Kabar duka kembali datang dari Papua. Konflik antara TNI dan Polri, yang merupakan sesama aparat negara di bidang pertahanan dan keamanan, kembali terjadi dan menimbulkan korban jiwa. Minggu 12 April 2020 pagi hari terjadi konflik antara Satgas Yonif 755/Yalet dengan anggota Polres Mamberamo Raya di Kasonaweja. Akibat dari konflik tersebut tiga orang orang tewas.
Konflik antara TNI dan Polri tersebut menunjukkan dinamika keamanan di Papua yang cukup keras. Selain itu komunikasi antara sesama aparat negara yang tidak terjalin dengan baik mengakibatkan konflik yang menimbulkan korban jiwa. Terlepas pangkal persoalan yang terjadi, sebagai aparat bersenjata yang mempunyai tugas untuk menciptakan situasi damai dan kondusif, berkonflik dengan sesama aparat adalah hal yang sangat memprihatinkan.
Sebelumnya pada 2 Maret 2020 terjadi kontak tembak di Kampung Utikini Lama Mimika antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisais Papua Merdeka dengan TNI-Polri. Kontak tembak tersebut mengakibatkan Sertu La Ongge gugur. Dampak lain dari kontak tembak tersebut adalah masyarakat sipil ketakutan dan mengungsi dari Utikini ke kita Timika. Pada 30 Maret 2020 juga terjadi aksi penembakan oleh TPNPB OMP di kawasan Office Building PT Freeport, Main Office Kuala Kencana Mimika Papua. Aksi TPNPB OPM menewaskan satu warga negara asig karyawan PT Freeport Indonesia.
Berbagai kasus kekerasan yang terjadi di Papua, antara kelompok separatis dengan aparat Indonesia maupun yang terjadi sesama aparat Indonesia, menunjukkan bahwa isu di Papua tidak disepelekan karena dampaknya yang cukup signifikan terutama dalam pertahanan dan keamanan. Berbagai permasalahan terutama terkait otonomi khusus yang berjalan kurang baik, membuat kepercayaan dari masyarakat kepada pemerintah bisa berkurang. Selain itu dampak dari otonomi khusus yang belum dapat diterima oleh seluruh masyarakat menjadikan perlawanan dari kelompok separatis kepada aparat pemerintah tetap kuat.
Di tengah situasi bangsa Indonesia sedang menghadapi pandemi covid-19, isu Papua seolah terabaikan, termasuk revisi UU Otsus Papua yang menjadi harapan besar dari masyarakat Papu untuk pelaksanaan otonomi khusus dengan lebih baik. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sebelumnya menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua harus rampung dibahas dan disahkan tahun ini. Tito menyebutkan bahwa perubahan UU No 20 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Propinsi Papua tersebut mendesak dibahas karena akan habis masa berlakunnya pada tahun 2021.
DPR harus didorong untuk tetap fokus pada tugasnya, yang salah satunya adalah menyelesaikan revisi Undang-Undang terkait Otonomi Khusus Papua walaupun pandemi covid-19 terjadi di Indonesia. Pihak-pihak yang terlibat dalam revisi UU Otonomi Khusus Papua perlu dengan serius memahami bahwa permasalahan Papua cukup kompleks sehingga perlu kerja yang cepat untuk menyelesaikan instrumen dalam mengawal otonomi khusus di Papua yang lebih baik.
Isu terkait Papua terutama tentang revisi Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Papua harus segera diselesaikan. Jika dibiarkan maka kasus-kasus yang merugikan masyarakat termasuk kontak tembak yang dilakukan oleh kelompok separatis diperkirakan akan terus terjadi.
Dengan melungkan waktu dan pikiran, anggota DPR tentu bisa saja menyelesaikan revisi Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Papua tepat waktu. Jika hal ini dapat dilakukan tentu akan sangat membantu proses pembangunan di Papua yang lebih partisipatif, adil, transparan, dan beroreintasi kepada kesejahteraan masyarakat.
