Dana asing pada April ini mulai masuk ke Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 910 miliar hingga Selasa lalu (7/4). Dana dari penerbitan global bond oleh pemerintah RI sebanyak US$ 4,3 miliar juga akan masuk minggu depan, yang akan meningkatkan cadangan devisa menjadi US$ 125 miliar.
Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, ketidakpastian pasar keuangan global mulai reda, seiring pandemi Covid-19 yang sudah mencapai puncak outbreak sehingga ke depan diproyeksikan terjadi penurunan laju pertambahan jumlah orang yang terinfeksi. Dengan kondisi ini, BI optimistis dana asing akan kembali masuk ke pasar keuangan Indonesia.
Cadangan devisa pada akhir Maret 2020 turun US$ 9,4 miliar menjadi US$ 121 miliar, dibandingkan bulan sebelumnya. Dari jumlah itu, penurunan US$ 2 miliar untuk pembayaran utang pemerintah yang jatuh tempo, dan US$ 7 miliar untuk stabilisasi rupiah, khususnya pada minggu kedua dan ketiga, saat terjadi kepanikan global yang mendorong investor melepas saham dan obligasi.
Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu), kepemilikan asing pada SBN rupiah yang dapat diperdagangkan anjlok Rp 121,25 triliun selama Maret 2020 dibanding 28 Februari 2020 dari Rp 1.048,16 triliun menjadi Rp 926,91 triliun. Namun, memasuki April 2020, dana asing di SBN meningkat kembali.
Kepemilikan asing pada SBN rupiah yang dapat diperdagangkan naik Rp 910 miliar dari Rp 926,91 triliun pada 31 Maret 2020 menjadi Rp 927,82 triliun pada 7 April 2020. Meski demikian, selama tahun berjalan (year to date/ytd), kepemilikan asing di SBN turun Rp 134,04 triliun. Pada akhir Desember 2019, kepemilikan asing di SBN mencapai Rp 1,061.86 triliun.
Gubernur BI menjelaskan, dengan telah selesainya proses administrasi kerja sama repo line antara BI dan The Fed yang diwakili oleh The Fed of New York, fasilitas tersebut sudah siap digunakan jika dibutuhkan. Kerja sama ini berbentuk repo line, di mana bila BI membutuhkan likuiditas dolar bisa menggunakannya. Namun, untuk mendapatkan fasilitas itu, BI menjaminkan atau repo Treasury Bill (T-Bill) yang dimiliki. Keberhasilan kerja sama ini menunjukkan kepercayaan bank sentral AS kepada Indonesia, sebab tidk banyak negara berkembang (emerging market) yang diberikan fasilitas repo line. Kerja sama itu juga memberikan keyakinan kepada investor asing bahwa kondisi ekonomi dalam negeri memiliki fundamental yang terjaga.
Berdasarkan data tradingeconomics, tingkat imbal hasil surat utang pemerintah RI tenor 10 tahun sekitar 8,12%. Imbal hasil ini terhitung tinggi dibandingkan negara lain, seperti obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun hanya sekitar 0,76%, Filipina 4,93%, Vietnam 3,16%, Thailand 1,46%, dan Malaysia 3,38%.
Pertumbuhan Ekonomi 2,3% Untuk pertumbuhan ekonomi, BI memproyeksikan, pada kuartal II-2020 hanya berada di level 1,1%. Proyeksi ini masuk dalam kategori skenario berat, yang juga didasarkan pada informasi dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang menyebutkan puncak penyebaran corona bisa berlangsung hingga Juli 2020. Sedangkan pertumbuhan ekonomi 2020 diperkirakan 2,3% dalam skenario berat.
“Skenario berat yang sudah disusun bersama pemerintah, OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), per tumbuhan ekonomi kuar tal I-2020 diprediksi 4,7% (yoy), kuartal II anjlok ke 1,1%, kuartal III 1,3%, dan kuartal IV 2,4%. Agar skenario berat itu tidak terjadi, pemerintah memberikan kucuran stimulus dari sisi fiskal dan BI dari sisi moneter. OJK dan LPS juga turut memberikan stimulus agar beban dunia usaha dan masyarakat berkurang di tengah tekanan pandemi Covid-19 dan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi,” papar Perry.
