam upaya pencapaian target peningkatan populasi spesies terancam punah sebesar tiga persen, maka pendekatan strategi yang akan digunakan adalah konservasi "in-situ" yang didukung oleh "ex-situ".
Konservasi "ex-situ" akan difokuskan melalui program "breeding" (penangkaran/pengembangbiakan) bagi spesies prioritas di lembaga konservasi untuk "back up" populasi di habitat alami.
Saat ini, kata dia, telah disahkan 10 Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) satwa yang dilindungi di Indonesia, yakni gajah sumatera, orangutan, badak, harimau sumatera, banteng, anoa, babirusa, bekantan, elang jawa, dan tapir.
"Sedangkan yang masih dalam proses penyelesaian lima SRAK lainnya, yaitu owa jawa, macan tutul jawa, genu, pesut dan kakatua jambul kuning," katanya.
Dengan adanya SRAK tersebut, kata Menhut, diharapkan pelaksanaan upaya konservasi setiap spesies dapat dilakukan secara terarah, sehingga hasil yang didapatkan, yaitu kelestarian jenis dapat tercapai.
Sementara itu, Ketua Umum PKBSI Rahmat Shah menyatakan kolaborasi dalam pengelolaan satwa endemik Indonesia di lembaga konservasi sangat diperlukan.
"Itu untuk kebaikan bersama, mengingat ilmu pengetahuan, termasuk ilmu perlindungan satwa terus maju dan berkembang," katanya.
Karena itulah, kata dia, setiap lembaga konservasi harus melaksanakan perbaikan kesejahteraan satwa (animal welfare) yang mengarah pada genetik yang sehat.
Sedangkan Ketua Dewan Pembina PKBSI Letjen TNI (Pur) Kiki Syahnakri menekankan perlunya organisasi itu terus melakukan konsolidasi diri.
"Akan semakin banyak tantangan ke depan, sehingga semua anggota PKBSI perlu terus bekerja sama," katanya.
Ia mengakui bahwa ada persoalan yang cukup menyita perhatian dunia, terkait konflik di Kebun Binatang Surabaya (KBS), yang bisa dijadikan pelajaran bagi semua pihak.
"Tapi, bagi PKBSI niat awal saat diberi amanah dalam soal KBS adalah membantu, sehingga sudah berada di jalur yang benar," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014
"Khususnys satwa endemik di Indonesia melalui program `ex-situ` (di luar habitat alami) yang `nyambung` dengan konservasi `in-situ` (di habitat alami)," katanya di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, Kamis petang.
Pada acara Halalbihalal bersama Dewan Pengurus PKBSI, lembaga konservasi dan jajaran Kemenhut, ia menegaskan kelestarian sumber daya alam hayati, khususnya jenis satwa endemik Indonesia, tidak hanya menjadi tanggung jawab Kemenhut.
"Namun, semua pihak, termasuk pemerintah daerah, lembaga konservasi dan masyarakat secara umum," dalam sambutan yang dibacakan Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati (KKH) Kemenhut Bambang Dahono Adjie.
Dalam acara yang dihadiri Ketua Dewan Pembina PKBSI Letjen TNI (Pur) Kiki Syahnakri, Ketua Umum dan Sekjen PKBSI Rahmat Shah dan Tony Sumampau, serta 54 anggota PKBSI se-Indonesia, ia menyatakan sinergitas dan keterpaduan semua pihak dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati sudah menjadi kebutuhan.
Ia mengemukakan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak dalam lintasan distribusi keanekaragaman hayati benua Asia (Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan), dan benua Australia (Pulau Papua), dan sebaran wilayah peralihan Wallacea (Pulau Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara), yang kaya dengan tingkat kekhasan tinggi dengan tingkat endemisme masing-masing.
Indonesia, kata dia, juga memiliki kekayaan spesies satwa yang sangat tinggi, walaupun hanya memiliki luas daratan sekitar 1,3 persen dari luas daratan dunia.
Ancaman kepunahan
Namun demikian, Menhut juga mengungkapkan Indonesia disinyalir merupakan negara dengan tingkat keterancaman terhadap kepunahan spesies dan genetik yang sangat tinggi.
Penyebab utama keterancaman terhadap bahaya kepunahan spesies itu, katanya, adalah kerusakan habitat, perdagangan tumbuhan dan satwa liar ilegal, perburuan liar, dan bencana alam berupa kebakaran hutan dan lahan, serta lainnya.
Selain ancaman yang diakibatkan manusia, menurut Menhut, ancaman kepunahan keanekaragaman hayati, terutama satwa liar, disadari sebagai akibat alamiah, antara lain adalah perubahan iklim global dan penyakit.
Karena itu, salah satu upaya penting dalam mencegah kepunahan satwa liar dan tumbuhan, adalah dengan menetapkan status perlindungan terhadap berbagai jenis satwa dan tumbuhan, yakni melalui undang-undang dan peraturan perundang-undangan.
Upaya konservasi lain, kata dia, juga harus terus dilakukan melalui program dan kegiatan yang sistematik, baik "in-situ" maupun "ex-situ".
Ia mengatakan dalam upaya pencapaian target peningkatan populasi spesies terancam punah sebesar tiga persen, maka pendekatan strategi yang akan digunakan adalah konservasi "in-situ" yang didukung oleh "ex-situ".
Konservasi "ex-situ" akan difokuskan melalui program "breeding" (penangkaran/pengembangbiakan) bagi spesies prioritas di lembaga konservasi untuk "back up" populasi di habitat alami.
Saat ini, kata dia, telah disahkan 10 Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) satwa yang dilindungi di Indonesia, yakni gajah sumatera, orangutan, badak, harimau sumatera, banteng, anoa, babirusa, bekantan, elang jawa, dan tapir.
"Sedangkan yang masih dalam proses penyelesaian lima SRAK lainnya, yaitu owa jawa, macan tutul jawa, genu, pesut dan kakatua jambul kuning," katanya.
Dengan adanya SRAK tersebut, kata Menhut, diharapkan pelaksanaan upaya konservasi setiap spesies dapat dilakukan secara terarah, sehingga hasil yang didapatkan, yaitu kelestarian jenis dapat tercapai.
Sementara itu, Ketua Umum PKBSI Rahmat Shah menyatakan kolaborasi dalam pengelolaan satwa endemik Indonesia di lembaga konservasi sangat diperlukan.
"Itu untuk kebaikan bersama, mengingat ilmu pengetahuan, termasuk ilmu perlindungan satwa terus maju dan berkembang," katanya.
Karena itulah, kata dia, setiap lembaga konservasi harus melaksanakan perbaikan kesejahteraan satwa (animal welfare) yang mengarah pada genetik yang sehat.
Sedangkan Ketua Dewan Pembina PKBSI Letjen TNI (Pur) Kiki Syahnakri menekankan perlunya organisasi itu terus melakukan konsolidasi diri.
"Akan semakin banyak tantangan ke depan, sehingga semua anggota PKBSI perlu terus bekerja sama," katanya.
Ia mengakui bahwa ada persoalan yang cukup menyita perhatian dunia, terkait konflik di Kebun Binatang Surabaya (KBS), yang bisa dijadikan pelajaran bagi semua pihak.
"Tapi, bagi PKBSI niat awal saat diberi amanah dalam soal KBS adalah membantu, sehingga sudah berada di jalur yang benar," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014