Sebaliknya jika DPR tidak menganggap isu Papua bukan hal yang prioritas, maka jatuhnya korban dari pihak masyarakat maupun TNI/Polri yang mengamankan wilayah di sana akan terus bertambah. Terkatung-katungnya revisi UU Otsus Papua, meskipun dengan alasan sedang vokus penanganan covid-19, tidak dapat dibenarkan dan harus segera diselesaikan. (11/*)
*) Penulis adalah, Analis intelijen dan keamanan.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
Konflik antara TNI dan Polri tersebut menunjukkan dinamika keamanan di Papua yang cukup keras. Selain itu komunikasi antara sesama aparat negara yang tidak terjalin dengan baik mengakibatkan konflik yang menimbulkan korban jiwa. Terlepas pangkal persoalan yang terjadi, sebagai aparat bersenjata yang mempunyai tugas untuk menciptakan situasi damai dan kondusif, berkonflik dengan sesama aparat adalah hal yang sangat memprihatinkan.
Sebelumnya pada 2 Maret 2020 terjadi kontak tembak di Kampung Utikini Lama Mimika antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisais Papua Merdeka dengan TNI-Polri. Kontak tembak tersebut mengakibatkan Sertu La Ongge gugur. Dampak lain dari kontak tembak tersebut adalah masyarakat sipil ketakutan dan mengungsi dari Utikini ke kita Timika. Pada 30 Maret 2020 juga terjadi aksi penembakan oleh TPNPB OMP di kawasan Office Building PT Freeport, Main Office Kuala Kencana Mimika Papua. Aksi TPNPB OPM menewaskan satu warga negara asig karyawan PT Freeport Indonesia.
Berbagai kasus kekerasan yang terjadi di Papua, antara kelompok separatis dengan aparat Indonesia maupun yang terjadi sesama aparat Indonesia, menunjukkan bahwa isu di Papua tidak disepelekan karena dampaknya yang cukup signifikan terutama dalam pertahanan dan keamanan. Berbagai permasalahan terutama terkait otonomi khusus yang berjalan kurang baik, membuat kepercayaan dari masyarakat kepada pemerintah bisa berkurang. Selain itu dampak dari otonomi khusus yang belum dapat diterima oleh seluruh masyarakat menjadikan perlawanan dari kelompok separatis kepada aparat pemerintah tetap kuat.
Di tengah situasi bangsa Indonesia sedang menghadapi pandemi covid-19, isu Papua seolah terabaikan, termasuk revisi UU Otsus Papua yang menjadi harapan besar dari masyarakat Papu untuk pelaksanaan otonomi khusus dengan lebih baik. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sebelumnya menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua harus rampung dibahas dan disahkan tahun ini. Tito menyebutkan bahwa perubahan UU No 20 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Propinsi Papua tersebut mendesak dibahas karena akan habis masa berlakunnya pada tahun 2021.
DPR harus didorong untuk tetap fokus pada tugasnya, yang salah satunya adalah menyelesaikan revisi Undang-Undang terkait Otonomi Khusus Papua walaupun pandemi covid-19 terjadi di Indonesia. Pihak-pihak yang terlibat dalam revisi UU Otonomi Khusus Papua perlu dengan serius memahami bahwa permasalahan Papua cukup kompleks sehingga perlu kerja yang cepat untuk menyelesaikan instrumen dalam mengawal otonomi khusus di Papua yang lebih baik.
Isu terkait Papua terutama tentang revisi Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Papua harus segera diselesaikan. Jika dibiarkan maka kasus-kasus yang merugikan masyarakat termasuk kontak tembak yang dilakukan oleh kelompok separatis diperkirakan akan terus terjadi.
Dengan melungkan waktu dan pikiran, anggota DPR tentu bisa saja menyelesaikan revisi Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Papua tepat waktu. Jika hal ini dapat dilakukan tentu akan sangat membantu proses pembangunan di Papua yang lebih partisipatif, adil, transparan, dan beroreintasi kepada kesejahteraan masyarakat.
Sebaliknya jika DPR tidak menganggap isu Papua bukan hal yang prioritas, maka jatuhnya korban dari pihak masyarakat maupun TNI/Polri yang mengamankan wilayah di sana akan terus bertambah. Terkatung-katungnya revisi UU Otsus Papua, meskipun dengan alasan sedang vokus penanganan covid-19, tidak dapat dibenarkan dan harus segera diselesaikan. (11/*)
*) Penulis adalah, Analis intelijen dan keamanan.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020