Sementara itu, Ketua Umum Kadin Indonesia, Rosan Perkasa Roeslani menyarankan pemerintah menambah jumlah stimulus dari saat ini sekitar Rp 405,1 triliun menjadi Rp 1.600 triliun untuk memitigasi dan menangani dampak Covid-19. Rosan menilai stimulus yang telah dikeluarkan pemerintah belum ideal, terutama jika melihat masih ada 93 juta masyarakat miskin dan rentan miskin, serta pengusaha kecil dan pekerja informal lainnya yang belum mencakup bantuan.
Sedangkan, Center of Reform on Economics meminta pemerintah tidak terburu-buru menerbitkan surat utang global alias global bond. Kendati, rupiah belakangan memang dalam tekanan pelemahan akibat ketidakpastian pasar keuangan global. Alasannya, kata Direktur Riset Core Piter Abdullah Redjalam, cadangan devisa Indonesia saat ini masih cukup besar untuk membiayai intervensi Bank Indonesia dalam menstabilisasi nilai tukar. "Selain cadangan devisa, Bank Indonesia juga memiliki second line of defense berupa fasilitas pinjaman IMF, perjanjian kerjasama swap arrangements dengan beberapa bank sentral, serta yang terakhir fasilitas Repo Line dari The Fed," ujar dia dalam keterangan tertulis, Kamis, 9 April 2020.
Sebelum adanya penerbitan global bond pada Selasa lalu, cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2020 tercatat sebesar US$ 121 miliar. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor atau 7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Dengan demikian, posisi cadangan devisa itu masih berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Setelah penerbitan global Bond, cadangan devisa Indonesia bakal naik menjadi sekitar US$ 125 miliar.
Imbasnya penerbitan global bond di masa sekarang membuat pemerintah terpaksa meningkatkan insentif bunga kupon yang lebih besar atau tenor sangat panjang. Ditambah lagi, saat ini Perpu Nomor 1 Tahun 2020 memungkinkan Bank Indonesia untuk membeli surat utang negara di pasar perdana. Menurut Piter, penerbitan SUN domestik dengan pola pembelian oleh BI memungkinkan pemerintah untuk menetapkan suku bunga atau kupon yang lebih rendah dengan tenor yang wajar.
Di tempat terpisah, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva menyampaikan bahwa pandemi virus corona Covid-19 telah menimbulkan krisis terburuk dan bakal memerlukan respons besar untuk memastikan pemulihannya. Dia menegaskan, dunia harus bersiap menghadapi kejatuhan ekonomi terburuk setelah peristiwa Depresi Besar atau Great Depression yang terjadi pada 1929-1933.
Peringatan dari Georgieva itu dilatarbelakangi oleh catatan hampir 89.000 korban meninggal dunia di 192 negara dan wilayah akibat Covid-19. Pada jumlah kasus yang sekarang telah melampaui 1,5 juta di seluruh dunia. Bahkan banyak negara di dunia yang mengambil langkah karantina atau lockdown untuk menahan penyebaran virus tersebut.
Bahkan dalam skenario kasus terbaik, IMF hanya bisa memperkirakan pemulihan parsial di tahun depan, dengan asumsi virus memudar pada 2020, sehingga bila lockdown dicabut, bisnis dapat berlanjut normal.
Rilis Prospek Ekonomi Terbaru Sementara itu, IMF akan merilis laporan World Economic Outlook atau Prospek Ekonomi Dunia terbarunya pada Selasa (14/4), dengan perkiraan ekonomi suram bagi para anggotanya untuk 2020, dan tahun depan.
Pada Januari, IMF sempat memproyeksikan pertumbuhan global tahun ini sebesar 3,3% dan 3,4% untuk 2021. Tapi itu adalah dunia yang berbeda. Pasalnya, Amerika Serikat (AS) telah kehilangan 17 juta pekerjaan sejak pertengahan Maret. Data mingguan terbaru yang dikeluarkan pada Kamis, menunjukkan ada sebanyak 6,6 juta pekerja yang mengajukan tunjangan pengangguran. Para ekonom memproyeksikan tingkat pengangguran sebanyak dua digit pada bulan ini. Sedangkan Bank Dunia mengatakan pandemi Covid mungkin menjadi penyebab resesi pertama di Afrika dalam 25 tahun.
Para peneliti di Institute for International Finance (IIF) – sebuah asosiasi perbankan global – memperkirakan penurunan 2,8% dalam produk domes tik bruto (PDB) global, lebih tinggi dibandingkan penurunan 2,1% selama krisis keuangan global 2009. Itu adalah pembalikan tajam dari Oktober tahun lalu, ketika IIF memperkirakan pertumbuhan 2,6%.
Dewan IMF telah menyetujui penambahan fasilitas pinjaman darurat yang akan menyediakan sekitar US$ 100 miliar, dan terus melakukan pengurangan utang untuk negara-negara termiskin, sekaligus membantu negara-negara dengan tingkat utang yang tidak berkelanjutan.
Asal tidak merugikan
Global bond adalah obligasi internasional atau surat utang negara yang diterbitkan oleh suatu negara dalam valuta asing. Berbeda dengan utang-utang resmi, global bond tidak mengikat seperti pinjaman resmi, di mana alokasi penggunaannya sudah ditentukan, dalam bahasa yang lebih sederhana agar dipahami masyarakat bahwa global bond sama dengan “kasbon berdurasi lama”.
Kita sebagai rakyat biasa hanya berharap kepada pemerintah untuk hati-hati dalam mengelola keuangan dan aset negara, dan sebaiknya sebelum mengambil keputusan juga harus mempertimbangkan masukan dari berbagai kalangan, atau tidak menempatkan diri bahwa keputusannya selalu benar. Ini penting agar keputusan yang dibuat pemerintah tidak merugikan.
Rakyat kecil hanya berharap dengan adanya global bond ini bukan membahayakan perekonomian mereka ke depan, jelas rakyat dan keturunan mereka tidak ingin terjebak terus menerus dalam hutang yang semakin melebar sampai ke anak cicitnya nanti. Selain itu, pemerintah juga harus menyadari bahwa amanah dan kekuasaannya akan diminta pertanggungjawaban oleh pemilik kekuasaan sebenarnya yaitu Tuhan YME, dan sejarah juga akan mencatat mereka sebagai pemimpin yang baik atau teledor dalam membuat kebijakan. Keteledoran pemimpin dalam membuat kebijakan jelas akan dapat menimbulkan instabilitas dahsyat di masa depan. Sekali lagi kita berharap dan berdoa agar global bond ini benar-benar solusi yang tepat bukan membahayakan. Semoga. (9/*).
*) Penulis adalah, Kolumnis di beberapa media massa.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, ketidakpastian pasar keuangan global mulai reda, seiring pandemi Covid-19 yang sudah mencapai puncak outbreak sehingga ke depan diproyeksikan terjadi penurunan laju pertambahan jumlah orang yang terinfeksi. Dengan kondisi ini, BI optimistis dana asing akan kembali masuk ke pasar keuangan Indonesia.
Cadangan devisa pada akhir Maret 2020 turun US$ 9,4 miliar menjadi US$ 121 miliar, dibandingkan bulan sebelumnya. Dari jumlah itu, penurunan US$ 2 miliar untuk pembayaran utang pemerintah yang jatuh tempo, dan US$ 7 miliar untuk stabilisasi rupiah, khususnya pada minggu kedua dan ketiga, saat terjadi kepanikan global yang mendorong investor melepas saham dan obligasi.
Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu), kepemilikan asing pada SBN rupiah yang dapat diperdagangkan anjlok Rp 121,25 triliun selama Maret 2020 dibanding 28 Februari 2020 dari Rp 1.048,16 triliun menjadi Rp 926,91 triliun. Namun, memasuki April 2020, dana asing di SBN meningkat kembali.
Kepemilikan asing pada SBN rupiah yang dapat diperdagangkan naik Rp 910 miliar dari Rp 926,91 triliun pada 31 Maret 2020 menjadi Rp 927,82 triliun pada 7 April 2020. Meski demikian, selama tahun berjalan (year to date/ytd), kepemilikan asing di SBN turun Rp 134,04 triliun. Pada akhir Desember 2019, kepemilikan asing di SBN mencapai Rp 1,061.86 triliun.
Gubernur BI menjelaskan, dengan telah selesainya proses administrasi kerja sama repo line antara BI dan The Fed yang diwakili oleh The Fed of New York, fasilitas tersebut sudah siap digunakan jika dibutuhkan. Kerja sama ini berbentuk repo line, di mana bila BI membutuhkan likuiditas dolar bisa menggunakannya. Namun, untuk mendapatkan fasilitas itu, BI menjaminkan atau repo Treasury Bill (T-Bill) yang dimiliki. Keberhasilan kerja sama ini menunjukkan kepercayaan bank sentral AS kepada Indonesia, sebab tidk banyak negara berkembang (emerging market) yang diberikan fasilitas repo line. Kerja sama itu juga memberikan keyakinan kepada investor asing bahwa kondisi ekonomi dalam negeri memiliki fundamental yang terjaga.
Berdasarkan data tradingeconomics, tingkat imbal hasil surat utang pemerintah RI tenor 10 tahun sekitar 8,12%. Imbal hasil ini terhitung tinggi dibandingkan negara lain, seperti obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun hanya sekitar 0,76%, Filipina 4,93%, Vietnam 3,16%, Thailand 1,46%, dan Malaysia 3,38%.
Pertumbuhan Ekonomi 2,3% Untuk pertumbuhan ekonomi, BI memproyeksikan, pada kuartal II-2020 hanya berada di level 1,1%. Proyeksi ini masuk dalam kategori skenario berat, yang juga didasarkan pada informasi dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang menyebutkan puncak penyebaran corona bisa berlangsung hingga Juli 2020. Sedangkan pertumbuhan ekonomi 2020 diperkirakan 2,3% dalam skenario berat.
“Skenario berat yang sudah disusun bersama pemerintah, OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), per tumbuhan ekonomi kuar tal I-2020 diprediksi 4,7% (yoy), kuartal II anjlok ke 1,1%, kuartal III 1,3%, dan kuartal IV 2,4%. Agar skenario berat itu tidak terjadi, pemerintah memberikan kucuran stimulus dari sisi fiskal dan BI dari sisi moneter. OJK dan LPS juga turut memberikan stimulus agar beban dunia usaha dan masyarakat berkurang di tengah tekanan pandemi Covid-19 dan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi,” papar Perry.
Sementara itu, Ketua Umum Kadin Indonesia, Rosan Perkasa Roeslani menyarankan pemerintah menambah jumlah stimulus dari saat ini sekitar Rp 405,1 triliun menjadi Rp 1.600 triliun untuk memitigasi dan menangani dampak Covid-19. Rosan menilai stimulus yang telah dikeluarkan pemerintah belum ideal, terutama jika melihat masih ada 93 juta masyarakat miskin dan rentan miskin, serta pengusaha kecil dan pekerja informal lainnya yang belum mencakup bantuan.
Sedangkan, Center of Reform on Economics meminta pemerintah tidak terburu-buru menerbitkan surat utang global alias global bond. Kendati, rupiah belakangan memang dalam tekanan pelemahan akibat ketidakpastian pasar keuangan global. Alasannya, kata Direktur Riset Core Piter Abdullah Redjalam, cadangan devisa Indonesia saat ini masih cukup besar untuk membiayai intervensi Bank Indonesia dalam menstabilisasi nilai tukar. "Selain cadangan devisa, Bank Indonesia juga memiliki second line of defense berupa fasilitas pinjaman IMF, perjanjian kerjasama swap arrangements dengan beberapa bank sentral, serta yang terakhir fasilitas Repo Line dari The Fed," ujar dia dalam keterangan tertulis, Kamis, 9 April 2020.
Sebelum adanya penerbitan global bond pada Selasa lalu, cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2020 tercatat sebesar US$ 121 miliar. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor atau 7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Dengan demikian, posisi cadangan devisa itu masih berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Setelah penerbitan global Bond, cadangan devisa Indonesia bakal naik menjadi sekitar US$ 125 miliar.
Imbasnya penerbitan global bond di masa sekarang membuat pemerintah terpaksa meningkatkan insentif bunga kupon yang lebih besar atau tenor sangat panjang. Ditambah lagi, saat ini Perpu Nomor 1 Tahun 2020 memungkinkan Bank Indonesia untuk membeli surat utang negara di pasar perdana. Menurut Piter, penerbitan SUN domestik dengan pola pembelian oleh BI memungkinkan pemerintah untuk menetapkan suku bunga atau kupon yang lebih rendah dengan tenor yang wajar.
Di tempat terpisah, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva menyampaikan bahwa pandemi virus corona Covid-19 telah menimbulkan krisis terburuk dan bakal memerlukan respons besar untuk memastikan pemulihannya. Dia menegaskan, dunia harus bersiap menghadapi kejatuhan ekonomi terburuk setelah peristiwa Depresi Besar atau Great Depression yang terjadi pada 1929-1933.
Peringatan dari Georgieva itu dilatarbelakangi oleh catatan hampir 89.000 korban meninggal dunia di 192 negara dan wilayah akibat Covid-19. Pada jumlah kasus yang sekarang telah melampaui 1,5 juta di seluruh dunia. Bahkan banyak negara di dunia yang mengambil langkah karantina atau lockdown untuk menahan penyebaran virus tersebut.
Bahkan dalam skenario kasus terbaik, IMF hanya bisa memperkirakan pemulihan parsial di tahun depan, dengan asumsi virus memudar pada 2020, sehingga bila lockdown dicabut, bisnis dapat berlanjut normal.
Rilis Prospek Ekonomi Terbaru Sementara itu, IMF akan merilis laporan World Economic Outlook atau Prospek Ekonomi Dunia terbarunya pada Selasa (14/4), dengan perkiraan ekonomi suram bagi para anggotanya untuk 2020, dan tahun depan.
Pada Januari, IMF sempat memproyeksikan pertumbuhan global tahun ini sebesar 3,3% dan 3,4% untuk 2021. Tapi itu adalah dunia yang berbeda. Pasalnya, Amerika Serikat (AS) telah kehilangan 17 juta pekerjaan sejak pertengahan Maret. Data mingguan terbaru yang dikeluarkan pada Kamis, menunjukkan ada sebanyak 6,6 juta pekerja yang mengajukan tunjangan pengangguran. Para ekonom memproyeksikan tingkat pengangguran sebanyak dua digit pada bulan ini. Sedangkan Bank Dunia mengatakan pandemi Covid mungkin menjadi penyebab resesi pertama di Afrika dalam 25 tahun.
Para peneliti di Institute for International Finance (IIF) – sebuah asosiasi perbankan global – memperkirakan penurunan 2,8% dalam produk domes tik bruto (PDB) global, lebih tinggi dibandingkan penurunan 2,1% selama krisis keuangan global 2009. Itu adalah pembalikan tajam dari Oktober tahun lalu, ketika IIF memperkirakan pertumbuhan 2,6%.
Dewan IMF telah menyetujui penambahan fasilitas pinjaman darurat yang akan menyediakan sekitar US$ 100 miliar, dan terus melakukan pengurangan utang untuk negara-negara termiskin, sekaligus membantu negara-negara dengan tingkat utang yang tidak berkelanjutan.
Asal tidak merugikan
Global bond adalah obligasi internasional atau surat utang negara yang diterbitkan oleh suatu negara dalam valuta asing. Berbeda dengan utang-utang resmi, global bond tidak mengikat seperti pinjaman resmi, di mana alokasi penggunaannya sudah ditentukan, dalam bahasa yang lebih sederhana agar dipahami masyarakat bahwa global bond sama dengan “kasbon berdurasi lama”.
Kita sebagai rakyat biasa hanya berharap kepada pemerintah untuk hati-hati dalam mengelola keuangan dan aset negara, dan sebaiknya sebelum mengambil keputusan juga harus mempertimbangkan masukan dari berbagai kalangan, atau tidak menempatkan diri bahwa keputusannya selalu benar. Ini penting agar keputusan yang dibuat pemerintah tidak merugikan.
Rakyat kecil hanya berharap dengan adanya global bond ini bukan membahayakan perekonomian mereka ke depan, jelas rakyat dan keturunan mereka tidak ingin terjebak terus menerus dalam hutang yang semakin melebar sampai ke anak cicitnya nanti. Selain itu, pemerintah juga harus menyadari bahwa amanah dan kekuasaannya akan diminta pertanggungjawaban oleh pemilik kekuasaan sebenarnya yaitu Tuhan YME, dan sejarah juga akan mencatat mereka sebagai pemimpin yang baik atau teledor dalam membuat kebijakan. Keteledoran pemimpin dalam membuat kebijakan jelas akan dapat menimbulkan instabilitas dahsyat di masa depan. Sekali lagi kita berharap dan berdoa agar global bond ini benar-benar solusi yang tepat bukan membahayakan. Semoga. (9/*).
*) Penulis adalah, Kolumnis di beberapa media massa.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020